Hakikat Hamba Allah

Allah SWT adalah Tuhan pencipta manusia dan seluruh alam semesta. Tidak akan pernah ada alam semesta, manusia, dan kehidupan jika Allah tidak menciptakannya. Tiadalah Allah menciptakan segala di dunia, kecuali memiliki tujuan yang jelas.  Visi penghambaan adalah tujuan utama segala penciptaan di dunia ini.

Karena itu, kedudukan segala makhluk ciptaan Allah adalah sebagai hamba Allah, lebih khusus lagi adalah penciptaan jin dan manusia. Allah telah dengan jelas berfirman dalam surah adz-Dzariyat ayat 56, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

Visi penghambaan sebagai tujuan utama penciptaan manusia setidaknya mengandung empat hikmah. Hal ini bisa ditegaskan melalui firman Allah dalam surah al-Fatihah ayat 5, “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”.

Istilah na’budu diambil dari kata ‘ibaadat yang memiliki makna kepatuhan dan ketundukan, yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya. Sementara istilah nasta’iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti’aanah, yang maknanya mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan, yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

Hikmah pertama dari surah al-Fatihah ayat 5 adalah sebuah penegasan hanya Allahlah yang wajib disembah oleh manusia dan haram menyembah selain kepada Allah. Menjadikan selain Allah sebagai tuhan yang disembah adalah bentuk kemaksiatan besar yang disebuat sebagai perilaku musyrik. Begitu juga, hanya kepada Allah-lah seharusnya manusia meminta pertolongan. Dengan kata lain, Allahlah Tuhan Yang Maha Penolong, bukan yang lain.

Hikmah kedua dari surah al-Fatihah ayat 5 adalah bahwa kata na`budu bermakna kewajiban dan nasta`in bermakna hak. Artinya, kewajiban yang terlebih dahulu dilakukan baru akan mendapatkan haknya. Islam tidaklah mengajarkan tuntutan atas hak sebelum menjalankan kewajiban. Manusia berkewajiban menyembah Allah, setelah itu manusia baru boleh meminta kepada Allah berupa hak pertolongan Allah.

Hikmah ketiga dari surah al-Fatihah ayat 5 adalah keharusan totalitas penyembahan kepada Allah. Dengan menggunakan dhomir nahnu (kami) dalam kata na`budu dan nasta`in memberikan makna bahwa dalam upaya menyembah Allah harus totalitas dari seluruh diri manusia, baik akal, fisik, maupun hatinya. Sebab, dalam shalat kadang-kadang fisiknya hadir di masjid tapi pikirannya hadir di luar masjid. Di sinilah pentingnya shalat dilaksanakan secara khusyuk.

Hikmah keempat dari surah al-Fatihah ayat 5 adalah adanya hukum sebab akibat dalam kehidupan manusia di dunia. Pertolongan Allah akibat yang hanya akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya, yang menjalankan sebab berupa penyembahan kepada Allah. Begitupun, Allah akan menolong hamba-hamba-Nya yang mau menolong agama Allah. Dalam hubungan sebab akibat ini, Allah tegaskan dalam surah Muhammad ayat 7, “Hai orang-orang Mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.

Dengan demikian, predikat hamba Allah adalah saat manusia memurnikan keimanan. Hanya Allah sebagai tujuan ibadah yang dilakukan secara totalitas ketundukan dalam rangka menggapai pertolongan-Nya.

 

REPUBLIKA