Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 2)

Baca penjelasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 1)

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini Allah berikan kemudahan bagi kita untuk melanjutkan kembali pembahasan dari risalah Qawa’id Arba’ atau empat kaidah utama karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Pada bagian terdahulu kita telah membaca mukadimah atau pengantar dari beliau yang berisi doa bagi pembaca risalahnya agar mendapatkan pertolongan dari Allah dan diberkahi dimana pun ia berada.

Kemudian, beliau berkata : Semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika diberi cobaan/musibah, dan beristighfar apabila berbuat dosa. Karena sesungguhnya ketiga hal ini merupakan tanda-tanda kebahagiaan.

Penjelasan :

Tidaklah diragukan bahwa kebahagiaan menjadi dambaan setiap insan. Tidak ada orang yang ingin hidup sengsara. Semua pasti ingin bahagia. Akan tetapi banyak orang salah paham tentang hakikat kebahagiaan. Mereka menyangka bahwa kebahagiaan itu terletak pada banyaknya harta, tingginya jabatan, ketenaran, atau ketampanan dan kecantikan. Oleh sebab itu banyak orang hanyut dalam kerusakan akhlak dan kesesatan aqidah dengan dalih demi mengejar kebahagiaan.

Padahal, Allah menjadikan kebahagiaan itu akan bisa diraih dengan mengikuti petunjuk-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Hakikat kebahagiaan itu adalah kelapangan dada dan ketenangan hati, sebagaimana sering diulang-ulang oleh Ustaz Afifi hafizhahullah dalam ceramahnya. Hal ini senada dengan penjelasan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman bahwa pokok kehidupan yang baik itu adalah kelapangan hati dan ketenangannya (lihat at-Taudhih wal Bayan, hal. 50)

Kebahagiaan hakiki itu hanya bisa digapai dengan iman dan amal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki dan perempuan dalam keadaan beriman maka benar-benar Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka amalkan.” (an-Nahl : 97). Iman dan amal salih inilah yang akan membuahkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Bagi orang beriman kelezatan hidup itu ada pada ketaatan. Kebahagiaan ada di tangan Allah dan tidak bisa diraih kecuali dengan taat kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang yang malang dari penduduk dunia. Mereka yang keluar darinya dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang terbaik di dalamnya.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang terbaik di dunia?” beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Orang yang mengenal Allah maka dia akan menyadari bahwa segala nikmat yang dia peroleh datangnya dari Allah, sehingga dia pun bersyukur kepada-Nya. Orang yang mengenal Allah maka dia pun meyakini bahwa musibah adalah takdir Allah yang wajib dihadapi dengan kesabaran. Orang yang mengenal Allah maka dia menyadari dosa dan kesalahannya sehingga dia pun beristighfar memohon ampunan kepada Allah atas dosa-dosanya. Ketiga hal ini; syukur, sabar dan istighfar merupakan tanda kebahagiaan hamba, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah di bagian awal kitabnya al-Wabil ash-Shayyib (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5)

Dari sinilah kita mengetahui betapa besar nikmat hidayah dan petunjuk agama. Sebab tanpa hidayah dan petunjuk agama Islam maka manusia akan tenggelam dalam kesesatan dan hanyut dalam kerusakan. Maka banyak orang diberi nikmat tetapi tidak bersyukur kepada Allah. Mereka tertimpa musibah tetapi tidak bersabar dalam menghadapinya, mereka marah kepada Allah dan tidak menerima ketetapan-Nya. Begitu pula tidak sedikit orang yang berbuat dosa dan tidak kunjung beristighfar, bahkan mereka berbangga dengan dosa dan tidak malu dengan maksiatnya.

