Renungan Untuk Para Pelaku Bisnis

بسم الله الرحمن الرحيم

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan sebuah kisah yang pantas untuk kita jadikan renungan.

Dikisahkan bahwa ada seorang ulama yang menumpang sebuah kapal laut bersama para saudagar kaya (yang membawa banyak harta dan barang dagangan). Tapi kemudian, (di tengah lautan) kapal tersebut rusak (dan tenggelam bersama seluruh barang-barang muatan). Maka para saudagar tersebut serta merta menjadi orang-orang yang hina dan rendah (karena harta mereka tenggelam di laut) padahal sebelumnya mereka merasa mulia (bangga) dengan kekayaan mereka. Sedangkan ulama tersebut sesampainya di negeri tujuan, beliau dimuliakan dengan berbagai macam hadiah dan penghormatan (karena ilmu yang dimilikinya). Kemudian ketika para saudagar yang telah menjadi miskin itu ingin kembali ke negeri mereka, mereka bertanya kepada ulama tersebut: Apakah anda ingin menitip pesan atau surat untuk kaum kerabat anda? Maka ulama itu menjawab: “Iya, sampaikanlah kepada mereka: Jika kalian ingin mengambil harta (kemuliaan) maka ambillah harta yang tidak akan tenggelam (hilang) meskipun kapal tenggelam, oleh karena itu jadikanlah ilmu (agama) sebagai (barang) perniagaan (kalian)”1.

Kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita semua tentang hakikat kemuliaan dan kebahagiaan yang seharusnya kita utamakan dalam kehidupan ini, yaitu kemuliaan yang selalu menyertai diri kita dalam semua perjalanan yang kita lalui sampai di akhirat nanti.

Adapun kemuliaan semu dan sesaat maka akan berakhir seiring dengan berakhirnya dunia ini dan itu sangatlah cepat terjadinya.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al Hasyr:18).

Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata tentang ayat ini: “Senantiasa Tuhanmu (Allah Ta’ala) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok”2.

Cobalah renungkan nasehat berharga dari Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini: “Sesungguhnya bentuk-bentuk kebahagiaan (kemuliaan) yang diprioritaskan oleh jiwa manusia ada tiga (macam):

  1. Kebahagiaan (kemuliaan) di luar zat (diri) manusia, bahkan kebahagiaan ini merupakan pinjaman dari selain dirinya, yang akan hilang dengan dikembalikannya pinjaman tersebut. Inilah kebahagiaan dengan harta dan kedudukan (jabatan duniawi).
    Kebahagiaan seperti ibaratnya seperti kebahagiaan seseorang dengan pakaian (indah) dan perhiasannya, tapi ketika pandanganmu melewati penutup dirinya tersebut maka ternyata tidak ada satu keindahanpun yang tersisa pada dirinya!
  2. (Bentuk) kebahagiaan (kemuliaan) yang kedua: kebahagiaan (kamuliaan) pada tubuh dan fisik manusia, seperti kesehatan tubuh, keseimbangan fisik dan anggota badan, keindahan rupa, kebersihan kulit dan kekuatan fisik. Kebahagiaan ini meskipun lebih dekat (pada diri manusia) jika dibandingkan dengan kebahagian yang pertama, namun pada hakikatnya keindahan tersebut di luar diri dan zat manusia, karena manusia itu dianggap sebagai manusia dengan ruh dan hatinya, bukan (cuma sekedar) dengan tubuh dan raganya, sebagaimana ucapan seorang penyair:
    Wahai orang yang (hanya) memperhatikan fisik, betapa besar kepayahanmu dengan mengurus tubuhmu Padahal kamu (disebut) manusia dengan ruhmu bukan dengan tubuhmu3Inilah keindahan semu dan palsu milik orang-orang munafik yang tidak dibarengi dengan keindahan jiwa dan hati, sehingga Allah Ta’ala mencela mereka dalam firman-Nya:وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh (penampilan fisik) mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar” (QS al-Munafiqun: 4).
    Artinya: mereka memiliki penampilan rupa dan fisik yang indah, tapi hati dan jiwa mereka penuh dengan keburukan, ketakutan dan kelemahan, tidak seperti penampilan lahir mereka4.
  3. (Bentuk) kebahagiaan (kemuliaan) yang ketiga: inilah kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan rohani dalam hati dan jiwa manusia, yaitu kebahagiaan dengan ilmu yang bermanfaat dan buahnya (amalan shaleh untuk mendekatkan kepada Allah Ta’ala).
    Sesungguhnya kebahagiaan inilah yang menetap dan kekal (pada diri manusia) dalam semua keadaan, dan menyertainya dalam semua perjalanan (hidupnya), bahkan pada semua alam yang akan dilaluinya, yaitu: alam dunia, alam barzakh (kubur) dan alam tempat menetap (akhirat). Dengan inilah seorang hamba akan meniti tangga kemuliaan dan derajat kesempurnaan”5.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi renungan untuk kita semua, serta menjadi sebab untuk kebaikan diri kita di dunia dan akhirat.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 26 Shafar 1434 H

1 Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/107).

