Dosa Lisan: Ghibah (Menggunjing)

DARI Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim, no. 2589)

Ghibah bisa dengan isyarat jari saja. Buktinya dari hadits Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, “Aku berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Cukup sudah engkau berkata tentang Shafiyyah seperti ini dan itu, ia itu wanita yang pendek (sambil berisyarat dengan jari).” Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda,

“Sungguh engkau telah mengatakan suatu perkataan yang andai saja tercampur dengan air laut, kalimat itu akan mengotorinya.” (HR. Abu Daud, no. 4875 dan Tirmidzi, no. 2502. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

 

INILAH MOZAIK

Pengertian ghibah

Mohon dibahas tentang bahaya mengguncing (ghibah)

Jawab :

 “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karenasesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu mengghibah sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS.Hujurat :12)

 

Pengertian ghibah

Secara bahasa, kata “ghibah” (غيبة) berasal dari akar kata “ghaba, yaghibu” (غاب يغيب) yang artinya tersembunyi, terbenam, tidak hadir, dan tidak tampak. Kita sering menyebut kata “ghaib”, yang berarti tidak hadir.

Pengertian ghibah secara istilah adalah mengatakan sesuatu yang benar tentang seseorang di belakangnya tetapi hal itu tidak disukai oleh orang yang dibicarakan. Atau dalam definisi lain  ghibah diistilahkan dengan perbuatanmembicarakan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan) baik dalam soal jasmaniahnya, agamanya, kekayaannya ,hatinya, akhlaknya, bentuk lahiriahnya dan sebagainya.Sebagaimana definisi ini telah diterangkan dalam sebuah hadits :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam telah bersabda : Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah? Para shahabat menjawab,  “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda : (Ghībah itu) adalah engkau mengatakan tentang saudaramu mengenai apa yang ia benci. Dikatakan kepada beliau : “Apakah pendapatmu jika yang ada pada saudaraku sesuai apa yang saya katakan.”Beliau bersabda : “Jika yang ada padanya sesuai apa yang engkau katakan, maka itulah ghibah, dan jika tidak sesuai yang ada padanya, maka sungguh engkau telah mendustakannya.” (HR. Muslim).

Juga dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ibnu Mas’udradhiyallahu’anhu berkata :”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan”[1]

Contoh ghibah misalnya kita mengatakan tentang seseorang : ”Dia dari keturunan orang rendahan, atau dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit, atau dia pendusta, dia tukang makan atau dengan perkataan ‘si fulan lebih baik dari pada dia dan lain-lain.

Keharaman ghibah celaan Allah dan rasulNya terhadap pelakunya

            Ulama sepakat tentang keharaman perbuatan ghibah. Bahkan sebagian para ulama ahli tafsir dan ahli fiqih berpendapat bahwa ia termasuk dari golongan dosa besar.   Berkata imam al Qurthubi dalam tafsirnya, “Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama bahwa ghibah termasuk dosa besar, dan barangsiapa mengghibah seseorang, maka ia harus bertaubat kepada Allah. Dalil akan hal ini adalah firmanNya : “

وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُل لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya.(QS. Al Hujurat :12)

Dan bersabda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, “Ketika aku sedang dimi’rajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang sedang mencakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya : ‘Siapakah mereka wahai Jibril ?’. Jibril menjawab : ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (mengghibah) dan mencela kehormatannya” (HR. Abu Dawuddan Ahmad)

Dan juga sabda beliau :

إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ اسْتِطَالَةَ الْمَرْءِ فِي عِرْضِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Sesungguhnya termasuk dosa dari dosa-dosa besar adalah melanggar harga diri seorang muslim tanpa hak.” (HR. Abu Dawwud)

Dari ayat yang telah disebutkan Allah subhanahu wata’ala telah menyamakan ghibah dengan perbuatan kanibal, yakni memakan daging sesama manusia yang bahkan telah menjadi bangkai. Ini adalah gambaran sangat buruknya ghibah seperti buruknya kanibalisme yang juga amat sangat dibenci oleh jiwa manusia.