Sungguh hidayah agama ini merupakan kebahagiaan besar bagi seorang hamba, sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Sehingga dia akan meyakini bahwa kebahagiaan itu bukanlah dengan menumpuk-numpuk harta. Akan tetapi hakikat orang bahagia adalah mereka yang menghiasi hati dan perilakunya dengan takwa. Karena itulah Allah berfirman mengenai hari akhirat (yang artinya), “Pada hari itu tiada berguna harta dan anak-anak kecuali bagi mereka yang datang kepada Allah dengan membawa hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’ : 88-89)

Syukur kepada Allah dilandasi oleh keyakinan di dalam hati bahwa semua nikmat yang kita raih berasal dari Allah. Kemudian kita memuji Allah atas nikmat-nikmat itu, kita sandarkan nikmat kepada-Nya bukan kepada selain-Nya. Termasuk bentuk syukur adalah tidak menggunakan nikmat kecuali dalam rangka ketaatan kepada-Nya. Dengan demikian melakukan segala bentuk amal salih pada hakikatnya merupakan aplikasi dari syukur kepada Allah. Pokok dari syukur itu adalah mentauhidkan Allah. Karena hanya Allah yang menciptakan kita maka hanya kepada-Nya kita beribadah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)

Untuk bisa mewujudkan syukur kepada Allah seorang hamba harus mewujudkan sikap musyahadatul minnah; yaitu menyaksikan dan menyadari berbagai macam nikmat yang Allah curahkan kepadanya. Sebagaimana tertuang dalam doa sayyidul istighfar pada kalimat ‘abuu’u laka bini’matika ‘alayya’ yang artinya : Dan aku mengakui kepada-Mu akan segala nikmat yang Kau berikan kepadaku… (HR. Bukhari). Dengan musyahadatul minnah inilah akan tumbuh kecintaan, pujian dan syukur kepada Allah (lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam al-Wabil ash-Shayyib, hal. 11)

Oleh sebab itu setiap hari di dalam sholat kita diajari untuk memuji Allah dalam kalimat alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, di dalam bacaan al-Fatihah. Tidak kurang dari 17 kali dalam 24 jam. Di setiap raka’at sholat kita memuji Allah dan menyanjung-Nya. Alhamdulillah adalah kalimat yang terucap dari setiap orang yang bersyukur kepada Allah. Dia memuji Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Dia memuji Allah atas sekian banyak nikmat yang Allah curahkan kepada dirinya. Alhamdulilah ini pula salah satu kalimat yang paling Allah cintai.

Allah Mahaterpuji karena kesempurnaan sifat dan perbuatan-Nya. Allah juga terpuji karena limpahan nikmat yang tercurah kepada kita. Tidak ada satupun nikmat yang ada pada diri kita kecuali datangnya dari Allah semata. Bahkan pada setiap kali bangun tidur kita diajari untuk bersyukur kepada Allah dengan membaca doa alhamdulillahilladzi ahyaanaa ba’da maa amaatana… Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kita kembali setelah mematikan kita… (HR. Bukhari)

Kehidupan ini adalah nikmat agung yang Allah berikan kepada kita dan wajib kita syukuri. Bukankah Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang lebih bagus amalnya.” (al-Mulk : 2). Dan sebagaimana telah ditafsirkan oleh ulama salaf bahwa yang paling bagus amalnya yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas ketika amal itu dilakukan karena Allah, sedangkan benar adalah apabila amalan itu sesuai dengan sunnah/tuntunan rasul.

Mensyukuri nikmat Allah bukanlah perkara yang sepele. Karena dengan syukur itulah nikmat semakin Allah tambahkan, dan dengan syukur itu pula akan terjaga nikmat-nikmat yang telah kita dapatkan. Tanpa syukur kepada Allah maka nikmat-nikmat itu justru akan berubah menjadi malapetaka. Sebagaimana telah diingatkan oleh Abu Hazim rahimahullah“Setiap nikmat yang tidak semakin menambah dekat kepada Allah maka pada hakikatnya itu adalah malapetaka.”

Allah berikan nikmat itu demi menguji hamba apakah dia bersyukur kepada Allah ataukah justru kufur akan nikmat-Nya. Allah pun berikan cobaan berupa musibah kepada kita agar terlihat siapakah orang-orang yang sabar menghadapinya dan siapa yang justru marah kepada takdir-Nya. Inilah kehidupan yang kita jalani. Hidup penuh dengan ujian. Hanya orang beriman yang bisa menyambut nikmat dengan kesyukuran dan menyambut musibah dengan kesabaran.

