Fikih Wakaf (Bag. 3): Urgensi Mencatat Wakaf, Rukun, dan Syarat Wakaf

Merujuk dari situs siwak.kemenag.go.id yang dikelola oleh Kementerian Agama Republik Indonesia, jumlah tanah wakaf yang berada di Indonesia mencapai 440.512 titik lokasi, yang luas keseluruhan areanya mencapai 57.263,69 Ha. Tentu saja, ini bukanlah angka yang kecil.

Berdasarkan beberapa sumber lainnya, disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki tanah wakaf terbanyak di dunia. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat Indonesia di dalam bersedekah dan mewakafkan hartanya di jalan Allah Ta’ala.

Sayangnya, tingginya minat tersebut belum dibarengi dengan pemahaman yang baik akan fikih wakaf itu sendiri. Merujuk dari situs yang sama, tanah wakaf yang sudah diurus sertifikatnya baru mencapai 57,42% dari total keseluruhan tanah wakaf yang ada. Jumlah tanah wakaf yang ada tersebut tidak seimbang dengan jumlah nadzir (pengelola wakaf) yang mendaftarkan tanah wakaf kepada pihak yang berwenang.

Tidak jarang, di kemudian hari, muncul sengketa tanah dan perselisihan antara nadzir dengan keluarga waqif (orang yang mewakafkan), bahkan antara nadzir (badan pengelola) itu sendiri. Hal itu dikarenakan lemahnya kesadaran untuk mencatat dan mengurus bukti sertifikat wakaf saat orang yang mewakafkannya tersebut masih hidup, atau dikarenakan saling lempar tanggung jawab hingga menyebabkan pengurusan sertifikat menjadi tertunda.

Urgensi mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf

Wakaf merupakan salah satu bentuk akad yang diizinkan dan dianjurkan oleh syariat Islam. Sedangkan di dalam syariat kita, terdapat anjuran untuk melakukan pencatatan terhadap setiap akad yang kita lakukan. Hal ini guna menghindari adanya perselisihan dan pertikaian di kemudian hari. Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Al-Imam As-Sa’di rahimahullah tatkala menyebutkan faedah-faedah dari ayat tersebut mengatakan,

“Disyariatkan dan dianjurkan untuk mendokumentasikan setiap hak-hak yang kita miliki. Baik itu yang berupa gadai, jaminan (ataupun akad lainnya) dengan sesuatu yang memudahkan dan mengakomodasi seorang hamba untuk mendapatkan haknya. Baik itu nantinya dipergunakan untuk melakukan kebaikan ataupun sebaliknya. Begitu pula, apakah orang tersebut akan amanah ataupun berkhianat. Betapa banyak dokumentasi akad yang pada akhirnya menyelamatkan hak-hak seorang hamba serta menyelesaikan perseteruan yang ada.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 961)

Beliau juga mengatakan,

“Allah memerintahkan untuk mencatat (dokumentasi utang) piutang. Perkara yang satu ini terkadang menjadi wajib. Yaitu, apabila dalam hal yang mewajibkan memelihara hak (orang lain). Seperti: seorang hamba yang wajib atasnya perwalian atas harta anak yatim, harta wakaf, perwakilan, dan amanah.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 961)

Seseorang yang mewakafkan hartanya hendaknya mencatatkan secara resmi objek yang diwakafkannya tersebut. Atau bagi pihak nadzir (pihak yang ditunjuk untuk mengelola sebuah objek wakaf) hendaknya membantu menguruskan hal tersebut kepada pihak berwenang. Sehingga, di kemudian hari tidak muncul perseteruan dan perselisihan terkait objek wakaf tersebut.

Pencatatan dan dokumentasi perbuatan wakaf ini juga telah diatur oleh pemerintah kita. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Di antara yang disebutkan adalah,

“Perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan.” (Wakaf Kontemporer, karya Dr. Fahruroji, Lc., MA., hal. 2)

Pemerintah, yang dalam hal ini menjadi pemimpin kita, telah mewajibkan setiap individu yang ingin mewakafkan hartanya untuk melakukan pencatatan dan pendaftaran ke lembaga hukum terkait serta mengumumkannya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk menaati aturan tersebut sehingga tidak muncul keburukan-keburukan di kemudian hari.

Rukun-rukun wakaf

Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf.

Pertama, orang yang berwakaf (Al-Waqif).

