Gulung Tikar di Akhirat

Kebangkrutan sesungguhnya terjadi setelah kehidupan di dunia berakhir.

Dalam benak kebanyakan orang, gulung tikar (bangkrut) sering dimaknai dengan kepailitan material atau harta saat berbisnis. Hal tersebut bisa disebabkan anjloknya harga mata uang di pasar, turunnya rate saham, bahkan terbatasnya perusahaan untuk berniaga. Apalagi kondisi pandemi seperti sekarang ini, telah menimbulkan kerugian yang besar. Banyak pengusaha yang  sampai merumahkan atau melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerjanya, sampai menjual aset perusahaan.

Pada hakikatnya, kondisi tersebut hanya bersifat temporary atau sementara. Mungkin saja dalam karun waktu tidak terlalu lama, seseorang atau sebuah perusahaan bisa bangkit dari keterpurukannya. Berapa banyak orang yang bangkrut atau gagal dalam berbisnis, setelah 2-3 tahun berusaha sekuat tenaga dan pikiran, dapat kembali menaikkan kondisi ekonomi, bahkan lebih baik dari sebelumnya.

Kenyataannya, tidak sedikit miliarder yang tutup usia tetap memiliki kekayaan yang melimpah. Namun, ada pula yang meninggalkan tumpukan utang dan kerugian di penghujung hidupnya.  Keduanya berhenti ketika ajal menjemput. Tagihan perusahaan tidak berlanjut sampai ke alam kubur dan profit saham tidak pula memberikan keistimewaan dalam kuburan. 

Lantas, bagaimana cara memaknai “gulung tikar” yang sebetulnya ? Dalam Al-Minhaj Syarh Shahih muslim, Imam An-Nawawi menguraikan kata muflis (orang yang bangkrut) dalam hadis Nabi SAW (No. 2581). Kebangkrutan yang sesungguhnya bukan dalam kehidupan dunia. Akan tetapi ada setelah kehidupan di dunia ini berakhir.

Rasul SAW. mengabarkan kepada kita bahwa kelak nanti di akhirat ada orang yang rajin shalat, puasa, sedekah, membaca Alquran, membawa segudang amal saleh dan pahala, tetapi tak disangka menyimpan hamparan “utang” disebabkan cacian, tuduhan, korupsi, tipuan kepada orang yang telah dizaliminya. Maka habislah semua amalnya, dan hanya tersisa dosanya. Bahkan ditumpuk lagi dengan dosa orang yang telah dizalimi karena ia tidak sanggup menggantinya. Lalu dicampakkanlah ia ke neraka.

Hadits ini merefleksikan bahwa tidak selamanya orang yang rajin ibadah, puasa, sedekah, hafal Quran 30 juz dan ribuan hadis, akan terbebas dari dusta, zalim, korupsi dan kemungkaran lain. Dalam buku  Menggapai Kesalehan Sosial, Dr  Hasan Basri Tanjung  MA meresapi makna hadits di atas, bahwa Rasul SAW  hendak mengajarkan kepada kita akan dua macam amal saleh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yakni kesalehan individual atau ritual dan kesalehan sosial. 

Sejatinya, orang yang baik ibadah ritualnya akan baik pula amal sosialnya. Karena mu’amalah adalah buah dari ibadah. Bukan berarti tidak pernah melakukan kesalahan, tapi ia segera menyadari, memohon ampunan dan tidak mengulanginya (QS. Ali ‘Imran : 135). 

Adapun orang yang beribadah sosial, peduli dengan anak yatim dan dhuafa, membantu korban bencana alam, menjalin hubungan sosial yang baik dengan masyarakat, namun tidak mendirikan shalat, puasa, zakat dan sedekah, merekalah orang yang tertipu. Bahkan, orang banyak menyebutnya orang baik atau dermawan, padahal tidak sedikit pun nilai perbuatannya di sisi Allah SWT. 

Syeikh Mutawalli Sya’rawi, dalam Tafsir As-Sya’rawi, ketika menjelaskan makna surat Al-Baqarah ayat 25 menyebutkan, bahwa Allah SWT  menginginkan hamba-Nya yang beriman untuk selalu beramal saleh (perintah yang selaras dengan manhaj/islam). Agar hati yang beriman dan suci, tidak ditopang dengan amal yang buruk atau hina. Maka dari itu Allah menyandingkan surga atau balasan yang baik dengan “alladzina aamanu” (orang-orang yang beriman) dan ‘amilus-sholihat (orang-orang yang beramal saleh).