[Bersambung]

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Sumber: https://muslim.or.id/68732-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-2.html

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 1)

Bismillah.

Di antara para ulama yang memiliki peran besar dalam menyebarkan dan memperbaharui semangat dan pemahaman umat tentang tauhid adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Beliau lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H.

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman at-Tamimi. Seorang ulama yang sangat gigih dalam memperjuangkan dakwah tauhid dan menyingkap berbagai macam penyimpangan dan kerancuan pemahaman. Di antara karya beliau yang dijadikan rujukan oleh kaum muslimin terutama para da’i ialah Kitab Tauhid yang membahas perkara tauhid uluhiyah secara sistematis dan terperinci berlandaskan dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah.

Selain itu, beliau juga menulis kitab-kitab yang sangat penting dalam mendakwahkan tauhid kepada masyarakat, seperti Tsalatsatul Ushul (tiga landasan utama) dan Qawa’id Arba’ (empat kaidah utama). Semuanya membahas perkara tauhid sebagaimana pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Di antara ketiga buku ini maka Qawa’id Arba’ adalah yang paling ringkas. Meskipun demikian, ia mengandung pelajaran dan kaidah-kaidah yang sangat penting dalam memahami tauhid dan pokok-pokok agama Islam.

Metode dakwah beliau di dalam kitab-kitabnya tidak pernah lepas dari dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini menunjukkan kepada kita kedalaman ilmu beliau dan pengagungannya kepada wahyu. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah bahwa ilmu itu adalah yang disertai dengan firman Allah dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, ilmu yang bermanfaat adalah mengenali petunjuk dengan landasan dalil, sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Ilmu inilah yang akan mengantarkan hamba mencapai kebahagiaan hakiki.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

“Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).

Beliau juga menjelaskan,

من يريد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sementara tauhid merupakan ilmu yang paling pokok dipahami oleh seorang hamba sebab ia merupakan pondasi agama Islam.

Selama 10 tahun lebih di Mekah semenjak diutus sebagai rasul, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus mendakwahkan tauhid dan menjadikannya sebagai muatan utama pelajaran keimanan. Bahkan ketika sudah memiliki negara dan pemerintahan di Madinah beliau tetap menjadikan tauhid sebagai misi utama dakwah dan pembinaan umat. Hal ini tentu tidak aneh karena memang demikianlah jalan hidup para rasul di sepanjang masa.

Allah berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut!’.” (an-Nahl : 36).

Allah juga berfirman,

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’ : 25)

Di dalam kitab Qawa’id Arba’ ini, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab akan menjelaskan kepada kita mengenai kaidah-kaidah dalam memahami tauhid dan syirik. Kaidah-kaidah ini merupakan kesimpulan dan keterangan yang terambil dari dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga ia bukanlah semata-mata hasil pemikiran atau pendapat pribadi beliau. Begitu banyak tuduhan dan celaan yang diarahkan kepada beliau dan dakwahnya. Akan tetapi, dengan membaca dan menelaah apa yang beliau tulis secara objektif, niscaya akan menyadarkan kita bahwa tuduhan-tuduhan itu adalah tipu daya setan dalam menyesatkan manusia dari jalan kebenaran.

Banyak pihak yang menisbatkan pemahaman ekstrim dan keras kepada dakwah beliau. Mereka menuduh bahwa berbagai gerakan teroris dan pengkafiran muncul dari kitab-kitab beliau dan seruan dakwahnya. Padahal beliau berlepas diri dari apa yang mereka tuduhkan. Siapa pun yang membaca risalah dakwah yang beliau tulis akan melihat bahwa karya-karya ini disusun untuk menyebarkan pemahaman Islam yang lurus dan penuh kasih sayang. Tidakkah kita lihat seringnya beliau mendoakan kebaikan bagi para pembaca kitabnya?! Di antaranya beliau mengatakan ‘Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu’ atau ‘Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya’ atau ucapan-ucapan lain yang serupa. Ini semua merupakan sebagian kecil bukti betapa besar kasih sayang beliau kepada umat ini dan jauhnya beliau dari sikap ekstrim dan ghuluw.