Kedua, benda milik Al-Waqif yang diwakafkan (Al-Mauquf).

Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (Al-Mauquf ‘Alaihi). Baik itu perseorangan (pribadi) atau kelompok tertentu atau lembaga berwenang tertentu.

Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (Sighah). Akad wakaf berubah menjadi lazim setelah adanya ikrar wakaf. Dan lafaz ikrar wakaf ada yang bersifat eksplisit (tersurat) dan ada juga yang implisit (tersirat).

Contoh lafaz yang eksplisit adalah,

“Aku wakafkan hartaku.”;

“Aku tahan hartaku.”;

atau

“Aku hibahkan dan alirkan manfaatnya.”

Dengan ucapan-ucapan semacam ini, maka harta yang disebutkan tersebut otomatis berubah menjadi harta wakaf tanpa perlu ada indikasi lainnya.

Adapun contoh lafaz ikrar yang implisit (tersirat) adalah ucapan seseorang,

“Aku sedekahkan hartaku.”;

“Aku haramkan bagi diriku harta tersebut.”;

atau

“Aku jadikan hartaku lenggang dan abadi.”

Lafaz-lafaz semacam ini menjadikan harta milik pribadi menjadi wakaf apabila disertai dengan niat atau adanya indikasi bahwa dirinya memang meniatkan wakaf. Seperti tambahan ucapannya,

“Sedekah yang diwakafkan.”

atau

“Harta yang disedekahkan tidak boleh diperjualbelikan.”

Sebagaimana juga, indikasi-indikasi tersebut diiringi dengan tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya berniat untuk mewakafkan hartanya. Seperti: membangun masjid lalu mengizinkan masyarakat umum untuk melaksanakan salat di dalamnya.

Syarat-syarat wakaf

Wakaf dinyatakan sah apabila memenuhi 4 syarat:

Pertama: Wakaf berasal dari seseorang yang diperbolehkan untuk melangsungkan transaksi. Yaitu, mereka yang sudah mukallaf (berakal dan sudah dibebani kewajiban syariat) dan mereka yang rasyid (mampu bertindak secara hukum). Sehingga, tidak sah wakafnya seorang anak kecil, orang yang dungu, ataupun seseorang yang kurang akalnya. Sebagaimana tidak sah juga, transaksi harta lainnya yang mereka lakukan.

Kedua: Wakaf harus berupa harta benda yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan oleh syariat, dapat digunakan, serta dimanfaatkan, sedangkan wujud benda tersebut tetap utuh. Seperti: bangunan, hewan, perabotan, senjata, dan yang sejenisnya.

Ketiga: Wakaf dilakukan dan diperuntukkan untuk kebaikan. Seperti: (wakaf untuk) fakir miskin, masjid, atau untuk kerabat. Baik wakafnya tersebut dari seorang muslim maupun ahli dzimmah.

Keempat: Penerima wakaf jelas dan sudah ditentukan. Tidak sah apabila merujuk pada seseorang yang tidak diketahui siapanya, seperti ucapan seseorang, “Aku wakafkan hartaku untuk seorang laki-laki.”

Kelima: Hendaknya ia lepaskan hartanya secara kontan dan sempurna (tanpa diikat dengan syarat tertentu). Jika wakafnya diiringi dengan syarat tertentu atau dibatasi dengan durasi tertentu, maka tidak sah. Hanya saja apabila diikat dengan kematian waqif, maka ini termasuk wasiat yang diperbolehkan. Seperti: ucapan seseorang, “Jika aku meninggal dunia, maka seperlima hartaku menjadi wakaf di jalan Allah.” Ini termasuk syarat yang diperbolehkan di dalam masalah wakaf.

Wallahu A’lam bisshawab.

Lanjut ke bagian 4: [Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/91242-fikih-wakaf-bag-3-urgensi-mencatat-wakaf-rukun-dan-syarat-wakaf.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Fikih Wakaf (Bag. 2): Wakaf Pertama dalam Islam

Wakaf merupakan salah satu kekhususan kaum muslimin. Jenis sedekah ini belum ada dan belum dikenal oleh masyarakat jahiliah (zaman pra-Islam) di masa silam. Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan,

