Jika fatwa dianggap berpotensi merusak kemajemukan warga negara atau lebih-lebih dikatakan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa, ini terlalu didramatisir, bahkan bisa disebut lebay.
oleh: Ainul Yaqin
Beberapa waktu terakhir ini satu perbincangan yang muncul di media adalah menyoal Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang salam lintas agama. Fatwa ini merupakan salah satu dari keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI VIII yang diselenggarakan di Bangka Belitung 28-31 Mei 2024.
Sebenarnya sebelum masalah ini menjadi bahasan Ijtima Ulama komisi Fatwa, sudah pernah disampaikan oleh Dewan Pimpinan MUI Jawa Timur akhir 2019 yang lalu dalam bentuk taushiyah, dengan isi yang kurang lebih sama. Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-8 memberikan pendalaman pada pembahasannya.
Beberapa poin dari keputusan Ijtima tersebut di antaranya: (1) Penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan; (2) Dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah, karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain; (3) Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.
Keputusan Ijtima komisi Fatwa ini telah memantik tanggapan yang beragam, ada yang mendukung, ada yang menolaknya. Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Al Washliyah misalnya menyampaikan, “Tepat keputusan MUI, karena salam itu sakral.”
Komentar berbeda antara lain disampaikan Dirjen Bimas Islam, Kamarudin Amin. Menurutnya, salam lintas agama merupakan praktik yang dapat mendorong kerukunan umat. Menebar damai sebagai ajaran substantif semua agama, dapat dilakukan melalui salam lintas agama (https://www.kemenag.go.id).
Tanggapan keras datang dari Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam pengantarnya, BPIP menilai terbitnya hasil ijtima tersebut bisa berpotensi merusak kemajemukan warga negara. Kemudian pada poin pernyataan, antara lain disampaikan bahwa hasil ijtima tentang pelarangan ucapan salam lintas agama mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa (https://news.detik.com/).
Munculnya tangapan beragam menyikapi fatwa Ijtima Ulama MUI, hal yang wajar saja, lebih-lebih dalam iklim demokrasi yang memberikan ruang adanya perbedaan pendapat. Namun jika fatwa dianggap berpotensi merusak kemajemukan warga negara atau lebih-lebih dikatakan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa, ini terlalu didramatisir, bahkan bisa disebut lebay.
Pancasila telah disahkan sebagai dasar negara sejak 18 Agustus 1945. Khususnya dalam kaitan dengan kemajemukan agama telah terimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat pun sudah biasa dengan perbedaan dari masing-masing pemeluk agama.
Sementara itu, muculnya fenomena pengucapan sederet salam dengan redaksi agama-agama merupakan hal yang baru yang dulu tak pernah ada. Mungkin bisa dibilang baru dalam waktu tak lebih dari sepuluh tahun terakhir ini.
Justru munculnya fenomena inilah yang memantik adanya pertanyaan atau bahkan kegelisahan dari beberapa warga masyarakat ketika harus mengucapkan kalimat yang dipandangnya sebagai hal yang khusus di suatu agama tertentu lalu harus diucapkan pula oleh orang yang berbeda keyakinannya. Inilah yang sebenarnya melatarbelakangi MUI mengkajinya dari sudut pandang ajaran Islam dan kemudian menerbitkan fatwa.
Kata fatwa atau disebut al-futyaa, secara bahasa yang artinya penjelasan, atau penerangan. Secara istilah, misalnya merujuk pada Abd Karim Zaidan yang mendefinisikan bahwa fatwa adalah hukum syara’ yang disampaikan mufti (sebagai jawaban kepada orang yang bertanya kepadanya).(Ushuul al-Da’wah, hlm. 166). Sedangkan Syeikh Yusuf al-Qardlawi mendefinisikan, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ terhadap suatu masalah sebagai jawaban terhadap pertanyaan penanya, baik dikenal atau pun tidak, secara perseorangan maupun kolektif. (al-Fatwaa baina al-Indlibaath wa al-Tasayyub, hlm. 11)
Dari definisi di atas bisa dikatakan bahwa fatwa bersifat responsif, karena muncul untuk menjawab masalah atau menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh mustafti (pihak penanya). Pihak yang meminta fatwa atau mustaftibisa perorangan, bisa pula lembaga atau badan. Permasalahan yang dijawab dengan fatwa bisa berupa pertanyaan langsung yang disampaikan oleh penanya (mustafti) ataubisa pula berupa permasalahan yang muncul di tengah-tengan masyarakat yang membutuhkan penjelasan dari sudut pandang agama.
