Rasulullah saw. adalah orang yang paling sabar, murah hati (penyayang dan pengasih), santun, murah senyum, dan pemaaf dan bukan pemarah. Bahkan beliau merupakan orang yang paling jauh dari sikap marah dan paling cepat rela (memaafkan). Dalam hal ini, beliau tidak marah apabila haknya dilanggar oleh siapapun. Beliau juga tidak membalas keburukan dengan keburukan, tetapi malah memaafkan. Sifat-sifat luhur Rasulullah saw. ini berdasarkan keterangan hadis (lihat Imam al-Gazali, Ihya’ Ulum ad-Din dan ta‘liq hadis oleh Imam al-‘Iraqi, penerbit Dar Ibn Hazm, 2005: 840-842 & 848-851).
Sebab, beliau memang memiliki tabiat pengampun. Namun, apabila hak (agama) Allah yang dilanggar, maka tidak ada seorangpun yang berani berdiri mewalan amarahnya. Dalam hal ini, beliau marah semata-mata karena Allah, bukan karena nafsu ataupun emosi pribadi (Imam ad-Diba‘i, Mawlid ad-Diba‘i, hlm. 29 dalam Majmu‘ah al-Mawalid wa Ad‘iyyah, penerbit al-‘Aidrus Jakarta dan Ihya’, hlm. 841 & 852).
Rasulullah saw. tidak marah meskipun dihina, dicaci-maki, dan dituduh gila oleh orang-orang bodoh (Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 10: 7568). Bahkan beliau juga tidak marah ketika orang-orang mendustakan dakwahnya. Dalam hal ini, sekelompok kaum di Taif pernah mendustakan dakwah Rasulullah saw. dan memperlakukan beliau secara semena-mena.
Akhirnya, para malaikat penjaga dua gunung besar (Akhsyabain) menawarkan diri kepada Rasulullah saw. untuk membalikkan kedua gunung tersebut agar mereka binasa. Namun, Rasulullah saw. menolaknya dan malah berharap agar Allah menjadikan keturunan mereka kelak sebagai orang-orang yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan siapapun (Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki, Muhammad saw. al-Insan al-Kamil, 2007: 114).
Selain itu, ketika Rasulullah saw. diminta mendoakan buruk untuk orang Islam ataupun orang kafir (baik individu maupun umum), maka beliau memalingkan permintaan tersebut dan mendoakan baik. Dalam hal ini, para sahabat pernah meminta Rasulullah saw. mendoakan suku Daus celaka dan binasa. Sebab, mereka telah durhaka dan tidak mau menerima Islam. Namun, Rasulullah saw. malah berdoa agar Allah memberikan petunjuk kepada suku Daus dan bisa mendatangi Madinah (lihat Ihya’ dan ta‘liq hadis oleh Imam al-‘Iraqi, hlm. 847).
Dalam kesempatan lain, sekelompok orang Yahudi pernah mendatangi Rasulullah saw. sembari berkata: “as-samu ‘alaika (kecelakaan dan kematian atas dirimu).” Waktu itu Rasulullah saw. ditemani Sayyidah ‘Aisyah ra. Merespon ucapan jahat orang-orang Yahudi tersebut, lalu Sayyidah ‘Aisyah ra. membalas seraya berkata: “‘alaikum as-samu wa al-la‘nah (atas kalian kecelakaan, kematian, dan laknat).”
Namun, Rasulullah saw. menegur sikap Sayyidah ‘Aisyah ra. tersebut seraya berkata: “tenang, wahai ‘Aisyah, karena sesungguhnya Allah menyukai keramahan dan kelembutan dalam segala urusan.” Sayyidah ‘Aisyah ra. berkata: “apakah engkau tidak mendengar ucapan mereka, ya Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab: “sungguh aku telah membalasnya dengan (berkata): wa ‘alaikum.”
Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, Rasulullah saw. memudahkan urusan dengan orang-orang Yahudi tersebut dengan berkata “wa ‘alaikum”. Artinya, melalui kata“wa ‘alaikum” ini, Rasulullah saw. hendak menegaskan bahwa kematian merupakan perkara yang berkaitan dengan semua orang. Dengan kata lain, semua orang sama-sama berjalan menuju kematian. Sebab, kematian merupakan perkara yang pasti, baik bagi orang-orang Yahudi tersebut maupun bagi Rasulullah saw. sendiri (as-Sunnah Mashdaran li al-Ma‘rifah wa al-Hadharah, 1997: 288-289). Wa Allah A‘lam wa A‘la wa Ahkam…