لم يحبس أهل الجاهلية فيما علمته دارا ولا أرضا تبررا بحبسها وإنما حبس أهل الإسلام 

“Orang-orang pada masa Jahiliyyah (pra-Islam) sepengetahuanku tidak menahan harta mereka dan mewakafkan rumah atau tanah mereka dengan tujuan kebaikan dan ibadah. Sesungguhnya, menahan harta lalu mewakafkannya barulah ada dan baru dilakukan oleh orang-orang Islam.” (Al-Umm karya Imam As-Syafi’i, 4: 54)

Wakaf pertama dalam Islam

Tidak diragukan lagi bahwa pembangunan masjid Quba lalu Masjid Nabawi merupakan wakaf ta’abbud (dengan tujuan peribadatan) pertama dalam Islam. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitabnya “Al-Bidayah Wa An-Nihayah”,

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, maka persinggahan pertama beliau di sana adalah di rumah Bani ‘Amr bin ‘Auf, yaitu perkampungan Quba. Beliau tinggal di sana -sebagaimana yang dikatakan banyak orang- selama dua puluh dua malam, atau delapan belas malam.

Selama waktu ini, di antara yang beliau lakukan adalah mendirikan masjid Quba. Yaitu, masjid yang Allah Ta’ala berfirman tentangnya,

لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ

‘Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalam masjid itu, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri.’ (QS. At-Taubah: 108).”

Kemudian, beliau rahimahullah juga membawakan hadis sahih yang mengisahkan awal mula wakaf pembangunan masjid Nabawi,

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau singgah di dataran tinggi Madinah, sebuah perkampungan yang mereka kenal sebagai Suku ‘Amru bin ‘Auf. Anas berkata, ‘Maka, beliau tinggal selama empat belas malam. Kemudian, beliau mengutus seseorang untuk menemui pemimpin suku Bani Najjar. Maka, mereka datang sambil menyarungkan pedang di badan mereka.’ Anas melanjutkan, ‘Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas tunggangannya, sedangkan Abu Bakar membonceng di belakang beliau, sementara para pembesar suku Najjar mendampingi di sekeliling beliau hingga sampai di sumur milik Abu Ayyub.’ Anas berkata, ‘Beliau lalu bersegera mendirikan salat saat waktu sudah masuk. Beliau salat di kandang kambing. Kemudian, beliau memerintahkan untuk membangun masjid. Lalu, beliau mengutus seseorang untuk menemui pembesar suku Najjar.’ Utusan itu berkata, ‘Wahai suku Najjar, sebutkan berapa harga kebun kalian ini?’ Mereka berkata, ‘Tidak, demi Allah. Kami tidak akan menjualnya, kecuali kepada Allah!’ Anas berkata, ‘Aku beritahu kepada kalian bahwa kebun itu banyak terdapat kuburan orang-orang musyrik, juga ada sisa-sisa reruntuhan rumah dan pohon-pohon kurma.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membongkar kuburan-kuburan tersebut. Sedangkan reruntuhan rumah supaya diratakan dan untuk pohon-pohon kurma ditumbangkan, lalu dipindahkan di depan arah kiblat masjid. Anas berkata, ‘Maka mereka bekerja membuat pintu masjid dari pohon dan mengangkut bebatuan yang besar-besar sambil bersenandung. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ikut bekerja bersama mereka sambil mengucapkan, ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan, kecuali kebaikan akhirat. Maka, tolonglah kaum Anshar dan Muhajirin.’” (HR. Bukhari no. 3932 dan Muslim no. 524)

Di hadis yang lain, juga dikisahkan tentang siapakah pemilik tanah yang akan dibangun di atasnya masjid Nabawi tersebut,

“Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengendarai untanya yang diikuti oleh lainnya, sehingga untanya berhenti dan menderum di tempat di mana masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (akan didirikan) di kota Madinah, tempat yang sekarang menjadi lokasi orang-orang untuk melaksanakan salat (masjid Nabawi). Tempat tersebut mulanya merupakan tempat untuk menjemur kurma milik Suhail dan Sahal, dua anak yatim di bawah penjagaan Sa’ad bin Zurarah. Lalu, tatkala untanya menderum di lokasi tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  berkata, “InsyaAllah di sinilah tempat tinggal saya.” Kemudian, beliau berbincang dengan kedua anak yatim tersebut untuk bernegosiasi mengenai harga tanah tersebut. Karena tempat tersebut hendak didirikan masjid. Keduanya menjawab, “Tidak perlu wahai baginda Nabi, kami menghibahkannya untuk Anda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Namun, beliau enggan menerima hibah dari dua anak yatim tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun membeli dari keduanya dan didirikanlah masjid di sana. Mulailah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan batu pertama sebagai pertanda pembangunan dimulai.” (HR. Bukhari no. 3906)

Dari kisah tersebut, dapat kita ketahui bahwa cikal bakal masjid Nabawi merupakan tanah milik dua anak yatim yang kemudian dibeli oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau wakafkan kepada umat Islam. Sebuah sunah dan pengajaran yang indah tentang pelaksanaan wakaf dari suri teladan terbaik umat ini.