2 Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Ighaatsatul lahfan” (hal. 152-Mawaaridul amaan).

3 Mulai dari sini sampai akhir paragraf ini adalah keterangan tambahan dari penulis.

4 Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/472), “Tafsir al-Qurthubi” (18/124-125) dan “Fathul Qadiir” (7/226).

5 Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/107-108).

 —

Penulis: Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Artikel Muslim.Or.Id

Ilmui Dulu, Baru Usaha

Konsep keliru yang banyak diterapkan oleh sebagian pengusaha Muslim adalah: jalan dulu, ilmunya nanti sambil jalan. Atau kata orang Jawa: “dipikir karo mlaku”.

Kalau urusannya dengan ilmu agama, atau lebih tepatnya masalah: fikih muamalah, maka ini keliru.

Ilmu sebelum berkata dan berbuat

Dalam masalah agama, masalah halal-haram, tidak boleh berkata dan berbuat tanpa ilmu. Allah ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan-jawabnya” (QS. Al-Isra’ : 36).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

أن الله تعالى نهى عن القول بلا علم بل بالظن الذي هو التوهم والخيال

“Allah Ta’ala melarang untuk bicara tanpa ilmu, yaitu bicara dengan sekedar sangkaan yang merupakan kerancuan dan khayalan” (Tafsir Ibnu Katsir).

Oleh karena itu para ulama mengatakan:

العلم قبل القول والعمل

“Ilmu harus ada sebelum berkata dan berbuat”.

Berilmu sebelum memulai usaha

Oleh karena itu, tidak boleh seseorang belum paham ilmu fikih muamalah terkait usahanya, lalu dia sudah menjalankan dan mengeksekusi usahanya.

Padahal dia belum mengetahui:

  • Apa saja syarat dan rukun jual beli?
  • Apa jenis akad yang ia lakukan dalam usahanya?
  • Apa saja syarat-syarat akad tersebut?
  • Apa itu khiyar?
  • Apa saja hak dan kewajiban penjual serta pembeli?
  • Apa itu riba dan apa saja jenisnya? Dan adakah riba dalam usahanya?
  • Apa itu gharar? Bagaimana bentuknya? Dan adakah gharar dalam usahanya?
  • dll.

Maka sikap yang benar adalah: ilmui dulu fikih muamalahnya, baru setelah itu mengeksekusi usaha sesuai dengan tuntunan agama.

Sahabat Nabi yang mulia, Umar bin Khathab radhiallahu’anhu, bahkan mengatakan:

لاْ يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاْ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِيْ الدِّيْنِ

“Tidak boleh berjual-beli di pasar kami, kecuali orang yang paham fikih (dalam jual-beli)” (HR. At Tirmidzi no. 487, ia mengatakan: “hasan gharib”, dihasankan Al Albani dalam Shahih at Tirmidzi).

Imam An Nawawi mengatakan:

وأمّا البيعُ والنّكاحُ وشبههُما – ممّا لا يجبُ أصلُه – فيحرُمُ الإقدامُ عليه إلاّ بعدَ معرفةِ شرطِه

“Adapun masalah jual beli, nikah dan yang mirip dengan keduanya, yang hukum asalnya tidak wajib, maka haram melakukannya kecuali setelah mengetahui syarat-syaratnya” (dari Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 30/293).

Ibnu ‘Abidin juga mengatakan:

وفرضٌ على كلِّ مكلّفٍ ومكلّفةٍ بعدَ تعلّمِه علمَ الدينِ والهدايةِ ، تعلُّمُ علمِ الوضوءِ والغسلِ والصلاةِ الصومِ وعلم الزكاة لمن له نصاب ، والحجّ لمن وجب عليه .والبيوعِ على التّجّارِ ليحترزوا عن الشّبهاتِ والمكروهاتِ في سائرِ المعاملاتِ ، وكذا أهلِ الحِرَفِ

“Bagi setiap mukallaf laki-laki maupun wanita setelah ia belajar tentang ilmu agama dan hidayah (baca: akidah), wajib bagi mereka untuk belajar ilmu tentang wudhu, mandi, shalat, puasa zakat, nisab-nisabnya. Juga belajar tentang haji dan siapa yang wajib haji. Juga bagi para pedagang, wajib belajar tentang jual-beli, agar mereka terhindar dari syubhat dan perkara-perkara yang makruh dalam semua muamalah. Demikian juga para pekerja” (dari Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 30/293).

Mengapa harus berilmu dulu?

