BAHWASANNYA seluruh otoritas moneter dan keuangan kita melarang Bitcoin, saya bisa memahami dan setuju dengan tiga alasan yang saya jelaskan di bawah. Namun kehadiran Bitcoin 10 tahun terakhir telah memperkenalkan ‘peradaban teknologi baru’ yang disebut blockchain, sebagaimana internet hadir di dunia sekitar 30 tahun lalu – blockchain akan menjadi ‘the next internet’ for transactions.
Produk peradaban manusia selalu seperti pisau bermata dua – kita kudu melihat dua sisinya agar bisa memperoleh manfaatnya.
Mengapa saya setuju dengan keputusan BI maupun OJK dalam melarang Bitcoin? Ini tiga alasan saya untuk ini.
Pertama Bitcoin adalah decentralized money – yang ‘penerbit’nya adalah para miner atau penambang Bitcoin. Para miners ini sebenarnya melalukan fungsi verifikasi, namun sampai tahun 2140 – kalau belum keburu Kiamat, para miners mendapatkan ‘bonus’ berupa Bitcoin baru yang terus berkurang separuhnya setiap sekitar 4 tahun.
Bila ‘bonus’ Bitcoin baru itu nilainya per block 50 coin pada awal mula diperkenalkannya, saat ini tinggal 12.5 coin – karena Bitcoin sudah berusia 10 tahun. Dua tahun lagi bonus itu tinggal 6.75 coin per block dan seterusnya. Bitcoin baru terakhir akan dikeluarkan tahun 2140, dan setelah itu tidak ada lagi Bitcoin baru.
Pada saat Bitcoin terakhir dikeluarkan, saat itu total Bitcoin di dunia ada 21 juta keeping. Saat ini yang sudah beredar sekitar 16.7 juta, berarti tinggal sekitar 4.3 juta lagi yang masih bisa ‘ditambang’.
Bitcoin Miner Pools
Masalahnya adalah, karena desentralisasi penambangan Bitcoin ini membutuhkan energy yang murah – dan juga tenaga kerja IT yang murah, lebih dari 60% penambang Bitcoin ini berada di China, 15 % di Georgia, 7.5 % di Swedia, 3 % di AS dan total sisanya 14.5 % di negara-negara lain.
Bahkan karena para ‘penambang’ ini juga membentuk pool untuk berbagi bonus Bitcoin baru, lebih dari 80% pool ini bermuara di China lagi! Walhasil kalau kita menggunakan Bitcoin – ‘Bank Central’ nya terdesentralisasi kepada sejumlah pihak di China. Sama dengan setiap kita menggunakan Dollar berarti ‘meminjami’ Paman Sam, maka setiap kita mengggunakan Bitcoin secara tidak langsung kita ‘meminjami’ China dengan uang kita.
Kedua, meskipun Bitcoin jumlahnya akan berhenti pada 21 juta pada tahun 2140 – jangan dikira bahwa harganya hanya bisa naik karena kelangkaannya. Mirip juga jual beli pada umumnya, harga Bitcoin juga sangat terpengaruh oleh supply and demand.
Ketika ada isu satu negara seperti Indonesia menolak Bitcoin – dan sekarang bukan lagi isu lagi, maka harga Bitcoin di dunia juga sempat terguncang – karena banyaknya yang mau menjual. Bagaimana kalau negara lain juga melakukan hal yang sama? Bitcoin Anda karena dia virtrual – tidak ada intrinsic value-nya, dia bisa menjadi Zero dan tidak ada yang tersisa.
Sang pelopor teknologi ‘internet baru’ blockchain, bisa bernasib sama dengan pelopor lahirnya internet dahulu, mayoritas kita tidak tahu bukan siapa yang membuat web pertama? Teknologinya exist selama 30 tahun ini, tetapi sang pelopornya tidak lagi dikenal.
Maka demikian pula dengan teknologi blockchain yang dibawa oleh Bitcoin, teknologinya banyak bermanfaat dan kemungkinan besar akan exist dengan perbagai penyempurnaannya terus menerus – tetapi sang pelopor Bitcoin-nya sendiri belum tentu bisa berusia panjang.