Sejarah wakaf khairy (untuk tujuan kebaikan)

Adapun wakaf dengan tujuan kebaikan secara umum (wakaf khairy), maka para ahli ilmu berbeda pendapat tentang siapakah yang pertama kali melakukannya di dalam Islam?

Ada yang berpendapat bahwa wakaf dengan tujuan kebaikan (khairy) pertama kali dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan inilah pendapat kaum Anshar. Yaitu, wakaf beliau berupa kebun buah-buahan yang sebelumnya milik Mukhayriq setelah terjadinya perang Uhud.

Ibnu Sa’ad dan Imam Al-Khassaf dalam kitab mereka meriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Ka’ab bin Malik, bahwasanya ia berkata,

أول صدقة كانت في الإسلام وقف رسول الله صلى الله عليه وسلم أمواله

“Sedekah (wakaf) pertama dalam Islam adalah wakaf Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari harta beliau.” (At-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, 1: 501 dan Ahkam Al-Awqaf karya Al-Khassaf, hal. 4)

Adapun di dalam riwayat Ibnu Sa’ad dari Muhammad bin Ka’ab, disebutkan,

أول صدقة في الإسلام وقف رسول الله صلى الله عليه وسلم أمواله، لما قتل مخيريق بأحد، وأوصي إن أصبت فأموالي لرسول الله صلى الله عليه وسلم، فقبضها رسول الله صلى الله عليه وسلم وتصدق بها

“Amal sedekah pertama dalam Islam adalah wakaf Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari hartanya. Ketika Mukhayriq (seorang rabbi/ulama Yahudi yang kaya raya dan mengagumi Nabi lalu ikut berperang dalam barisan kaum muslimin pada peperangan Uhud) terbunuh di Uhud, ia berwasiat, ‘Jikalau aku terbunuh dalam peperangan ini, maka seluruh hartaku (berupa kebun) menjadi milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (Ia terbunuh dalam peperangan tersebut). Maka, Rasulullah menerima harta tersebut dan mengeluarkannya sebagai sedekah.” (At-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, 1: 501)

Para ulama berselisih pendapat di dalam menghukumi kesahihan riwayat ini. Akan tetapi, cukup bagi kita untuk menunjukkan kesahihannya dan keabsahannya ketika para ulama yang terpercaya memberitahukan kepada kita bahwa ketujuh kebun ini masih ada di kota tersebut, dan orang-orang mendapatkan manfaat dari buahnya hingga masa Tabi’in dan para pengikutnya, yaitu masa Umar bin Abdul Aziz, dan bahkan hingga zaman-zaman selanjutnya.

Adapun kaum Muhajirin, mereka berpendapat bahwa wakaf khairy (dengan tujuan kebaikan) yang pertama adalah wakaf sahabat ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini disampaikan oleh anak beliau Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

أَنْ عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ أصابَ أرْضًا بخَيْبَرَ، فأتَى النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فيها، فقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مالًا قَطُّ أنْفَسَ عِندِي منه، فَما تَأْمُرُ بهِ؟ قالَ: إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أصْلَها، وتَصَدَّقْتَ بها قالَ: فَتَصَدَّقَ بها عُمَرُ، أنَّه لا يُباعُ ولا يُوهَبُ ولا يُورَثُ، وتَصَدَّقَ بها في الفُقَراءِ، وفي القُرْبَى وفي الرِّقابِ، وفي سَبيلِ اللَّهِ، وابْنِ السَّبِيلِ، والضَّيْفِ لا جُناحَ علَى مَن ولِيَها أنْ يَأْكُلَ مِنْها بالمَعروفِ، ويُطْعِمَ غيرَ مُتَمَوِّلٍ قالَ: فَحَدَّثْتُ به ابْنَ سِيرِينَ، فقالَ: غيرَ مُتَأَثِّلٍ مالًا.