Kerap kali kezaliman, cacian, hate speech, korupsi, maksiat merongrong pahala amal saleh tanpa kita sadari. Sepatutnya kita beristighfar kepada Allah SWT seraya memohon maaf kepada mereka yang kita rugikan dan hinakan. Jangan sampai di akhirat kelak, kita baru menyadari bahwa “utang” lebih banyak dari amal saleh. Karena itulah “gulung tikar” yang sesungguhnya. Na’udzubillahi min dzalik. 

Wallahu’alam bishowab.

Oleh  Ihza Aulia Sururi Tanjung

KHAZANAH REPUBLIKA

Sudah Siapkah Bekal Anda untuk Akhirat?

INILAH tanda-tanda seseorang yang telah tertipu kehidupan dunia, terbujuk rayuannya.

1. Anda tidak bersiap siap saat waktu shalat akan tiba.

2. Anda melalui hari ini tanpa sedikitpun membuka lembaran Al Qur’an lantaran Anda terlalu sibuk.

3. Anda selalu berpikir setiap waktu bagaimana caranya agar harta Anda semakin bertambah.

4. Anda marah ketika ada orang yang memberikan nasihat bahwa perbuatan yang Anda lakukan adalah haram.

5. Anda terus menerus menunda untuk berbuat baik / beramal shaleh “Aku akan mengerjakannya besok, nanti, dan seterusnya.”

6. Anda selalu mengikuti perkembangan gadget terbaru dan selalu berusaha memilikinya.

7. Anda sangat tertarik dengan kehidupan para selebritas.

8. Anda sangat kagum dengan gaya hidup orang-orang kaya.

9. Anda ingin selalu menjadi pusat perhatian orang.

10. Anda selalu bersaing dengan orang lain untuk meraih cita-cita duniawi.

11. Anda selalu merasa haus akan kekuasaan dan kedigdayaan dalam hidup, dan perasaan itu tidak dapat dibendung.

12. Anda merasa tertekan manakala Anda gagal meraih sesuatu.

13. Anda tidak merasa bersalah saat melakukan dosa-dosa kecil.

14. Anda tidak mampu untuk segera berhenti berbuat yang haram, dan selalu menunda bertaubat kepada Allah.

15. Anda tidak kuasa berbuat sesuatu yang diridhai Allah hanya karena perbuatan itu bisa mengecewakan orang lain.

16. Anda sangat perhatian terhadap harta benda yang sangat ingin Anda miliki.

17. Anda merencanakan kehidupan hingga jauh ke depan.

18. Anda menjadikan aktivitas belajar agama sebagai aktivitas pengisi waktu luang saja, setelah sibuk berkarir.

19. Anda memiliki teman-teman yang kebanyakannya tidak bisa mengingatkan Anda kepada Allah.

20. Anda menilai orang lain berdasarkan status sosialnya di dunia.

21. Anda melalui hari ini tanpa sedikitpun terbersit memikirkan kematian.

22. Anda meluangkan banyak waktu sia-sia melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat.

23. Anda merasa sangat malas dan berat untuk mengerjakan suatu ibadah.

24. Anda tidak kuasa mengubah gaya hidup Anda yang suka berfoya-foya, walaupun Anda tahu bahwa Allah tidak menyukai gaya hidup seperti itu.

25. Anda senang berkunjung ke negeri-negeri kafir.

26. Anda diberi nasihat tentang bahaya memakan harta riba, akan tetapi Anda beralasan bahwa beginilah satu satunya cara agar tetap bertahan di tengah kesulitan ekonomi.

27. Anda ingin menikmati hidup ini sepuasnya.

28. Anda sangat perhatian dengan penampilan fisik Anda.

29. Anda meyakini bahwa hari kiamat masih lama datangnya.

30. Anda melihat orang lain meraih sesuatu dan Anda selalu berpikir agar dapat meraihnya juga.

31. Anda ikut menguburkan orang lain yang meninggal, tapi Anda sama sekali tidak memetik pelajaran dari kematiannya.

32. Anda ingin semua yang Anda harapkan di dunia ini terkabul.

33. Anda mengerjakan shalat dengan tergesa-gesa agar bisa segera melanjutkan pekerjaan.

34. Anda tidak pernah berpikir bahwa hari ini bisa jadi adalah hari terakhir Anda hidup di dunia.

35. Anda merasa mendapatkan ketenangan hidup dari berbagai kemewahan yang Anda miliki, bukan merasa tenang dengan mengingat Allah.

