Pada pembahasan sebelumnya, telah kita ketahui bersama beberapa syarat yang harus dipenuhi saat berlangsungnya sebuah akad. Pada pembahasan kali ini, akan kita bahas hakikat syarat tambahan yang terjadi dalam sebuah akad dan bagaimana hukumnya dalam syariat Islam.
Kapan sebuah syarat dikatakan sebagai syarat tambahan?
Syarat tambahan hakikatnya adalah sebuah kewajiban dan kelaziman yang terjadi saat terbentuknya sebuah akad. Di mana syarat ini di luar syarat-syarat asli yang telah kita bahas sebelumnya.
Syekh Musthofa Az-Zarqa’ rahimahullah memberikan pengertian tentang syarat tambahan ini dengan,
“Sebuah kewajiban pada tindakan lisan (akad) yang tidak wajib dipenuhi apabila akadnya dilafalkan secara mutlak (syarat tersebut tidak wajib dipenuhi apabila tidak disebutkan dalam akad).” (Al-Madkhal Al-Fiqhi Al-Aam, 1: 506)
Ciri-ciri syarat tambahan
Syarat tambahan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama: Ia merupakan kelaziman tambahan di luar kelaziman asli akad.
Jika seseorang mengatakan, “Aku jual mobil ini kepadamu dua ratus juta dengan pembayaran yang bisa dicicil selama setahun, asalkan kamu berikan kepadaku sebuah jaminan.” Lalu, pihak kedua menerimanya, maka akad tersebut terwujud dengan tambahan adanya gadai atau jaminan. Tidak sah akadnya, kecuali dengan terpenuhinya syarat tersebut.
Kedua: Syarat tambahan yang berlangsung dan terjadi saat berlangsungnya sebuah akad, menjadi bagian dari akad tersebut dan diikutkan dalam lafal akadnya.
Ketiga: Sesungguhnya syarat tambahan ini berupa perkara yang akan datang. Sesuatu yang belum terjadi, namun akan terjadi. Maka, tidak termasuk darinya menyaratkan sesuatu yang memang sudah ada di waktu akad, seperti seseorang yang membeli seekor unta sedangkan unta tersebut sedang hamil, kemudian ia menyaratkan agar janinnya tersebut diikutkan dalam pembelian.
Hal semacam ini tidak dianggap sebagai syarat konkret dan nyata, namun merupakan syarat metaforis.
Keempat: Syarat tambahan merupakan sesuatu yang kemungkinan besar akan terjadi, maka syarat yang mustahil terjadi tidak masuk di dalamnya.
Seseorang yang mengatakan, “Aku beli kambing ini darimu dengan syarat ia bisa terbang ke langit.” Maka, syarat semacam ini tidaklah sah karena perkataannya tersebut mengindikasikan ketidaktertarikannya untuk menyelesaikan akad tersebut.
Contoh syarat yang kemungkinan besar bisa terealisasi di masa mendatang adalah seorang calon istri yang menyaratkan agar calon suaminya tidak membawanya pergi dari daerahnya ketika mereka menikah nantinya.
Hukum syarat tambahan pada sebuah akad menurut mazhab Syafi’i
Mazhab Syafii berpendapat bahwa pada asalnya, hukum membuat syarat-syarat tambahan pada sebuah akad adalah terlarang.
Tidak boleh bagi kedua belah pihak untuk membatasi dan mengikat sebuah akad dan kontrak dengan memberikan syarat-syarat tambahan, kecuali jika syarat ini memiliki dalil dari syariat, atau ada kesepakatan dari ulama (ijma’) perihal kebolehannya.