Para pengusaha dan para praktisi usaha harus berilmu tentang fikih muamalah sebelum menjalankannya, agar terhindar dari riba dan muamalah-muamalah yang diharamkan.

Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu mengatakan:

مَنِ اتَّجَرَ قبلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِيْ الرِّبَا ، ثُمَّ ارْتَطَمَ ، ثُمَّ ارْتَطَمَ . أي : وقع في الربا

“Siapa saja yang berjual-beli sebelum mengilmui fikih jual-beli, maka ia akan terjerumus dalam riba, semakin terjerumus, dan semakin terjerumus”.

Kata “irtathoma” artinya: terjerumus dalam riba” (Mughnil Muhtaaj [2/22] karya Al Khathib Asy Syarbini).

Demikian juga, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abidin di atas, agar terhindar dari perkara-perkara yang syubhat dan dimakruhkan dalam jual-beli.

Apa harus mempelajari semua bab fikih muamalah?

Jawabnya: tidak harus. Namun yang wajib dipelajari adalah bab-bab fikih jual beli yang terkait dengan usahanya. Sampai ia bisa menjalankan hal-hal yang wajib dan terhindar dari perkara-perkara yang haram dalam usahanya.

Al Ghazali rahimahullah berkata:

لو كان هذا المسلمُ تاجرًا وقد شاعَ في البلدِ معاملةُ الربا ، وجبَ عليهِ تعلُّمُ الحذرِ من الربا ، وهذا هو الحقُّ في العلمِ الذي هو فرضُ عينٍ ، ومعناه العلمُ بكيفيةِ العملِ الواجب

“Andaikan seorang Muslim hidup di negeri yang tersebar riba di dalamnya, maka wajib baginya mempelajari ilmu yang menghindarkan dirinya dari riba. Inilah pendapat yang tepat tentang ilmu apa yang termasuk fardhu ‘ain. Yaitu, ilmu yang cukup untuk membuat ia menjalankan kewajiban (agama)” (Ihya Ulumiddin, 1/33).

Jika ada yang berkata, “wah kelamaan… pusing dan repot belajar fikih dulu, nanti usaha ngga jalan-jalan”.

Ya terserah anda. Tapi, lebih baik menelan pahitnya belajar, dari pada merasakan pahitnya harta haram.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

__

Penulis: Yulian Purnama

Muslim.or.id

Mulai Usaha, Jangan Hanya Mikir Modal

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terlebih dahulu, izinkan saya bercerita…

Diantara upaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menguatkan persaudaraan sesama muslim adalah dengan mempersaudarakan antara muhajirin dan anshar. Mereka bisa saling menanggung antara satu dengan yang lainnya. Mengingat kondisi kaum muslimin muhajirin yang tiba di kota Madinah, kebanyakan mereka tidak memiliki harta dan keluarga.

Diantara cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan at-Taakhi (mempersaudarakan) adalah dengan melihat latar belakang masing-masing sahabat. Kuatnya ikatan iman, sampai para kaum anshar menawarkan siap berbagi dengan sahabat muhajirin.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, bahwa ketika orang anshar dipersaudarakan dengna muhajirin, masyarakat anshar menyampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اقْسِمْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ إِخْوَانِنَا النَّخِيلَ . قَالَ « لاَ » . فَقَالُوا تَكْفُونَا الْمَئُونَةَ وَنُشْرِكُكُمْ فِى الثَّمَرَةِ . قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا

“Silahkan anda bagi kebun kurma kami dengan kawan-kawan kami Muhajirin”

“Tidak.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Orang anshar menawarkan, “Kalau begitu, kalian cukupi kebutuhan pengelolaan kebun kami, nanti kami libatkan kalian untuk bagi hasil buahnya.”

Jawab Muhajirin, “Siap, kami dengar dan kami taat.” (HR. Bukhari 2325).

Mereka bisa salin tolong menolong dalam materi, perhatian, memberi nasehat, membangun rasa cinta karena iman. bahkan sampai diantara mereka siap mewariskan hartanya kepada saudaranya Muhajirin jika mereka meninggal. Namun ini dilarang oleh Allah, karena ahli waris yang lebih berhak dalam masalah ini. Allah jelaskan ini dalam firman-Nya,

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُوا الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Anfal: 75)

Disebutkan dalam sebagian referensi bahwa para sahabat yang dipersaudarakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai 90 sahabat. Diantaranya,

Persaudaraan Abu Bakar as-Shiddiq dengan Kharijah bintu Zuhair

Umar bin Khatab dengan Itban bin Malik. Umar dan Itban bahkan gantian (tanawub) dalam menghadiri majlis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mereka saling tukar hasil kajian.