36. Anda berdoa agar bisa masuk surga namun tidak sepenuh hati seperti halnya saat Anda meminta kenikmatan dunia…

Hidup di dunia hanya sebentar dan tipuan belaka. Sudah siapkah bekal anda di akhirat kelak? []

INILAH MOZAIK

Peta Jalan Menuju “Kampung Akhirat”

UMAT Islam meyakini bahwa kehidupan ini tidak hanya berhenti pada urusan duniawi saja, melainkan juga kelak kita akan kembali pada Tuhan Semesta Alam, Pemilik sejati, dengan melalui pintu kematian, sebagaimana yang ditetapkan pada setiap makhluk hidup. “Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” (QS. Ali Imran : 185).

“Setelah itu kami bangkitkan kamu sesudah mati” (QS. Al Baqarah : 56).

“Dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur” (QS. Al Hajj : 7).

Sayangnya, tidak sedikit orang yang sibuk melakukan segala sesuatu untuk mengejar dunia (saja), dan lupa bahwa dirinya kelak akan pulang kampung. Sehingga ada sebagian orang yang ketika pulang kampung bisa selamat, dan ada pula yang sebaliknya.

Hal ini, selain karena kehendak Allahyang Maha menentukan segala keputusansiapa yang kelak akan diselamatkan dan tidakjuga karena kita, sebagai manusia telah salah melangkah atau kurang tepat dalam menjalankan sesuatu.

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). (2:281)

Bahkan, ironisnya kesalahan langkah ini kerap terjadi akibat peta tujuan yang kita gunakan sejak awal memang tidak tepat atau salah.

Misalnya, tujuan kita akan pergi ke Indonesia, namun peta yang kita gunakan merupakan peta Malaysia. Maka, sampai kapan pun, bukankah kita tidak akan sampai ke tempat tujuan? Begitu pun kita dalam melakukan segala sesuatu.

Karenanya, peta yang baik dan sesuai merupakan kunci utama ketepatan kita dalam mewujudkan sukses atau tidaknya kita melakukan perjalanan. Islam, yang menghendaki kebaikan bagi umatnya, bahkan sudah jauh hari mengingatkan pentingnya peta ini. Yakni, dengan memulai segala aktivitas, termasuk bekerja, mencari rezeki dan kegiatan lainnya dengan disertai niat yang baik. Sehingga kelak berpengaruh pada tujuan akhir kita.

Tak heran bila Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf dalam pengajian rutinan Majelis Ahbabul Musthofa di Solo, pekan lalu, mengimbau seluruh manusia untuk meluruskan niat aktivitas.

Beliau mengaku, bahwa setiap melakukan aktivitas, selalu menyertakan niat seperti niat Ali ra dan niat Rasulullah Saw.

“Setiap kali memulai majelis ini, saya selalu berniat, nawaina ma nawaa habib ali, ma nawaa Rasulullah (jadikan niat kami seperti niat Habib Ali dan niat Rasulullah),” katanya.

Menurut beliau, niat merupakan jantung setiap aktivitas yang dilakukan manusia. Karenanya, mengawali semua perbuatan dengan niat baik sangatlah penting.

“Awali semua perbuatan kita, dengan niatan yang baik,” ujar Habib Syekh.

Seorang ulama besar Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad setiap hari ketika bangun tidur menuliskan setidaknya 100 niat baik yang akan dikerjakan pada hari itu, lanjutnya mencontohkan.

“Ia menulis 100 niat. Hal yang diniatkan olehnya bukan untuk mencari rizki, tetapi mencari ridha Allah, berbakti kepada orang tua, dan lain sebagainya,” kata Pengasuh Majelis Ahbabul Musthofa ini.

Apa yang diungkapkan Habib Syekh ini tampaknya sejalan dengan hadis Nabi,”Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Kami mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya).” (HR Ibnu Majah 4105, Ahmad 5/183, Ad-Daarimi 229, Ibnu Hibban 680)

Ya, bukankah suatu kerugian bila apa yang kita lakukan tidak bernilai apa pun di hadapan-Nya? Bukankah bayaran tertinggi yang sesungguhnya paling diharapkan dan dinanti setiap Muslim adalah perjumpaan dengan-Nya? Dan, bukankah semua hal yang kita lakukan dengan tujuan mengharap ridha-Nya dan dilakukan dengan cara yang benar, niscaya bisa menjadi bekal kelak saat kita pulang kampung akhirat? Wallahua Alam Bishawab.[islamindonesia]