Di antara syarat tambahan yang diperbolehkan:
Pertama: Menyaratkan adanya barang jaminan pada jual beli dengan pembayaran tertunda. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗ
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283)
Kedua: Syarat jelasnya tempo pembayaran saat melakukan jual beli dengan pembayaran tertunda. Allah Ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Ketiga: Syarat membayar utang saat dalam kondisi lapang. Allah Ta’ala berfirman,
وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Keempat: Menyaratkan adanya spesifikasi tertentu pada barang yang akan dibeli harus dengan adanya persetujuan dari kedua pihak. Seperti memberikan syarat saat akan membeli seekor kambing dengan spesifikasi kambing tersebut merupakan penghasil susu. Allah Ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Kelima: Menyaratkan adanya hak memilih (khiyar) pada sebuah akad.
Sebagaimana perkataan seseorang, “Aku beli mobil ini seharga dua ratus juta dan beri aku waktu tiga hari untuk bisa memilih apakah jadi membelinya atau tidak.” Lalu, pihak yang lainnya menyetujuinya.
Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hibban bin Munqad yang pernah tertipu dalam sebuah jual beli,
إِذَا أَنْتَ بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ. ثُمَّ أَنْتَ فِى كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا بِالْخِيَارِ ثَلاَثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَضِيتَ فَأَمْسِكْ وَإِنْ سَخِطْتَ فَارْدُدْهَا عَلَى صَاحِبِهَا.
“Apabila kamu sedang menjual atau membeli, maka katakanlah, ‘Jangan menipu!’ Jika kamu membeli sesuatu, maka engkau mempunyai hak pilih selama tiga hari. Jika kamu rela, maka ambillah. Akan tetapi, jika tidak, maka kembalikan kepada pemiliknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1921)
Keenam: Seorang pembeli menyaratkan untuk mengambil juga harta hamba sahaya yang sedang dijual atau sebagian hartanya dari pihak penjual saat ia membeli budak tersebut. Hal ini diperbolehkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
ومَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وله مَالٌ، فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ، إلَّا أنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ
“Barangsiapa membeli seorang budak yang memiliki harta, maka harta itu milik penjualnya, kecuali pembeli mensyaratkannya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)
Ketujuh: Seorang pembeli menyaratkan untuk mengambil hasil panen kurma dari pohonnya yang baru saja dikawinkan.
Hukum asalnya, hasil panen dari pohon kurma yang telah dikawinkan tersebut adalah milik penjual. Namun, apabila pembeli menyaratkannya, maka diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلَّذِي بَاعَهَا إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
“Barangsiapa membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka hasilnya bagi orang yang menjualnya, kecuali pembeli mensyaratkannya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)
Kedelapan: Membuat syarat tambahan yang sesuai dengan keadaan akad (kontrak).
Syarat yang bisa menguatkan sebuah akad dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatannya. Seperti menyaratkan adanya persaksian dalam sebuah akad dan menguatkannya dengan ditulis serta hal-hal lainnya yang dibutuhkan dalam sebuah akad.
Kesemuanya itu demi terciptanya kemaslahatan akad dan orang yang melaksanakannya, tanpa adanya pertentangan dengan syariat. Syarat tambahan semacam ini diperbolehkan dengan mengiaskannya kepada syarat-syarat tambahan yang memang sudah ada dalilnya dari syariat kita.
Kesembilan: Menyaratkan dengan sesuatu yang mengandung makna kebaikan.
Contohnya adalah seorang penjual budak yang menyaratkan kepada pembelinya untuk membebaskan budak yang ia beli. Sebagaimana hadis Barirah di mana ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha membelinya sedang pemiliknya menyaratkan agar Barirah dibebaskan, dan hak wala-’nya menjadi hak mereka. (HR. Bukhari no. 456 dan Muslim no. 1504)
Hal semacam ini diperbolehkan karena Islam menjunjung tinggi pembebasan perbudakan dan perbuatan baik, sehingga terbukalah peluang-peluang tersebut. Wallahu a’lam bisshawab
[Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81710-serial-fikih-muamalah-bag-12-bolehkah-membuat-syarat-tambahan-saat-melangsungkan-sebuah-akad.html