Abu Ubaidah bin Jarrah dengan Muadz bin Jabal

Az-Zubair bin Awam dengan Salamah bin Sallamah bin Waqsy

Thalhah bin Ubaidillah dengan Ka’ab bin Malik

Salman al-Farisi dengan Abu Darda..

Radhiyallahu ‘anhum ajma’in…

Antara Abdurrahman bin Auf dengan Sa’d bin Rabi’ radhiyallahu ‘anhuma.

Tatkala Abdurrahman hijrah ke Madinah, beliau dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’.

Semangat persaudaraan Sa’ad bin ar-Rabi’ dengan Abdurrahman sampai membuat beliau menawarkan separuh harta dan istrinya kepada Abdurrahman.

Akan tetapi, Abdurrahman menolak dan berkata,

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ دُلَّنِي عَلَى السُّوقِ

“Semoga Allah memberkahi keluarga dan harta kekayaanmu. Tunjukkan saja letak pasar kepadaku.”

ketika Abdurrahman pulang ke rumah, dia telah berhasil membawa pulang keuntungan berupa keju dan minyak samin. Tidak selang beberapa lama, Abdurrahman menikahi wanita Anshar dengan mas kawin berupa emas sebesar biji kurma. (HR. Bukhari 3937)..

Subhanallah… persaudaraan yang luar biasa..

Terlepas dari kondisi itu, ada sebuah pelajaran luar biasa yang diajarkan masyarakat muhajirin kepada kita.. bahwa masyarakat muhajirin, lebih memilih untuk menjadi mukmin yang mandiri dan tidak menggantungkan diri kepada tawaran orang lain.

Semangat seperti inilah yang seharusnya dibangun oleh para pengusaha muslim.. tidak bergantung kepada apa yang dimiliki orang lain.

Ketika orang pemula dalam usaha selalu berfikir, dari mana saya bisa dapat modal? Siapa yang bisa memberi modal? Aset apa yang bisa digadaikan untuk mendapatkan modal bank?…

Jika seperti yang anda pikirkan, berarti anda salah jalur dalam mengawali usaha.. karena anda di posisi terlalu bergantung dengan dana dari orang lain..

Yang lebih tepat ketika anda berfikir, usaha apa yang bisa saya kembangkan, skill bisnis apa yang bisa saya tawarkan, sehingga orang lain tertarik untuk bergabung dengan usaha saya… dengan prinsip semacam ini, anda bisa menjadi orang yang lebih mandiri. Pemodal yang butuh anda, dan bukan anda yang butuh pemodal..

Dan secara psikologi, orang yang butuh, itulah yang dikendalikan. Jika anda yang butuh pemodal, maka anda dikendalikan. Anda kalah sejak berada di awal.

Namun jika pemodal yang butuh anda, anda yang mengendalikan. Anda merdeka dari awal…

Prinsip semacam inilah yang kami ajarkan di KPMI..

Demikian, Allahu a’lam.

Read more https://pengusahamuslim.com/6515-mulai-usaha-jangan-hanya-mikir-modal.html

Bisnis Sebagai Ladang Amal

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Dialah Dzat Yang Maha Pencipta, yang telah menciptakan setiap makhluknya secara sempurna tanpa kurang suatu apapun. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Allah Swt berfirman, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud [11] : 6)

Saudaraku, setiap urusan dalam hidup kita haruslah menjadi ladang amal bagi kita. Karena tujuan Allah menciptakan kita adalah untuk beribadah kepada-Nya. Termasuk dalam urusan bisnis kita. Apalagi bisnis merupakan karunia Allah yang wajib disyukuri.

Mensyukuri bisnis adalah dengan berlaku jujur dan profesional. Jujurlah dalam menyampaikan kondisi produk yang kita tawarkan, tak perlu melebih-lebihkan apalagi dibumbui dengan dusta. Karena selain mengundang dosa, dusta juga akan mengecewakan konsumen karena ternyata produk atau jasa yang diterima tidak seperti yang kita tawarkan. Jika sudah demikian, kita akan mengalami doublekerugian, kerugian karena dosa dan kerugian karena konsumen tidak lagi menggunakan produk kita.

Tidak perlu iri dengki dengan orang lain yang menjual produk seperti kita. Apalagi sampai berusaha menjelek-jelekkan dan menjatuhkannya. Keberadaannya semestinya kita sikapi dengan fastabiqul khoirot, berlomba dalam kebaikan, sehingga menjadi motivasi bagi kita untuk meningkatkan kualitas produk dan pelayanan.

Lakukanlah bisnis dengan prinsip-prinsip dan sikap-sikap yang Allah sukai. Bukan hanya besarnya keuntungan semata yang menjadi target, melainkan keridhoan Allah Swt. Sehingga bisnis kita menjadi berkah, tidak hanya mendatangkan keuntungan di dunia tapi juga keuntungan di akhirat. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK