Golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Siapa Mereka?

 Rasulullah ﷺ telah menyatakan bahwasannya kelompok yang selamat dari umatnya adalah mereka yang berpegang teguh kepada prinsip-prinsip yang mana Rasulullah ﷺdan para sahabatnya menganutnya. Orang-orang yang memegang prinsip itulah yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Nah, dari kelompok-kelompok yang ada di sepanjang sejarah peradaban umat Rasulullah, siapa saja yang tergolong dalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah menurut para ulama?

Imam Tajuddin As Subki (771 H) juga menjelaskan bahwasannya Ahlus Sunnah wal Jam’ah terdiri dari tiga golongan. Yakni Ahlul Hadits, Ahlun Nadzr (Al Asy`ariyah dan Al Maturidiyah), Ahlul Wijdan, yakni para shufi. (Ithaf As Sadah Al Muttaqin, 2/5,6).

As Sa’d At Taftazani (791 H) berkata, ”Masyhur dari Ahlus Sunnah di negeri Khurasan, Iraq, Syam, dan mayoritas wilayah adalah Al Asya`irah, pengikut Abu Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismalil bin Abdillah bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al Asy`ari sahabat Rasulullah ﷺ, orang pertama yang menentang Abu Ali Al Jubba’i dan keluar dari madzhabnya menuju As Sunnah, yakni metode Nabi ﷺdan jama’ah, yakni metode para sahabat. Dan di negeri-negeri seberang Sungai (Jihun) Al Maturidiyah, yakni para pengikut Abu Manshur Al Maturidi murid Abu Nashr Al ‘Ayyadh, murid Abu Bakr AL Jurjani pengikut Abu Sulaiman Al Jurjani yang merupakan murid Muhammad bin  Al Hasan Asy Syaibani Rahimahullah.” (dalam Syarh Al Maqasid, 2/271).

Ibnu Kamal Basya (940 H) menyatakan, ”Ketahuilah bahwa sesungguhnya Syeikh Abu Hasan Al Asy’ari, Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pemukanya, kemudian Syeikh Abu Manshur Al Maturidi. Dan sesungguhnya para murid Asy Syafi’i dan para pengikutnya mengikutinya (Abu Hasan Al Asy`ari) di dalam masalah ushul (aqidah) dan mengikuti Asy Syafi`i dalam furu` (fiqih). Dan sesungguhnya para pengikut Abu Hanifah mareka adalah pengikut Syeikh Abu Manshur Al Maturidi dalam ushul dan pengikut Abu Hanifah dalam furu`.” (dalam Masa’il Al Ikhtilaf baina Al Asyairah wal Al Maturidiyah, hal. 11).

Thash Kubra Zadah (968 H) juga berkata, ”Ketahuilah bahwasannya pemimpin Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua laki-laki. Salah satunya pengikut Madzhab Hanafi dan yang lain penganut Madzab Syafi’i. Adapun Hanafi ia adalah Abu Manshur Muhammad bin Mahmud Al Maturidi pemimpin yang berada di atas petunjuk. Adapun yang lain penganut Syafi’i, ia adalah Syeikh Sunnah, dan pemimpin jama’ah, imam para mutakallimin, penyebar Sunnah Tuan para Rasul, pembela dien yang berusaha menjaga aqidah umat Islam Abu Al Hasan Al Asy’ari Al Bashri…” (dalam Miftah As Sa’adah, 2/33).

Ibnu Hajar Al Haitami (974 H) menyatakan, ”Yang dimaksud dengan para pelaku bid’ah padanya adalah siapa saja yang menyelisihi asas Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Dan yang dimaksud dengan mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah para pengikut Syeikh Abu Hasan Al Asy`arid dan Abu Manshur Al Maturidi, dua Imam Ahlus Sunnah.” (dalam Fatawa Al Haditsiyah, hal. 654).

Imam Ibrahim Al Laqqani berkata (1041 H), ”Apa-apa yang bersandar dari Sunnah dan berjalan di atasnya jama’ah, maka ia dikenal sebagai al asya`irah dan mereka disebut dengan Ahlus Sunnah Wal Jama`ah. Mereka dikenal di kebanayakan wilayah dengan nama ini. Adapun negeri-negeri seberang sungai (Sungai Jihun) maka yang masyhur di wilayah itu dengan sebutan itu yakni Abu Manshur Al Maturidi dan pengikutnya yang dikenal dengan nama al-maturidiyah. Kedua kelompok itu di atas petunjuk dan cahaya.” (dalam Umdah Al Murid Syarh Jauharah At Tauhid, 1/130, 131).

Abdul Baqi Al Mawahibi Al Hanbali (1071 H) berkata, ”Kelompok Ahlus Sunnah ada tiga Asya`irah, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, dan Maturidiyah.” (dalam Al Ain Al Atsar fi Aqaid Ahlil Atsar, hal. 53).

