Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 3)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 2).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Pada penjelasan sebelumnya telah kami jelaskan sikap seorang mukin terhadap saudarnaya yang seiman: (1) memantulkan rupa dengan tampilan yang halus; (2) menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya.

Pada artikel ini akan kami lanjutkan penjelasan beriktunya.

(Lanjutan) sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Ketiga, jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”

Diantara sifat cermin adalah jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”, tanpa membesarkannya, tanpa mengecilkannya dan tanpa memperburuknya, demikian pula seorang mukmin terhadap saudaranya. Mengapa cermin bisa memantulkan gambar sesuatu yang ada dihadapannya?

Diantara sebab utamanya adalah kejernihan cermin, karena cermin yang tertutupi kotoran tidak bisa memantulkan gambar dengan sempurna atau bahkan tidak bisa memantulkan gambar sama sekali.

Demikianlah sosok seorang mukmin yang baik dalam menasehati saudaranya, seperti jernihnya cermin.

Hatinya bersih, tidak ada pendorong menasihati saudaranya kecuali rasa cinta dan sayang kepadanya, ikhlas karena Allah Ta’ala.

Tidak ada hasad, tidak ada khianat, tidak mengelabuinya dengan berpura-pura menasihati padahal bermaksud buruk, tidak menzaliminya, serta tidak merendahkannya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا، وَيُشِيرُ إلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak menzaliminya, tidak menelantarkannya, tidak menipunya, tidak merendahkannya, takwa ada disini – beliau mengisyaratkan kepada dadanya tiga kali.

Cukuplah seorang muslim dikatakan berbuat buruk jika merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (HR. Muslim).

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه

“Tidak sempurna keimanan wajib salah seorang diantara kalian sampai mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’” (QS. al-Hasyr: 10).

Dengan demikian motivasi seorang muslim dalam menasihati saudaranya benar-benar ingin kebaikan untuk saudaranya, ikhlas mengharap rida Allah, tidak dengki, tidak menipunya, tidak mengkhianatinya, tidak menzaliminya, dan tidak menelantarkannya.

Sosok seorang mukmin yang baik dalam menasihati saudaranya, bukan hanya seperti jernihnya cermin, namun juga diam setelah menyampaikan nasihatnya kepada saudaranya seperti cermin yang diam setelah memantulkan gambar orang yang bercermin, tanpa membesarkannya, tanpa mengecilkannya dan tanpa memperburuknya.

Demikianlah seorang mukmin jika menasihati tidaklah menambah dengan memperbanyak celaan dan tidak pula merendahkan, dan tidak membesar-besarkan kesalahan saudaranya, apalagi sampai menjatuhkan kehormatannya dan menghinanya.

Cukuplah ia menasehatinya dengan lembut dan bijak serta memilih kata-kata yang paling baik dan sopan, tidak kasar dan disampaikan empat mata serta memilih waktu yang tepat agar saudaranya tersebut mudah menerima nasihatnya dan segera memperbaikinya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala,

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. adz-Dzariyat: 55).

Setelah ia menasihati lalu diam, tidak menambah dengan hal-hal yang melebihi kebutuhan dan melampaui batas.

Al-Fudhail Rahimahullah berkata,

المؤمِنُ يَسْتُرُ ويَنْصَحُ، والفَاجرُ يَهتِكُ ويُعيِّرُ

“Seorang mukmin itu menutupi (aib saudaranya) dan menasihatinya. Sedangkan pelaku maksiat membuka (aib saudaranya) dan mencelanya.”

Dalam kitab “Durusun wa mawaqif wa ‘ibar” [1], suatu saat Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah ditanya, “Wahai Syekh Abdul Aziz, saya tidak mengetahui seorang pun melainkan mencintaimu, baik kecil, besar, pria maupun wanita, dan ini adalah suatu hal yang mirip sesuatu yang disepakati (semua orang), apa rahasianya wahai Syekh?”

Syekh Bin Baz pun keberatan menjawabnya, namun penanya mendesak Syaikh Bin Baz agar menjawabnya. Akhirnya Syekh Bin Baz Rahimahullah menjawab, “Saya tidak mendapati dalam hatiku  dengki kepada seorang pun dari kaum muslimin, dan tidaklah saya mengetahui dua orang yang sedang ada pertengkaran kecuali saya bersegera memperbaiki hubungan antar keduanya.”

[Bersambung, in sya Allah]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Jadikan Sejarah Orang Saleh Sebagai Cermin Besar

IMAM al-Syafi’i berkata: “Ada banyak orang yang sudah mati, namun kemuliannya tidak mati-mati. Ada banyak orang yang masih hidup, namun telah dianggap mati oleh manusia.” Sungguh lebih baik akrab dengan orang yang sudah mati namun kemuliannya tetap bisa menggugah hati kita menjadi selalu hidup, ketimbang bersahabat dengan orang yang masih hidup yang menjadikan hati kita mati.

Membaca sejarah hidup para nabi, para sahabat nabi dan para ulama sungguh merupakan aktifitas yang menghidupkan hati. Mengetahui kesungguhan mereka dalam beragama menjadikan kita malu untuk mengaku sebagai ahli surga, tapi tak mengendorkan semangat untuk terus berupaya menjadi ahli surga. Sejarah mereka adalah sejarah teladan sejarah inspiratif, sejarah yang mencerahkan jiwa.

Melihat perilaku beberapa orang yang masih hidup yang kehidupannya dipenuhi oleh ambisi tanpa batas, bertengkar dan bertarung demi kertas-kertas yang bernama uang, fitnah kanan fitnah kiri demi ketamakan dan kedengkian sungguh menjadikan hati kita merasa ngeri dan takut hidup, buram dan semakin meredup andai saja tak istiqamah berdzikir dan berfikir positif. Dzikir begitu kuat menjadikan hati tetap tenteran, pikiran positif begitu ampuh menjadikan diri tetap benjadi bijak dan istiqamah.

Sejarah orang-orang saleh adalah cermin besar yang bisa selalu dijadikan media kita berkaca, karena sejarah mereka adalah cermin bening yang tak retak. Jangan berkaca pada cermin retak, sudah retak buramlah pula. Karena berkaca pada cermin semacam itu tak akan menjadikan kita mengetahui hakikat diri kita.

Yang paling penting untuk dijaga dan jangan sampai dilakukan adalah memecahkan kaca cermin yang bersih dan tak retak hanya untuk menutupi kejelekan wajah kita yang sesungguhnya. Perilaku seperti ini sungguh merusak cermin, merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain yang tulus ingin berkaca. Salam, AIM.

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2278266/jadikan-sejarah-orang-saleh-sebagai-cermin-besar#sthash.EgTrEYIk.dpuf