Perbedaan Qurban dan Aqiqah Menurut Ulama Fikih

Sekilas, ibadah qurban dan aqiqah terlihat sama dari segi hewan yang disembelih, seperti kambing atau domba. Qurban dan aqiqah juga memiliki kesamaan, yaitu sama-sama merupakan perkara yang dianjurkan (mandub). Akan tetapi, qurban dan aqiqah juga memiliki perbedaan, baik dari segi hukum maupun hewan yang disembelih ketika melaksanakan kurban maupun aqiqah. Untuk mengetahui perbedaan qurban dan aqiqah, simak penjelasan berikut.

Pengertian Qurban 

Berkurban merupakan salah satu perintah Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an. Perintah berkurban dijelaskan dalam surah Al-Hajj, ayat 36 sebagai berikut :

وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya :” Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat).

Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makanlah orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.” (Q.S Al-Hajj : 36)

Qurban (udhhiyah) secara bahasa berasal dari kata kerja “qariba” yang berarti dekat. Sedangkan secara istilah, kurban merupakan suatu ibadah (menyembelih hewan) yang dilaksanakan pada tanggal 11, 12, dan 13 dari bulan Dzulhijjah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam kitabnya, Fathul Qarib Al-Mujib, halaman 524-525 sebagai berikut :

(الأُضْحِيَّةُ) بِضَمِّ الهَمْزَةِ فِى الأَشْهَرِ وَهِيَ إسْمٌ لِمَا يُذْبَحُ مَنَ النَّعَمِ يَوْمَ عِيْدِ النَّحْرِ وَأَيَّامَ التَّشْرِيْقِ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ تعالى

Artinya : “Qurban (udhiyyah) dengan mengharakatkan dhammah huruf hamzah (udhiyyah) menurut pendapat yang paling shahih adalah istilah atau nama bagi binatang yang disembelih pada hari raya qurban dan hari-hari tasyriq (11,12, dan 13 dari bulan Dzulhijjah) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.”

Definisi diatas senada dengan penjelasan dari Syaikh Abdul ‘Azhim Al-Barawi dalam kitabnya Al-Wajiz Fi Fiqh As-Sunnah Wa Al-Kitab Al-Aziz, halaman 405 sebagai berikut :

هِيَ مَا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ يَوْمَ النَّحْرِ وَأَيَّامَ التَّشْرِيْقِ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ تعالى

Artinya : “ (Udhiyyah) merupakan sesuatu (hewan) yang disembelih pada saat hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.”

Pengertian Aqiqah

Aqiqah merupakan tradisi yang sudah mengakar pada kehidupan umat Islam Indonesia. Aqiqah adalah salah satu sunnah muakkad yang sangat ditekankan pelaksanaannya bagi seseorang yang dikarunia seorang anak.

Secara bahasa, aqiqah bermakna rambut yang terdapat di atas kepala seorang anak yang dilahirkan. Sedangkan menurut istilah, Imam Ibnu Qasim Al-Ghazi memberikan definisi (ta’rif) dalam kitabnya Fathul Qarib Al-Mujib, halaman 530-531 sebagai berikut :

وَ فَسَّرَ المُصَنِّفُ العَقِيْقَةَ بِقَوْلِهِ (وَهِيَ الذَّبِيْحَةُ عَنِ المَوْلُوْدِ يَوْمَ سَابِعِهِ) أَيْ يَوْمَ وِلَادَتِهِ وَ يُحْسَبُ يَوْمُ الوِلاَدَةِ مِنَ السَّبْعِ وَ لَوْ مَاتَ المَوْلُوْدُ قَبْلَ السَّابِعِ…

Artinya : “Mushannif menjelaskan makna aqiqah melalui ungkapannya ( Aqiqah adalah binatang sembelihan yang disembelih karena lahirnya seseorang pada hari ketujuh) yaitu hari ketujuh sejak kelahirannya.