Sedangkan Muhammad bin Muhammad As Safarini Al Hanbali (1188 H) berkata, ”Ahlus Sunnah tiga kelompok: Al Atsariyah yang imam mereka adalah Ahmad bin Hanbal, Al Asy`ariyah dan imam mereka adalah Abu Hasan Al Asy`arid an Al Maturidiyah imam mereka adalah Abu Manshur Al Maturidi.” (dalam Lawami` Al Anwar Al Bahiyah, 1/73).

Muhammad Murtadha Az Zabidi Al Hanafi (1208 H), ”Dan makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah mereka kelompok empat, para muhaddits, penganut shufiyah, penganut asy`ariyah dan penganut maturidiyah.” (dalam Ithaf As Sadah Al Muttaqin, 2/86).

Al Adhud Al Iji (756 H) berkata mengenai firqah an najiyah (firqah yang selamat), ”Adapun firqah yang selamat yang dikecualikan, yang mana Rasulullah ﷺ bersabda mengenai mereka,’ mereka yang berada di atas apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.’ Mereka adalah asyairah, dan salaf dari para ulama hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (dalam Al Mawaqif fi Ilmi Kalam, hal. 429).

Sedangkan Syeikh Abu Abdullah Muhammad bin Musa Al Kallai`i yang merupakan  ulama Madzab Maliki menyatakan bahwasannya Ahlus Sunnah mencakup para penganut Madzhab Maliki, Madzab Syafi’i dan mayoritas Madzhab Hanafi, di mana mereka berbicara dengan lisan Abu Hasan Al Asy`ari dengan hujjahnya pula. Bahkan Al Kalla`i menyatakan bahwasannya Syeikh Abu Hasan Al Asy’ari penganut Madzhab Maliki dalam fiqih. (dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 3/366).

Demikianlah kelompok-kelompok yang termasuk dalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah menurut para ulama mu’tabar dari empat madzhab. Dengan demikian, maka tidak mudah bagi kita umat Islam untuk bermudah-mudah dalam memvonis bahwa hanya kelompoknyalah yang tergolong dalam Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Sementara degan mudahnya menuduh diluar kelompoknya bukan termasuk Ahlus Sunnah wal Jama`ah.

Semoga kita semua tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Amin.*

HIDAYATULLAH

KH Luthfi Bashori: Liberalisme Bukan Ajaran Aswaja

Pengasuh Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari Malang KH Luthfi Bashori mengatakan, liberalisme sebagai penganut kebebasan bukanlah berasal dari ajaran Islam, apalagi lebih spesifik Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA).

Liberalisme atau liberal adalah sebuah ideologi (keyakinan), pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.

“Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama,” jelasnya dalam Kuliah Aswaja di Dalwa Hotel, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (11/10/2018).

Liberalisme bukan ajaran Aswaja, jelasnya, karena ajaran Aswaja itu bukan ajaran kebebasan, namun ajaran yang penuh dengan aturan.

Baik yang bersifat aturan global seperti batasan-batasan yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadits, atau aturan yang lebih terinci, yaitu hasil ijtihad para ulama dalam menerjemahkan isi yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, lantas dicetuskan dalam bentuk batasan ilmu Fiqih, ilmu Tasawwuf, ilmu falaq, ilmu Faraid, dan sebagainya.

“Dari sini jelaslah, bahwa hanyalah sebuah kebohongan dan penipuan saja jika kaum liberal mengaku-ngaku sebagai penganut Aswaja. Sekalipun banyak di antara penganut liberalisme yang sengaja mendompleng kepada ormas-ormas Islam yang berasas Aswaja. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan untuk melancarkan upaya liberalisasi ormas yang mereka masuki tersebut,” ungkap Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI Kabupaten Malang ini.

Sayangnya, kata Gus Luthfi, banyak aktivis ormas Islam yang tidak sadar dan kurang peduli terhadap bahaya liberalisme yang merusak eksistensi ormas Islam yang disusupinya, khususnya dalam bidang keselamatan aqidah para anggota ormas terkait.

Ia mengatakan, liberalisme itu aslinya adalah kepanjangan tangan dari strategi kaum orientalis Barat non-Muslim, yang mana mereka sengaja mempelajari keislaman, namun bukan untuk diamalkan sesuai aturan syariat yang telah diajarkan oleh baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam serta dilestarikan oleh para ulama salaf, namun hanya untuk sekadar dipelajari dan dikaji.

Menurutnya, bilamana komunitas liberalis menemukan adanya ajaran Rasulullah yang tidak sesuai dengan selera hawa nafsu mereka, maka mereka pun tidak segan-segan berusaha merevisinya, misalnya dengan alasan ‘ajaran ini’ sudah tidak relevan untuk diterapkan pada jaman sekarang.

