Melihat perkembangan isu-isu nasional dan internasional, selalu ada kelompok yang masih berpikir ghuluw (ekstrem) dalam beragama atau memandang agama, baik kanan (konservatif, tradisional, dan tekstualis) maupun kiri (liberal, progresif, dan reformis). Pikiran-pikiran tadi sering kali menuai banyak masalah misalnya tindakan makar dan teror, memicu konflik antar umat atau antar ormas dan sebagainya.
Ghuluw bukan lahir tanpa sebab, Dr. Yusuf al-Qardawi menjelaskan panjang lebar perihal faktor-faktor timbulnya pemikiran tadi dalam kitabnya, as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf. Di sini kami tampilkan 3 faktor saja, sebagiamana berikut;
Kurangnya Pengetahuan yang Memadai Tentang Hakikat Agama
Yang dimaksud dengan kurangnya pengetahuan bukan berarti tidak tahu sama sekali tentang agama melainkan kurangnya ilmu. Indikator ini misalnya ketika seseorang merasa dirinya sudah masuk dalam kategori ulama padahal masih banyak yang belum ia ketahui seperti misalnya al-Maqashid ar-Raisiyyah atau tujuan-tujuan pokok syariat Islam. Abdullah bin Umar bin al-‘Ash berkata;
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Saya mendengar Nabi bersabda; sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari para hambanya melainkan akan mencabutnya dengan cara mencabut ulama sehingga bila tidak ada orang alim satupun niscaya masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai tokohnya. nantinya mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu akhirnya mereka tersesat dan menyesatkan.(HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, j; 1, h; 32)
Imam Malik bin Anas berkata; Robi’ah pernah menangis dengan tangisan yang sangat menyedihkan, lalu dia ditanya; apakah engkau ditimpa musibah? Dia menjawab; tidak, melainkan masyarakat sudah minta fatwa kepada orang yang tidak berilmu. Sesungguhnnya kurangnya pengetahuan yang diselimuti oleh rasa ‘ujub dan tipu daya lebih membahayakan dari pada tidak tahu sama sekali namun mengakui kebodohan itu.(as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 63)
Berpedoman pada Makna Tekstual dalam Memahami Teks-Teks Agama
Menurut Syekh Yusuf al-Qardawi sudah tidak asing lagi bahwa banyak di antara mereka (kelompok ghuluw) yang berpedoman pada makna harfiyyah dan makna eksplisit saja tanpa meninjun pada makna implisit dan maqashidnya. Model pemahaman semacam inilah yang sering mengabaikan hukum syariat yang dikaitkan dengan alasan-alasan atau ‘illat yang rasional, menolak qiyas, dan memandang bahwa syariat membedakan dua hal yang sama dan menyatukan dua yang yang berbeda.
Beliau dan para pakar hukum Islam lainnya memandang bahwa ada perbedaan antara prinsip dalam ibadah dan muamalah;
أَنَّ الْاَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ هُوَ التَّعَبُّدُ بِهَا دُوْنَ نَظَرٍ إِلَى مَافِيْهَا مِنْ مَصَالِحَ وَ مَقَاصِدَ بِخِلَافِ مَايَتَعَلَّقُ بِالْعَادَاتِ وَ الْمُعَامَلَاتِ
Sesungguhnya asas dalam ibadah adalah at-ta’abbud(penghambaan secara total) tanpa harus menalar alasan hukum baik berupa maslahat atau maqashid. Berbeda dengan hal-hal yang berkaitan dengan adat dan muamalah.(as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 64)
Berikut hadis-hadis yang berkaitan dengan muamalah di mana alasan-alasan hukum-hukum di dalamnya bisa dinalar dan dipahami.
Hadis pertama diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa;
Nabi saw melarang seseorang bepergian ke daerah orang kafir atau musuh sambil membawa al-Qur’an. (HR. Muslim, Shohih Muslim, j; 6, h; 30)
Alasan atau ‘illat dari larangan ini ialah khawatir orang kafir menghina atau merendahkan Al-Qur’an. Dengan demikian orang muslim boleh membawa al-Quran bila alasan tadi tidak ada. Tentunya kita melihat konteks saat ini di mana kitab suci baik milik umat Islam atau nonmuslim sengaja dipublikasikan dan disebarkan ke berbagai negara dengan tujuan dakwah dan itu tidak dipermasalahkan bahkan al-Quran sendiri sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. (as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 65)
Hadis kedua diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah bersabda;
إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الْغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً.
Apabila seseorang lama pergi maka jangan pulang ke rumah keluarganya di waktu malam.(HR. Al-Bukhori, Shohih al-Bukhori, j; 7, h; 50)
Salah satu alasan kenapa dilarang pulang di malam hari sebab istri tidak tahu kapan datangnya suami sehingga tidak sempat berdandan, menyambutnya dengan ceria, bahagia, dan menyediakan makanan yang baik, dan sebagainya. Sementara dengan berkembangnya teknologi, suami bisa memberi tahu kapan dia akan datang misalnya dengan menelpon, chattingan, atau video call. (as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 66-67)
Minimnya Pengetahuan akan Sejarah, Konteks, Hukum Alam dan Kehidupan.
Tidak asing lagi dipikiran kita mengenai kelompok-kelompok ghuluw yang kadang kala melakukan aksi bunuh diri (dalam bahasa Arab dikenal dengan intihariyyah) dengan alasan jihad, membela Islam, dan meneruskan perjuangan Rasulullah, padalah sesungguhnya kalau melihat sejarah, perbuatan itu tidak patut dan tidak tepat.
Selama 13 tahun di Makkah, Nabi hanya mengajak dan mendidik di saat yang bersamaan kemusyrikan mengelilingi kanan dan kiri beliau. Ka’bah di penuhi kurang lebih 360 berhala sedangkan Nabi tetap salat dan tawaf di sana bukan malah sibuk menyingkirkan dan membuang berhala itu. beliau tahu kalau itu dilakukan berarti sama saja dengan bunuh diri. Karena di waktu awal-awal Islam, kaum muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup besar.
Meski misalnya dibuang atau dihancurkan, orang kafir akan mengganti dengan patung yang baru. Hal ini disebabkan ajaran watsaniyyah (menyembah berhala) sudah tertanam kokok di pikiran mereka.
Akhirnya Nabi bukan sibuk menghancurkan berhala yang terlihat namun sibuk membasmi kepercayaan yang tertanam di hati dan pikiran orang kafir dengan cara mengajak untuk mengesakan Tuhan, menyucikan hati mereka dilengkapi dengan akhlakul karimah beliau yang sudah masyhur di tanah Arab saat itu. Dan hasilnya kita nikmati sampai saat ini, rahmatan lil alamin. (as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 98-99). Semoga Allah menjaga kita dari sikap ghuluw dalam beragama.