Hari kelahirannya termasuk dalam hitungan tujuh hari meskipun ia meninggal sebelum hari ketujuh…”

Imam Nawawi Al-Jawi memberikan sedikit tambahan keterangan mengenai lafaz “yauma sabi’ihi” dalam kitabnya Tausyih ‘Ala Ibn Qasim, halaman 531 sebagai berikut :

فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ فَتُذْبَحُ يَوْمَ الرَّبِيْعِ عَشَرَ فَيَوْمَ الحَادِى وَالعِشْرِيْنَ…

Artinya : “Apabila belum siap, maka boleh disembelih pada hari ke empat belas, jika tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu…”

Definisi aqiqah juga diterangkan oleh Syaikh Abdul ‘Azim Al-Barawi dalam kiabnya Al-Wajiz Fi Fiqh As-Sunnah Wa Al-Kitab Al-Aziz, halaman 408 sebagai berikut :

العَقِيْقَةُ بِفَتْحِ العَيْنِ المُهْمَلَةِ : اسْمٌ لِمَا يُذْبَحُ عَنِ المَوْلُوْدِ

Artinya : “Aqiqah dengan mengharakatkan fathah huruf ‘ain : adalah nama atau istilah bagi sesuatu (hewan) yang disembelih atas kelahiran seorang anak.”

Dari penjelasan diatas, dapat ditarik benang merah bahwa perbedaan qurban dan aqiqah adalah terletak pada waktu pelaksanaannya. Kurban dilaksanakan pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq, sedangkan aqiqah dilaksanakan ketika hari ketujuh kelahiran seorang anak.

Adapun tujuan dari qurban dan aqiqah pada dasarnya adalah sama, yaitu sebagai bentuk pengagungan dan rasa syukur kepada Allah SWT. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Mengaqiqahi Anak yang Sudah Baligh

Jika ada anak yang belum diaqiqiahi hingga si anak sudah besar, apakah orang tua juga tetap harus meng-aqiqahinya?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pembahasan kita kali ini adalah hukum bagi orang tua yang belum sempat memberikan aqiqah bagi anaknya ketika bayi, hingga anaknya sudah menginjak usia baligh. Apakah anak ini masih perlu aqiqahi ayahnya?

Para ulama menganjurkan agar aqiqah disembelih pada hari ketujuh pasca kelahiran. Dalil tentang masalah ini adalah hadis dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, yang harus disembelih di hari ketujuh, dicukur dan diberi nama. (HR. Ahmad 20083, Abu Daud 2840, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dan jika tidak memungkinkan di hari ketujuh, maka aqiqah dilakukan pada hari ke-14. Jika tidak memungkinkan, aqiqah dilakukan di hari ke-21. Dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali dan salah satu pendapat dalam Malikiyah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 30/278)

Bagaimana jika lebih dari 21 hari?

Menurut syafi’iyah, aqiqah masih menjadi tanggung jawab itu hingga si anak menginjak usia baligh.

Dalam ensiklopedi fiqh dinyatakan,

وقال المالكية: إن وقت العقيقة يفوت بفوات اليوم السابع. وقال الشافعية: إن وقت الإجزاء في حق الأب ونحوه ينتهي ببلوغ المولود

Menurut Malikiyah, waktu kesempatan aqiqah menjadi hilang jika sudah berlalu hari ketujuh kelahiran. Menurut Syafiiyah, bahwa waktu bolehnya bapak atau siapapun mengaqiqahi anak, berakhir sampai baligh. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 30/279)

Jika anak sudah baligh dan belum diaqiqahi maka tanggung jawab orang tua telah berakhir dan selanjutnya anak bisa meng-aqiqahi dirinya sendiri. Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

وقال الشافعي: إن أخرت إلى البلوغ، سقطت عمن كان يريد أن يعق عنه، لكن إن أراد هو أن يعق عن نفسه، فعل

Imam as-Syafii mengatakan, jika aqiqah tertunda sampai anak itu baligh, maka telah gugur tanggung jawab orang yang meng-aqiqahinya. Akan tetapi jika dia ingin mengaqiqahi diri sendiri, oleh dilakukan. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 16868)

Kesimpulan dalam madzhab Syafiiyah bisa kita jadikan acuan, bahwa tanggung jawab orang tua untuk memberi aqiqah anak, berakhir ketika sang anak belum baligh.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/35991-mengaqiqahi-anak-yang-sudah-baligh.html