Gambaran buruknya perbuatan ghibah juga diberikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Qais : ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anh melewati bangkai seekor bighal (hewan hasil persilangan kuda dengan keledai), lalu beliau berkata,Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim).” (HR. Bukhari)

Az-Zarkasyi berkata: “Dan sungguh aneh orang yang menganggap bahwasanya memakan bangkai dan daging manusia sebagai dosa besar, (tetapi) tidak menganggap bahwasanya ghibah juga sebagai dosa besar, padahal Allah menempatkan ghibah sebagaimana memakan bangkai daging manusia. Dan hadits-hadits yang memperingatkan ghibah sangat banyak sekali yang menunjukan kerasnya pengharaman ghibah.[2]

Imam Ghazali dan Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Janganlah sekali-kali kamu melakukan pergunjingan, karena pergunjingan itu lebih berat dari perzinaan. Karena, jika seseorang yang berzina kemudian bertobat maka Allah mengampuninya. Sedangkan penggunjing tidak akan diampuni Allah, sebelum orang yang digunjingkan itu memaafkannya.”

Bahaya ghibah

Peringatan Allah dan RasulNya tentang larangan berbuat ghibah dalam kehidupan, karena dapat merusak hubungan persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah). Padahal kita diperintahkan untuk saling bersaudara, saling menghargai, dan saling menguatkan.

Ghibah dapat merusak keharmonisan keluarga, tetangga, temansekerja dan siapapun, bahkan dapat memecah-belah dan meruntuhkan sebuah organisasi atau negara. Sejarah telah membuktikan, bagaimana sebab-sebab terjadinya perpecahan yang melanda umat Islam dulu dan sekarang diantaranya adalah ketika ghibah sudah meraja-lela.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah naik ke atas mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang :

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو في جَوْفِ رَحْلِهِ

 “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya, namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, dan janganlah kalian melecehkan mereka, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti akan dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (HR. Tirmidzi)

Demikian juga ghibah bisa menyebabkan rusaknya akhlaq, hati dan jatuhnya kehormatan seorang muslim. Padahal kita diperintahkan untuk menjaga hal-hal tersebut dari kerusakan.

Peringatan dari orang-orang shalih terhadap ghibah

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata: Aku pernah berkata kepada Nabi shalallahu’alaihi wasallam : “Cukup bagimu dari Shafiyah ini dan itu”.. Maka Nabi berkata: ”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat, yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya”(HR. Tirmidzi)

Imam Gazali meriwayatkan sebuah penggalan nasihat Allah kepada Nabiyullah Musa ‘alaihissalam “Barangsiapa yang mati dalam keadaan bertobat dari gunjingan, maka ia adalah orang terakhir yang memasuki surga. Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan bergunjing, maka ia adalah orang pertama yang memasuki neraka.”[3]

Imam Baihaqi meriwayatkan  dari Thauf bin Wahb dia berkata : “Aku menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata: ”Aku melihatmu sedang sakit.” aku berkata : Benar”. Maka dia berkata: “Pergilah ke tabib fulan, mitalah resep kepadanya”, (tetapi) kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang lain) karena dia lebih baik dari pada si fulan (tabib yang pertama)”. KemudianIbnu Sirinberkata: “Aku mohon ampun kepada Allah, menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yang pertama)”[4]

Cara bertaubat dari dosa ghibah

Al imam an Nawawi dan al Ghazali menyebutkan bahwa syarat diterimanya sebuah taubat bila berkaitan dengan hak Allah ada tiga perkara. Yang pertama hendaknya berhenti dari mengerjakan dosa tersebut, kedua menyesal, dan yang ketiga adalah bertekat dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi dosa tersebut lagi.

Sedangkan dosa bila ada kaitannya dengan Huquq al adamiy (Hak-hak manusia), selain tiga syarat yang disebutkan diatas, ada lagi syarat yang keempat, yakni mengembalikan hak orang yang didzalimi, atau meminta kemaafan dan pembebasan (tuntutan) atas kedzaliman tersebut.

            Orang yang mengerjakan dosa ghibah, wajib menunaikan empat syarat ini. Karena ghibah adalah termasuk dosa yang berkaitan dengan hak-hak manusia. Dan tidak boleh tidak, dia harus minta kehalalan/ maaf kepada orang yang telah di ghibah.

Tatacara meminta kemaafan kepada orang yang di ghibah

            Apakah seseorang yang menggibah ketika meminta maaf cukup mengatakan ‘saya telah menggibah anda karena itu tolong maafkan saya’ ataukah dia harus menjelaskan tentang ghibah apa yang dia lakukan ? Para ulama terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang bertaubat dari ghibah tersebut wajib menjelaskan kepada orang yang diminta kemaafannya tersebut tentang apa yang dia ghibahkan. Karena menurut pendapat pertama ini, suatu kemaafan yang diberikan seseorang tidak  sah untuk sesuatu yang belum jelas.