Pada bagian awal risalah Qawa’id Arba’ ini beliau berkata,

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Aku memohon kepada Allah Yang Maha Mulia Rabb pemilik Arsy yang sangat agung, semoga Allah menjadi penolongmu di dunia dan di akhirat, dan semoga Allah menjadikan dirimu orang yang diberkahi di mana pun kamu berada. Dan semoga Allah menjadikanmu orang yang bersyukur apabila diberi nikmat, bersabar ketika diberi cobaan/musibah, dan beristigfar apabila berbuat dosa. Karena sesungguhnya ketiga hal ini merupakan tanda-tanda kebahagiaan.

Penjelasan :

Beliau mengawali risalahnya dengan basmalah, yaitu ucapan bismillahirrahmanirrahiim. Hal ini merupakan kebiasaan para ulama dalam memulai kitab-kitab mereka. Hal ini dilandasi oleh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengawali surat dan perjanjian yang beliau buat dengan basmalah. Bahkan Nabi Sulaiman ‘alaihis salam dalam suratnya kepada Ratu Bilqis menuliskan pertama kali basmalah, sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an.

Memulai tulisan dengan basmalah ini memiliki beberapa alasan dan tujuan. Di antaranya adalah untuk memohon pertolongan kepada Allah (isti’anah). Di dalam al-Qur’an Allah menyebutkan bahwa Allah memiliki nama-nama yang Maha Indah dan Allah perintahkan kita untuk berdoa dengan menyebutnya. Selain itu, memulai dengan menyebut nama Allah adalah untuk tabarruk/mencari keberkahan. Berkah itu adalah kebaikan yang banyak dan terus-menerus. Kita juga diajari untuk sering menyebut nama Allah, misalnya ketika hendak makan, hendak wudu, ketika pergi keluar rumah, menyembelih hewan, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa menyebut nama Allah memiliki pengaruh besar dan manfaat yang luar biasa bagi kehidupan seorang muslim.

Hal ini tentunya juga mengingatkan kita tentang pentingnya selalu ingat kepada Allah. Karena dengan ingat kepada Allah hati menjadi tenang dan keimanan bertambah kuat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang senantiasa mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafaz milik Bukhari). Abul Abbas al-Harrani rahimahullah berkata, “Zikir bagi hati laksana air bagi seekor ikan. Maka bagaimana keadaan ikan ketika memisahkan dirinya dengan air?”

Para ulama menjelaskan bahwa zikir itu ada dengan lisan dan ada pula dengan hati. Zikir yang paling utama adalah yang bersesuaian antara apa yang diucapkan oleh lisan dengan apa yang ada di dalam hati. Banyak sekali keutamaan zikir, di antaranya adalah zikir menjadi sebab Allah menolong dan membantu hamba.

Allah berfirman,

فَٱذۡكُرُونِیۤ أَذۡكُرۡكُمۡ

“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (al-Baqarah : 152).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa agama ini dibangun di atas zikir dan syukur (lihat al-Fawa’id, hal. 124)

Setelah memulai dengan basmalah, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pun melanjutkan dengan doa kepada Allah. Doa yang beliau panjatkan kepada Allah, untuk kebaikan para pembaca risalahnya. Hal ini mencerminkan ketulusan beliau dan kebersihan niatnya dalam berdakwah. Bahwa beliau tidaklah menginginkan dakwahnya kepada manusia melainkan untuk kebaikan bagi mereka. Selain itu, dengan doa ini pula beliau ingin menunjukkan kepada kita bahwa kita semuanya fakir di hadapan Allah. Kita sangat membutuhkan Allah dalam setiap kesempatan dan keadaan. Di mana pun dan kapan pun. Kita selalu butuh bantuan dan pertolongan Allah. Kita selalu membutuhkan hidayah dan taufik dari Allah dalam segala keperluan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sungguh telah sepakat kaum yang arif/para ulama bahwasanya segala kebaikan itu sumbernya adalah taufik dari Allah kepada hamba…” (lihat al-Fawa’id, hal. 94). Karena itulah, setiap hari di dalam salat kita diperintahkan untuk berdoa kepada Allah meminta hidayah jalan yang lurus. Hidayah itu mencakup ilmu dan amal. Hidayah untuk bisa beramal itulah yang sering disebut oleh para ulama dengan hidayah taufik. Bahkan di antara doa yang sering dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa yang berbunyi

يامقلب القلوب ثبت قلبي على دينك

Yaa muqallibal quluub tsabbit qalbii ‘ala diinik.