”Umar bin Al Khatthab radhiyallahu ‘anhu mendapat bagian lahan di Khaibar, lalu dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta pendapat beliau tentang tanah lahan tersebut dengan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar, di mana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka, apa yang engkau perintahkan tentang tanah tersebut?’ Maka, beliau bersabda, ‘Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya, lalu kamu dapat bersedekah dengan (hasil buah)nya.’ Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Maka, ‘Umar menyedekahkannya, di mana tidak dijualnya, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan. Namun, dia menyedekahkannya untuk para fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, fisabilillah, ibnu sabil, dan untuk menjamu tamu. Dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang makruf (benar) dan untuk memberi makan orang lain bukan bermaksud menimbunnya.” Perawi berkata, “Kemudian, aku ceritakan hadis ini kepada Ibnu Sirin, maka dia berkata, ‘Ghairu muta’atstsal malan artinya tidak mengambil harta anak yatim untuk menggabungkannya dengan hartanya.’” (HR. Bukhari no. 2737 dan Muslim no. 1632).

Kisah wakaf Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu

Tsumamah bin Hazn Al-Qusyairi bercerita,

“Aku sedang berada di dalam rumah saat Utsman menampakkan kemuliaannya kepada para sahabat. Ia berkata, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan tidak ada padanya air segar selain sumur Rumah (nama sumur), kemudian beliau bersabda,

من يشتري بئرَ رومةَ فيجعلُ فيها دلوَه معَ دلاءِ المسلمينَ بخيرٍ لَه منها في الجنَّةِ

‘Barangsiapa membeli sumur Rumah kemudian meletakkan padanya embernya bersama dengan ember orang-orang muslim dengan kebaikan darinya, maka ia akan berada dalam surga.’

Lalu, aku membelinya dari hartaku secara murni. Kemudian, aku meletakkan padanya emberku dari ember orang-orang Muslim, dan kalian melarangku minum darinya hingga aku minum dari air laut?’ Mereka mengatakan, ‘Ya Allah, benar.’

Utsman berkata kembali, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa aku telah mempersiapkan pasukan Al-‘Usrah dari hartaku?’ Mereka berkata, ‘Ya Allah, benar.’

Utsman berkata lagi, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa masjid telah sesak dengan penghuninya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapakah yang membeli lahan keluarga Fulan kemudian menambahkannya di masjid, ia akan mendapatkan kebaikan di surga?’ Lalu, aku membelinya dari hartaku secara murni, kemudian aku tambahkan di dalam masjid dan kalian melarangku untuk melakukan salat dua rakaat di dalamnya?’ Mereka menjawab, ‘Ya Allah, benar.’

Utsman berkata lagi, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berada di atas bukit Makkah bersama Abu Bakr, Umar, dan aku. Kemudian, gunung itu bergerak sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjejakkan kakinya seraya bersabda, ‘Diamlah, hai bukit! Sesungguhnya di atasmu terdapat seorang nabi, shiddiq, dan dua orang syahid.’ Mereka berkata, ‘Ya Allah, benar.’ Utsman lalu berkata, ‘Allahu akbar! Mereka telah bersaksi demi Tuhan Ka’bah, bahwa aku adalah orang yang syahid.’” (HR. Tirmidzi no. 3703 dan Nasa’i no. 3608)

Utsman bin Affan merupakan teladan yang sempurna dalam hal kedermawanan dan sedekah. Bahkan, wakaf beliau berupa sumur Rumah dan kebun yang ada di samping sumur tersebut masih terus mengalir manfaatnya hingga saat ini. Di mana kebun tersebut saat ini berada di bawah pengelolaan Badan Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, dan hasil manfaatnya diperuntukkan untuk kepentingan pengelolaan Masjid Nabawi.

Subhanallah! Sungguh besar keutamaan yang didapatkan oleh sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, dan sungguh ini merupakan salah satu bukti kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan adanya amalan yang pahalanya tidak akan terputus meskipun pelakunya telah meninggal dunia. Semoga Allah meridai beliau dan para sahabat lainnya.

Wallahu A’lam bish-shawab

Kembali ke bagian 1: Pengertian, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya

Lanjut ke bagian 3: [Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/91240-fikih-wakaf-bag-2-wakaf-pertama-dalam-islam.html
Copyright © 2024 muslim.or.id