Sedangkan pendapat kedua, mengatakan tidak perlu menjelaskan tentang sesuatu yang dighibahkan tersebut, karena ini sudah tercukupi dengan kemaafan bila diberikan oleh orang yang didzalimi tersebut (dighibah).

Dari dua pendapat ini, yang paling dipandang rajih dan utama diamalkan adalah yang pertama. Hendaknya orang yang menuntut keridhaan dari orang yang didzalimi tersebut menjelaskan apa yang sudah dia ghibahkan. Seraya menyesal dan memohon kehalalan atas kedzalimannya.

Bagaimana bila orang yang sudah dighibah tidak bisa ditemukan atau meninggal dunia ?

Bila demikian keadaanya, para ulama menganjurkan orang yang melakukan ghibah untuk banyak memohonkan ampun kepada Allah, berdoa dan melakukan kebaikan-kebaikan lainnnya untuk orang yang telah dia ghibahi tersebut. Dalil akan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu , Rasulullah shalallahu’alaihi wasallambersabda :

كَفَّارَةُ مَنْ اغْتَبْته أَنْ تَسْتَغْفِرَ لَهُ

“Penebus dosa bagi orang yang mengghibah adalah dengan memperbanyak istighfar untuk orang yang dighibah.”[5]

Imam Mujahid rahimahullah berkata, “Penebus dosa memakan daging saudaramu (ghibah) adalah dengan banyak memujinya dan mendoakan kebaikan untuknya.”

Ada sebagian perkataan yang menyatakan bahwa hadits diatas menjadi dalil tidak perlunya meminta kehalalan dari orang yang dighibah oleh orang yang menggibah. Cukup dengan melakukan hal sebagaimana yang disebutkan. Tapi pendapat ini lemah. Karena hal ini bertentangan dengan hadits shahih yang berbunyi,

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلِمَةٌ لأِخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْل أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلِمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَتْ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِل عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang melakukan kedzaliman kepada saudaranya, baik terkait masalah kehormatannya atau hal lainnya, maka hendaklah ia menuntut kehalalannya sekarang. Sebelum datang hari dimana tidak berguna lagi dinar dan dirham. (karena bila telah tiba hari tersebut) Amal shalih akan diambil (diberikan kepada orang yang didzalimi) sesuai dengan kadar kedzalimannya. Dan apabila tidak ada kebaikannya/amal shalihnya, maka akan diambilkan dosa orang yang terdzalimi dan dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Dan juga diriwayatkan bahwa seorang wanita berkata kepada seorang wanita lain tentang hal seseorang dihadapan umul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu’anha, maka beliau berkata :“Engkau telah menggibahnya, minta kehalalannya !”

Maka jelaslah bahwa dosa ghibah harus dimintakan kehalalan dari orang yang dighibah jika mampu. Terkecuali bila ia tidak bisa ditemukan atau meninggal, maka hendaknya ia memperbanyak istighfar, doa dan amal kebaikan lainnya untuknya.[6]

  Wallahu a’lam.

[1] Kitab As-Samt no 211, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini : “Rijalnya (para perawinya) tsiqah (terpercaya)”

[2] Subul as Salam (4/299).

[3] Mukhtasar Ihya Ulumidin,1990: 241.

[4] Kitab az Zuhud (3/ 748).

[5] Hadits ini disebutkan oleh al ‘Iraqi dalam Takhriju Ahadits al Ihya (3/150), Isnadnya lemah.

[6] Al adzkar li imam an Nawawi hal 308, Ihya al Ulumiddin (3/150), Mukhtashar Minhaj al Qaashidin hal 173.http://www.konsultasislam.com/2013/05/ghibah.html

Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam Mengajarimu Arti Ghibah Sesungguhnya

“Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)

 

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallambersabda,

اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله أعلم .قال:الْغِيبَة ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُول ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتّه

“Tahukah kalian apa itu ghibah?”

Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Kemudian beliau shallahu’alaihi wasallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.”

Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata apa pada saudaraku?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)

Pelajaran Penting

Syaikh Abdullah al Bassam rahimahullah dalam kitab beliau Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram(IV/599, Kairo) menjelaskan poin-poin penting yang bisa diambil dari hadits diatas:

Definisi Ghibah

Nabi shallallhu’alaihi wasallam menjelaskan makna ghibah dengan menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci, baik tentang fisiknya maupun sifat-sifatnya. Maka setiap kalimat yang engkau ucapkan sementara saudaramu membenci jika tahu engkau mengatakan demikian maka itulah ghibah. Baik dia orang tua maupun anak muda, akan tetapi kadar dosa yang ditanggung tiap orang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dia ucapkan meskipun pada kenyataannya sifat tersebut ada pada dirinya.

Adapun jika sesuatu yagn engkau sebutkan ternyata tidak ada pada diri saudaramu berarti engkau telah melakukan dua kejelekan sekaligus: ghibah dan buhtan (dusta).

Nawawiy rahimahullah mengatakan, “Ghibah berarti seseorang menyebut-nyebut sesuatu yang dibenci saudaranya baik tentang tubuhnya, agamanya, duniannya, jiwanya, akhlaknya,hartanya, anak-anaknya,istri-istrinya, pembantunya, gerakannya, mimik bicarnya atau kemuraman wajahnya dan yang lainnya yang bersifat mngejek baik dengan ucapan maupun isyarat.”

Beliau rahimahullah melanjutkan, “Termasuk ghibah adalah ucapan sindiran terhadap perkataan para penulis (kitab) contohnya kalimat: ‘Barangsiapa yang mengaku berilmu’ atau ucapan ‘sebagian orang yang mengaku telah melakukan kebaikan’. Contoh yang lain adalah perkataa berikut yang mereka lontarkan sebagai sindiran, “Semoga Allah mengampuni kami”, “Semoga Allah menerima taubat kami”, “Kita memohon kepada Allah keselamatan”.

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam ذِكْرك أَخَاك (engkau meneybut-nyebut saudaramu) ini merupakan dalil bahwa larangan ghibah hanya berlaku bagi sesama saudara (muslim) tidak ada ghibah yang haram untuk orang yahudi, nashrani dan semua agama yang menyimpang, demikian juga orang yang dikeluarkan dari islam (murtad) karena bid’ah yang ia perbuat.”

Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwasanya ghibah termasukdosa besar. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالكُمْ وَأَعْرَاضكُمْ حَرَام عَلَيْكُم

“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah haram atas (sesama) kalian”.( HR Muslim 3179, Syarh Nawai ‘ala Muslim)

Adakah Ghibah yang Diperbolehkan?

Nawawi rahimahullah setelah menjelaskan makna ghibah beliau berkata, “Akan tetapi ghibah itu diperbolehkan oleh syar’iat pada enam perkara:

  1. Kedzoliman, diperbolehkan bagi orang yang terdzolimi menngadukan kedzoliman kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku”atau “Dia telah berbuat demikian kepadaku.”
  2. Meminta bantun untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah dia!”
  3. Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa,pen) dengan mengatakan:”Si Fulan telah mendzolimi diriku atau bapakku telah mendzalimi diriku atau saudaraku atau suamiku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan buruknya kepadaku?”Atau ungkapan semisalnya. Hal ini diperbolehkan karena ada kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan tersebut diungkapkan dengan ungkapan global, contohnya:“Seseorang telah berbuat demikian kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzalim kepaada istrinya” atau “Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya.

    Meskipun demkian menyebut nama person tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits Hindun ketika beliau mengadukan (suaminya)kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”

  4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan, contohnya memperingatkan kaum muslimin dari perowi-perowi cacat supaya tidak diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari para penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib demi menjaga kemurnian syari’at.
  5. Ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara terang-terangnan seperti menggunjing orang yang suka minum minuman keras, melakukan perdagangan manusia, menarik pajak dan perbuatan maksiat lainnya. Diperbolehkan menyebutkannya dalam rangka menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.
  6. Menyebut identitas seseorang yaitu ketika seseorang telah kondang dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si pincang, si buta lagi pendek, si buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan menyebutkan nama-nama tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram jika digunakan untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih baik jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan, Allahu A’lam. (Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, Hal.400).

Washalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wattabi’in

Penulis: Ummu Fatimah Umi Farikhah
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

Maraji’:
Syarhun Nawawi Ala Muslim, Abu Zakariya An Nawawi, Maktabah Asy Syamlahilah
Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, Syaikh Abdullah Al Bassam, Jannatul Afkar, Kairo.

***
Artikel muslimah.or.id