Salah satu syarat wajib haji adalah istitha’ah (mampu). Berdalil dari firman Allah SWT, “Diwajibkan bagi ma nusia menunaikan haji di Baitullah, bagi siapa yang mam pu menempuh jalannya.”(QS Ali Imran [3]: 97). Pesannya, siapa yang mampu tak boleh menunda-nunda untuk berangkat haji. Tapi, yang belum mampu tak perlu pula memaksakan diri untuk berangkat ke Tanah Suci.
Demikian juga halnya berangkat haji dari dana berutang. Hukum asal berangkat haji dengan kondisi ini tidaklah diperbolehkan. Berdalil dengan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abdullah bin Abi `Aufa. Ia mengatakan, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai orang yang belum menunaikan haji. Apakah ia boleh berutang untuk berangkat haji?” Beliau SAW menjawab,”Tidak.” (HR Baihaqi).
Namun, saat ini semakin maraknya lembaga-lembaga yang menawarkan pembiayaan talangan haji. Tak jarang, program talang haji tersebut juga dimotori bank-bank syariah. Tak hanya itu, minimnya finansial membuat orang yang ingin berangkat haji mengakalinya dengan membuat arisan haji. Bagaimanakah syariat memandang persoalan ini?
Program talang haji dan arisan haji pada intinya sama saja dengan pinjaman. Artinya, seorang berangkat haji dengan jalan berutang. Dalam program talang haji, nasabah dibantu pihak bank untuk menutupi kekurangan dana yang ia gunakan untuk pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
Setelah ia kembali dari Tanah Suci, nasabah berkewajiban melunasi BPIH yang telah ditalangi pihak bank dengan cara mencicil. Pihak bank mengambil imbalan sesuai dengan besar dana yang dipinjamkan. Demikian pula dengan arisan.
Walau mekanismenya sedikit berbeda, yakni dengan sistem iuran anggota dan undian, tetap saja prinsipnya sama dengan talang haji. Ia ditalangi dulu berangkat ke Tanah Suci. Setelah pulang ke Tanah Air, ia terus mencicil utangnya dalam bentuk iuran anggota. Terkecuali, anggota yang mendapatkan undian paling terakhir.
Hukum asal berutang, arisan, dan pembiayaan perjalanan adalah boleh. Berdalil dari kaidah fikih Al Aslu fil mu’amalah al-ibaahah (hukum asal bermuamalat adalah boleh). Namun, jika hal ini dikaitkan dengan ibadah haji yang mensyaratkan istitha’ah, di sinilah timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Pengkajian tidak hanya sebatas hukum asal, tetapi masuk ke ranah fi qhul waa’qi'(situasi dan kondisi) yang menjadi faktor istinbat (menetapkan) hukum.
Mufti Arab Saudi, Syekh Ibnu Utsaimin, dan ulama Timur Tengah lainnya berpendapat, harta yang dipergunakan untuk BPIH tidak boleh hasil utang. Sama halnya utang dalam bentuk peminjaman langsung atau melalui talang haji dan arisan haji. Apalagi, meminjam dari lembaga ribawi, seperti bank konvensional, maka bertambahlah keharamannya (Majmu’ fatawa Ibnu Utsaimin (21/93)).
Kendati demikian, menurut Utsaimin, seseorang yang sudah terlanjur berangkat haji dan pulang dari tanah suci maka hajinya tetap dipandang sah selama terpenuhi rukun dan syaratnya. Demikian disebutkan dalam kitabnya Nur `alad Darb (1/277).
Di samping itu, ulama-ulama Tanah Air lebih mengedepankan kajian hukum dari segi fi qhul waa’qi-nya. Di antaranya, faktor antrean haji yang sangat panjang di Indonesia. Hal ini tentu menyusahkan jika seseorang yang berangkat haji harus mengumpulkan BPIH 100 persen, kemudian baru masuk antrian yang terkadang sampai belasan tahun.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih meringankan mereka yang ingin berangkat haji, walau dari sisi dana belum mencukupi.
sumber: Republika Online