“Wahai Allah Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”(HR. Ahmad dll) (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 419)

Doa merupakan bentuk ibadah yang sangat mulia. Allah berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِیۤ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِینَ یَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِی سَیَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِینَ

“Dan Rabb kalian mengatakan, ‘Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.’.” (Ghafir : 60).

Dengan doa ini kita menjemput taufik dari Allah guna meraih kebaikan dan selamat dari berbagai keburukan. Ibnul Qayyim berkata, “…sesungguhnya semua orang yang arif telah sepakat bahwa hakikat taufik adalah Allah tidak menyandarkan anda kepada diri anda sendiri, adapun khudzlan/ditelantarkan itu adalah ketika Allah ta’ala menyandarkan anda kepada -kemampuan dan kekuatan- diri anda sendiri.” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 10)

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah meminta kepada Allah Yang Maha Mulia Rabb pemilik ‘Arsy yang sangat agung supaya menjadi penolong kita di dunia dan di akhirat, dan supaya Allah menjadikan kita orang yang diberkahi di mana pun berada…

Di dalam untaian doa ini beliau mengisyaratkan kepada kita tentang pentingnya seorang muslim untuk memiliki cita-cita yang tinggi dan mulia. Yaitu harapan untuk mendapatkan pertolongan Allah di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, Allah menceritakan di dalam al-Qur’an bahwa di antara doa kaum beriman itu adalah memohon kebaikan di dunia dan di akhirat dan dijaga dari azab neraka. Hal ini juga mengingatkan kita bahwa kehidupan ini tidak hanya di dunia, masih ada kehidupan di akhirat yaitu kehidupan yang abadi, apakah bahagia di surga atau sengsara di neraka…

Oleh sebab itu, seorang muslim hidup di dunia seperti orang yang asing atau sedang singgah di tengah perjalanan. Dia menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, sementara dunia adalah ladang amalan. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Dunia segera pergi meninggalkan dan akhirat segera datang di hadapan. Sedangkan masing-masing memiliki anak-anak pengikut setia. Jadilah kalian pengikut setia akhirat dan jangan kalian menjadi pengikut setia dunia…” Orang kafir digambarkan oleh Allah di dalam al-Qur’an bahwa mereka itu sangat mengerti tentang seluk-beluk perkara yang tampak dari kehidupan dunia tetapi dalam urusan akhirat mereka lalai.

Pada kalimat-kalimat doa di atas juga terkandung pelajaran berharga, bahwa kebahagiaan itu ada di tangan Allah. Termasuk dalam kebahagiaan adalah ketika Allah menjadikan seorang hamba diberkahi di mana pun ia berada. Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa makna dari berkah itu adalah banyaknya kebaikan dan menetapnya kebaikan itu (langgeng). (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1/121)

Doa ini mengingatkan kita akan pujian Nabi Isa ‘alaihis salam kepada Rabbnya. Allah berfirman mengisahkan isi pujian beliau itu,

وَجَعَلَنِی مُبَارَكًا أَیۡنَ مَا كُنتُ

“Dan Allah menjadikan aku orang yang diberkahi di mana pun aku berada.” (Maryam : 31).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Maka demikianlah seorang mukmin diberkahi di mana pun dia singgah, sedangkan orang fajir/pendosa selalu lekat dengan keburukan di mana pun ia berada…” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 177)

Di dalam hadis yang sahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan keberkahan seorang muslim seperti keberkahan yang ada pada pohon kurma yang bisa mendatangkan kebaikan dan manfaat dengan semua bagiannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara pohon-pohon ada sebuah pohon yang keberkahannya itu seperti keberkahan seorang muslim.” Lalu ketika beliau ditanya oleh para sahabat pohon apakah itu, beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma.” (HR. Bukhari) (lihat Fath al-Bari, 1/177-178)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan bahwa di antara keberkahan seorang muslim itu adalah manfaat yang muncul darinya terus mengalir, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain bahkan setelah dia meninggal kebaikan itu masih terus mengalir. (lihat Fath al-Bari, 1/178)

Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menjelaskan bahwa tidaklah seorang menjadi sosok yang diberkahi di mana pun ia berada, kecuali apabila dalam setiap majelisnya/pertemuan dengannya dia menjadi orang yang saleh/baik dan mushlih/memperbaiki. Beliau pun menukil perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam salah satu kitabnya bahwa keberkahan seorang adalah tatkala dia bisa mengajarkan kebaikan di mana pun ia berada dan dia selalu memberi nasihat bagi siapa pun yang berkumpul dengannya. (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 12)

Adapun sisi keserupaan antara pohon kurma dengan sosok seorang mukmin adalah sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bazzar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan seorang mukmin itu seperti pohon kurma. Apa pun yang datang kepadamu darinya pasti bermanfaat untukmu.” Sanadnya dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar (lihat Fath al-Bari, 1/179)

Dari sini pula kita bisa memetik hikmah betapa pentingnya iman bagi seorang hamba. Karena keimanan itulah yang akan membuahkan berbagai jenis kebaikan dan kemanfaatan bagi dirinya, keluarga dan masyarakatnya, bahkan bagi alam semesta. Allah berfirman,

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰۤ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوۡا۟ لَفَتَحۡنَا عَلَیۡهِم بَرَكَـٰتࣲ مِّنَ ٱلسَّمَاۤءِ وَٱلۡأَرۡضِ

“Dan seandainya para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa benar-benar Kami akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (al-A’raf : 96)

Tentu saja iman yang dimaksud bukan sekedar ucapan di lisan. Akan tetapi, iman yang berakar dari dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan angan-angan atau menghias penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Beliau juga menjelaskan bahwa orang beriman memadukan pada dirinya antara perbuatan ihsan/kebaikan dengan perasaan khawatir, berbeda dengan orang kafir/fajir yang menggabungkan dalam dirinya antara berbuat buruk/dosa dengan perasaan aman/tidak merasa bersalah.

Orang yang diberkahi itu adalah orang yang beriman. Karena imannya maka dia pun menjaga lisan dan perilaku. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من كان يؤمن بالله واليون الآخر فليقل خيرا ليصمت

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata-kata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Orang yang diberkahi itu akan menjaga sikap dan ucapannya agar tetap di dalam koridor agama. Allah berfirman,

وَلَا تَقۡفُ مَا لَیۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولࣰا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak punya ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra’ : 36)

Orang yang diberkahi itu adalah yang selalu mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman,

فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَایَ فَلَا یَضِلُّ وَلَا یَشۡقَىٰ

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma menafsirkan bahwa Allah telah memberikan jaminan bagi siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajarannya bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka nanti di akhirat.

Al-Qur’an ini adalah kitab yang penuh dengan berkah. Allah berfirman,

كِتَـٰبٌ أَنزَلۡنَـٰهُ إِلَیۡكَ مُبَـٰرَكࣱ لِّیَدَّبَّرُوۤا۟ ءَایَـٰتِهِۦ وَلِیَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ

“Kitab yang Kami turunkan kepadamu dan ia penuh dengan keberkahan, supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mengambil pelajaran orang-orang yang memiliki akal sehat.” (Shad : 29).

Dengan merenungkan dan mengkaji berulang-ulang terhadap ayat-ayat al-Qur’an serta mencermati kandungan isinya niscaya akan diraih keberkahan al-Qur’an itu. Selain itu, ayat itu juga menunjukkan adanya motivasi untuk merenungkan/tadabbur al-Qur’an dan bahwasanya hal itu termasuk amalan yang paling utama (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 712)

Dari sini kita juga bisa memetik faedah pentingnya belajar al-Qur’an dan mengajarkannya. Dan bahwa al-Qur’an itu harus direnungkan dan dipahami isinya untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan.

(Bersambung)

Sumber: https://muslim.or.id/68308-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-1.html