Dari sisi keberlakuannya, seperti definisi dari Syeikh Musthafa al-Ruhaibaani yang menyebutkan tambahan bahwa fatwa bersifat tidak mengikat (Mathaalibu Ulii al-Nuhaa fii Syarh al-Ghaayah al-Muntahaa, hlm. 405). Di sinilah memang, fatwa berbeda dengan hukum positif yang mengikat kepada warga negara. Atau berbeda pula dengan putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang berperkara.
Meskipun demikian, kedudukan fatwa di tengah masyarakat khususnya umat Islam adalah penting. Adanya jawaban atas berbagai permasalahan keagamaan merupakan kebutuhan. Sebaliknya membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan suatu yang tidak semestinya terjadi. Fatwa akan terus dibutuhkan untuk memberikan jawaban terhadap berbagai masalah yang muncul seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang terus berlangsung.
Fenomena pengucapan sederet salam dari masing-masing agama yang dipraktikkan akhir-akhir ini wajar jika memantik adanya pertanyaan. Bagi umat Islam kata salam meskipun sifatnya tegur sapa, tapi mengandung makna do’a atau permintaan yang ditujukan kepada Allah Swt Sang Pencipta. Jika demikian, bisa masuk pada ranah ubudiyah, bukankah doa itu disebut inti ibadah.
Lalu bagaimana dengan adanya redaksi-redaksi khusus dari masing-masing agama yang memberti nuansa khusus dari sisi pemaknaannya. Misalnya ungkapan dari umat Hindu, “Om Swastiastu” yang bisa diartikan “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Sang Hyang Widhi”. Demikian pula ungkapan Namo Budhaya, yang artinya terpujilah Sang Budha. Dalam kasus ini wajar jika ada pertanyaan dari umat Islam, bagaimana mengucapkan seperti ini jika yang melakukan orang Islam. Di sinilah karena salah satu peran MUI adalah sebagai lembaga fatwa, maka MUI memberikan jawaban itu.
Fatwa MUI memperlihatkan sikap kehati-hatian memberikan jawaban kepada umat Islam, karena hal ini berkaitan dengan doktrin ajaran. Dapat dikatakan hal ini bersifat privat dan eksklisif bagi pemeluk agama Islam. Karena itu jawaban MUI cenderung pada tidak memperbolehkan, atau dengan kata lain haram. Lalu apakah hal itu disebut mencederai keragaman, atau bahkan dikatakan mengancap Pancasila. Maka perlu dicermati lagi makna tolerasi dalam keragaman.
Kata tolerasi berasal dari dari bahasa latin “tolerare”, yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu, menerima dengan sabar, atau menanggung. Toleransi juga bermakna daya tahan dan kelapangan dada. Kata toleransi digunakan dalam berbagai disiplin, menunjukkan adanya penerimaan terhadap kondisi yang berbeda atau yang bahkan tidak dikendaki, tetapi bisa diterima artinya bisa ditoleransi. Pada disiplin mikrobiologi misalnya ada istilah tolerensi mikroba terhadap antibiotik. Artinya meskipun antibiotik sesuatu yang dapat membunuh mikroba, pada dosis tertentu mikroba mempunyai daya tahan sehingga tetap hidup, sehingga dikatakan mikroba bisa menoleransi.
Dalam ranah sosiologis istilah toleransi merujuk pada situasi kompromi atas berbagai keadaan yang berbeda-beda, suatu kondisi kemajemukan, atau bahkan saling berhadapan atau berkonfrontasi. Kondisi kemajemukan itu disikapi dengan saling bergandeng, mengambil titik-titik kesamaan sebagai pengikatnya, dengan maksud untuk kepentingan yang lebih besar.
Maka hal-hal pebedaan yang bersifat privasi atau ekslusif dibiarkan berbeda, tidak dipaksa sama. Prinsinya adalah saling menghormati pihak-pihak yang berbeda. Dalam soal keyakinan misalnya, atau praktik menjalankan agama, toleransi artiinya masing-masing pemeluk agama dibiarkan melakukan sesuai dengan yang diyakini, tidak dihalang-halangi, tidak ada paksaan dalam agama.
Inilah justru yang menjadi pengejawantahan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Lebih-lebih lagi hak menjalankan agama menjadi hak kebebasan yang tidak bisa dibatasi. Maka justru menjadi aneh, demi tolerasi lalu seakan-akan memaksakankan hal yang sebenarnya berbeda untuk menjadi seragam. kemudian pihak yang tidak mau seakan-akan dibilang tidak toleransi, bahkan dianggap sebagai ancaman. Padalah dalam konteks salam, justru lebih elok jika dibiarkan masing-masing pemeluk agama mengucapkan sesuai dengan keyakinan yang dimilik. Di sinilah yang justru menunjukkan adanya kedewasaan menyikapi keragaman.*/Penulis merupakan peneliti Inpas