Bisnis Properti Syariah, Tanpa Denda, Tanpa Asuransi

Menjalankan bisnis properti tanpa menerapkan denda dan tak memberi asuransi, apakah bisa berkembang? Apalagi dijalankan tanpa bersinggungan dengan bank. Bagaimana bisa? Apakah tak takut merugi?

Sejumlah pertanyaan tersebut dijawab oleh Rosyid Aziz, CEO Property Syariah dengan lugas. Ia memaparkan bisnis properti yang dia jalankan sama sekali tak bersinggungan dengan bank, tidak ada sistem denda, bahkan tidak ada asuransinya.

Lalu muncul di benak kita, bagaimana bila konsumen susah membayar cicilan karena tidak ada mekanisme denda? Selain itu, apakah dengan tanpa adanya asuransi pelanggan lebih memilih developer lain yang memberikan jaminan asuransi?

Menurut Rosyid, kekhawatiran tersebut tidak beralasan. Dia mengatakan, tanpa adanya denda, kebanyakan developer takut tertipu oleh konsumen nakal. Padahal menurut Rosyid meski sudah ada denda pun masih banyak developer yang tertipu oleh konsumen nakal tersebut.

Sedangkan denda itu, dia mengatakan, tidak ada dalam sepanjang sejarah kehidupan Islam mulai zaman Rasulullah saw. Karena itu, denda dia masukkan ke dalam golongan riba.

Lantas apa saja yang harus dilakukan? “Maka dari itu kita harus melakukan verifikasi konsumen dengan dua poin, yaitu mampu dan amanah,” tuturnya usai talkshow Studentpreneur dalam rangka IBF Goes to Campus di aula FEB UIKA Bogor, Kamis (26/11).

 

Rosyid kemudian menjelaskan cara agar dapat menentukan masing-masing konsumen tersebut dapat dikatakan mampu dan amanah. Dia mengatakan, konsumen yang mampu dapat dilihat dari penghasilannya. Dia bisa diminta mencantumkan slip gajinya jika dia karyawan. Jika konsumen seorang pengusaha, bisa diminta menyertakan laporan omzetnya.

Selain itu juga perlu untuk melihat rekening koran dari calon konsumen. Hal itu untuk benar-benar memastikan si konsumen tersebut mampu membayar cicilan atau tidak.

Terkait dengan ukuran amanah, Rosyid menegaskan bahwa setiap calon konsumen harus dilacak track record mereka dalam hal pembayaran cicilan. Sehingga seorang yang mampu sekalipun tidak akan diizinkan membeli propertinya jika memiliki track record buruk dalam hal itu.

Demikian pula dengan kemampuan finansial. Ustaz sekalipun jika memang dilihat tidak mampu membayar maka tidak diizinkan pula untuk membeli produk propertinya.

Selama menjalankan bisnisnya, Rosyid mengaku belum pernah mengalami pengalaman rugi. Yang ada, konsumen hanya meminta izin membayar terlambat dan meminta tenggat waktu. “Yang terpenting adalah adanya keridhaan, apa kendalanya sudah disampaikan kepada kami,” ujarnya.

Hal itu dia lakukan selain karena riba memang dilarang, tentunya ini mendakwahi juga untuk melakukan transaksi secara syariah. Rosyid mengatakan semua itu dapat dijalani karena kuat di awal edukasinya. “Kalau orang ditakut-takuti dengan denda malah ngemplang mereka,” katanya.

 

Dia mengatakan, bisnis properti syariah yang dijalankannya, intinya adalah melakukan verifikasi di awal. Dia menyebut, jika syariat menjadi solusi, insya Allah hikmahnya pasti akan mendatangkan maslahat.

Dengan begitu, prinsip Islam dikedepankan untuk mencapai manfaat, bukan dibalik karena akan berbahaya. “Karena kita akan cenderung mencari-cari pembenaran,” ujarnya.

Bagi Rosyid, sebagai ummat, dia berpendapat manusia tinggalsami’na wa ata’na.  Setelah itu, kita akan menerima banyak manfaat, seperti rezeki lancar dan banyak saudara.

Cara yang Rosyid lakukan tentu antimainstream bagi kebanyakan orang. Namun dia tidak ragu sedikitpun dengan cara yang dia jalankan. Dia kemudian mengutip salah satu hadis shahih dari Bukhari yang berbunyi, “Sesungguhnya Islam terlahir sebagai sesuatu yang asing dan ia akan kembali menjadi asing. Maka berbahagialah mereka yang asing, yang berpegang teguh pada agama, yang memperbaiki dan meluruskan sunahku yang telah dirusak oleh orang-orang sesudah aku (Muhammad saw).

 

sumber: Republika Online