“Jadi, tujuan utama kaum liberal adalah upaya mereduksi ajara Islam dengan standar pemahaman kaum orientasi Barat non-Muslim,” ujarnya.

Ending-nya yang terjadi, hampir setiap hasil ‘koreksi’ dari kaum liberalis terhadap ajaran Islam ini, menjadi rujukan baru bagi ‘bos-bos’ mereka di dunia Barat non-Muslim, kata dia.

Hal ini menurutnya dikarenakan kaum liberal tetap menggunakan nama-nama serta simbol-simbol keislaman, sehingga tujuan utama kaum orientalis Barat untuk menghancurkan Islam dari dalam, semakin mendekati keberhasilan.

Ia mengatakan, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Umat Islam haram mengikuti paham liberalisme.

“Masih segar dalam ingatan, KH Mas Subadar, kiai berpengaruh asal Pasuruan, Jawa Timur, melontarkan peringatan keras saat Muktamar NU di Boyolali, Desember 2004: “Bersihkan pengurus NU dari unsur Islam liberal.” Sebelumnya, seruan yang sama juga terjadi saat Muktamar Pemikiran NU di Situbondo, Oktober 2003,” ungkap putra KH Bashori Alwi ini.

Ia mengatakan, Komisi Bahts al-Masail al-Maudhu’iyyah dalam Muktamar Boyolali juga menolak Metode Hermeneutika yang dinilai sebagai agenda kaum liberalis untuk menghancurkan Islam lewat komunitas Nahdliyyin.

“Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna,” jelasnya.

Nama hermeneutika, terangnya, diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneueinyang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan.

Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa pengetahuan dalam mitologi Yunani, yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia, terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus, masih kata Gus Luthfi.

Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu dalam keyakinan mereka,” pungkasnya.*

 

HIDAYATULLAH

Ustadz Dr Muinudinillah Basri: Ciri Aswaja Sesuai Karakter Sahabat Rasulullah

“Banyak yang mengklaim Ahlul Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) itu dirinya, tapi diluar kelompoknya bukan, ini masalah besar. Aswaja terbuka untuk semua orang “ ucap ustadz Dr Muinudinillah Basri MA pada malam Pencerahan di masjid Istiqlal, Sumber Krajan, Banjarsari, Solo, Jum’at (10/6/2016).

Ustadz Muin mengurai ciri Aswaja sebanyak sepuluh hal, dirinya tidak bisa menjelaskan secara rinci dikarenakan keterbatasan waktu kajian yang hanya satu jam. Untuk itu beliau berusaha menjelaskan secara ringkas dan jelas.

Ustadz Muin mengawali bahwa umat Nabi Muhammad akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan selamat. Menurut ustadz Muin satu itu yang berada diatas konsep Nabi mengikutu sunnah Nabi dan sunnah para sahabat.

“Semua orang bisa mengaku Aswaja tapi apakah ciri-cirinya sesuai dengan karakter sahabat, kita sebutkan satu, ciri Aswaja jauh dari sifat berlebih-lebiha, kalau kita jelaskan ini bisa 3 jam”ucapnya.

Ustadz Muin mencontohkan sifat aswaja tidak boleh mengkafirkan orang yang tidak ada dalilnya tapi juga jangan menganggap orang telah kafir sebagai orang Islam. Sifat Aswaja berada ditengah-tengah.

“Yang kedua Aswaja tidak mengkultuskan imam satupun, tidak mengambil ucapannya, perbuatannya, kecuali Rosulullah. Kalau sesuai dengan sunnah Nabi maka bisa diambil ataupun tidak. Jadi imam Aswaja tidak mau dikultuskan omongannya.” katanya.

Lebih lanjut ustadz Muin mengatakan  yang ketiga mencintai sunnah Nabi maka perlu mempelajari siroh Nabi dan yang keempat tidak mau berselisih pendapat, dan yang kelima menolak berdebat dalam aqidah. Ustadz Muin melanjutkan ciri keenam mereka menolak takwil dalam aqidah, pasrah dalam syari’at.

“Yang ketujuh mereka kalau melihat suatu masalah maka dikumpulkan dalil masalah tersebut, tidak mengambil satu ayat tapi menolak ayat yang lain. Yang kedelapan Aswaja itu teladan yang baik bagi orang-orang yang sholeh” tandasnya.

Ustadz Muin melanjutkan bahwa ciri kesembilan adalah mereka tidak mengunggulkan nama kelompoknya masing-masing. Namanya Islam sunnah dan jama’ah artinya mereka tidak memiliki identitas diri kecuali Islam.

“Yang nomor sepuluh mereka punya semangat untuk meningkatkan aqidah, dinnul Islam yang lurus. Mereka mengajarkan manusia petunjuk yang benar dan memperhatikan nasib kaum muslimin”pungkasnya. [SY]

 

sumber:Panji Mas