Yang ketiga – dan ini alasan utama saya menolak Bitcoin tetapi tidak menolak teknologinya – yaitu fitrah dari uang itu sendiri.
Dalam Islam uang itu adalah intrinsic sebagaimana hadits sahih yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi Hadis yaitu Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”.
Dari seluruh jenis alat tukar yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut, semuanya memiliki nilai intrinsic. Karenanya ‘uang’ dalam Islam tidak bisa bernilai zero seperti uang yang dipakai oleh dunia modern termasuk Bitcoin tersebut di atas.
Lantas di zaman now yang semuanya serba digital ini, apakah kita harus kembali menggembol emas, perak, gandum dlsb untuk bisa berjual beli? Disitulah indahnya Islam, umat ini dijamin unggul oleh Allah sepanjang zaman berarti termasuk zaman now! – selagi kita menggunakan kitabNya, dan tentu juga petunjuk nabiNya – dalam melaksanakan urusan kehidupan ini (QS 3:138-139).
Di zaman teknologi ini berarti kita juga harus sangat unggul di bidang teknologi, termasuk teknologi pengelolaan uang dan transaksi tersebut. Betapa banyak anak muda kita yang sukses luar biasa dalam usahanya – karena menguasai dan pandai pula menggunakan teknologi yang ada saat ini, betapa banyak ustadz-ustadz yang sukses mencerahkan umat – juga dengan menguasai dan menggunakan teknologi internet.
Sedangkan ‘the next internet’ of transaction itu akan menggunakan teknologi blockchain, tidak terbayang bukan kalau dahulu kita menolak internet? Maka tidak kebayang juga sekarang apabila kita menolak teknologi Blockchain yang merupakan the next level of internet.
Maka solusi Islam bisa sangat modern dan bahkan mengungguli zamannya, tetapi pada saat yang bersamaan solusi ini juga tidak keluar dari petunjukNya. Lantas bagaimana kita menggabungkan keduanya untuk menghadirkan ‘uang’ yang lebih baik dari Bitcoin yang kita tolak tersebut di atas?
Gunakan teknologinya – blockchain – untuk mengelola ‘uang’ sektor riil kita. Blockchain bisa kita pakai mengelola hutan kita agar terjaga hijau , tidak gundul tetapi juga produktif menciptakan pekerjaan yang sangat banyak misalnya, karena dengan blockchain yang merupakan catatan transactional (ledgers) yang terdesentralisasi dan terverifikasi – semua menjadi transparan dan dipelototi oleh jutaan nodes di seluruh dunia.
Dengan blockchain ini kita bisa melawan arus tersedotnya uang kita ke China karena menggunakan Bitcoin, atau tersedot ke AS karena menggunakan Dollar – menjadi sebaliknya, kita menyedot uang dunia untuk membiayai pengelolaan hutan-hutan kita.
Dengan blockchain pula kita bisa melacak setiap ‘transaksi’ pengambilan ikan di laut kita, sehingga semua produksi ikan dari negara kepulauan ini menjadi traceable dan auditable, tidak ada yang boleh memunahkan ikan di laut kita. Hal yang sama dengan tanah-tanah gersang di 60% desa-desa Indonesia yang masih tertinggal dan sangat tertinggal, penghijauannya, penyuburannya, pemakmurannya – bisa menggunakan teknologi blockchain untuk menyedot dana-dana global yang mulai banyak yang teralokasikan untuk impact investment, green fund, charity fund dlsb.
Sepert pisau bermata dua, demikianlah teknologi itu harus kita kuasai. Ketika teknologi itu hanya dikuasai oleh orang lain dan digunakan sisi buruknya – maka dia bisa melukai kita. Sebaliknya ketika kita yang menguasai pisau itu dan kita manfaatkan sisi baiknya, berjuta manfaat bisa kita peroleh karenanya. Hingga kini kita semua masih bisa memanfaatkan internet untuk kebaikan bukan? Maka demikian pulalah the next internet itu. InsyaAllah.*
Oleh: Muhaimin Iqbal, Penulis adalah Direktur Gerai Dinar