Inilah Hari Kasih Sayang dalam Islam

Di kalangan muda mudi, Februari identik dengan bulan cinta dan kasih sayang. Tidak mengherankan mereka bersuka cita menyambutnya, sebab pada tanggal 14 adalah hari kasih sayang yang dikenal dengan hari Valentine atau Valentine’s Day.

Ada beberapa pendapat mengenai sejarah munculnya hari valentine ini. Yang pasti, hari ini diambil dari nama seorang pendeta bernama Santo Valentine yang rela dipenjara karena ia tetap pada pendiriannya menyembah Isa Al-Masih (Yesus) dan menolak untuk menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Karena pengorbanannya itulah sehingga tanggal 14 diresmikan sebagai hari kasih sayang.

Valentine’s Day merupakan budaya masyarakat Barat. Di hari tersebut, khusunya muda mudi, saling bertukar cokelat, kado, dan lainnya sebagai bentuk dan tanda cinta kasih pada pasangannya. Memang tidak selalu pada kekasih atau pacar, bisa diungkapkan ke orangtua, saudara, dan lainnya. Akan tetapi, tetap saja makna utamanya adalah ungkapan cinta pada kekasih. Tak bisa dipungkiri, budaya Barat ini kemudian menular dan menjangkiti masyarakat Timur yang notabene bermayoritaskan Muslim. Tak terkecuali di Indonesia, negara yang 80 persen lebih penduduknya beragama Islam. Padahal ikut latah merayakan Hari Valentine bisa berdampak pada aqidah seorang Muslim.

Yang disayangkan, ketika disampaikan bahwa tradisi ini bukan bagian dari ajaran Islam, mereka mengatakan apakah salah mengungkapkan cinta dan mengucapkan “Happy Valentine’s Day” dengan memberi sepotong cokelat, kado, atau setangkai mawar pada orang yang dikasihi dan cintai pada Hari Valentine? Salahkah meperingati tragedi cinta? Terlebih kita tidak mau dikatakan ketinggalan zaman! Pada akhirnya mereka menganggap bahwa Islam adalah agama yang tidak mengapresiasi cinta, kolot, dan ketinggalan zaman. Benarkah?

Islam Menjunjung Cinta
Islam adalah agama yang menjunjung cinta pada tingkat yang tinggi. Bahkan cinta menjadi pondasi dan dasar keimanan seseorang. Sabda Nabi, “Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”  Begitu pula ketika seseorang datang kepada Nabi Muhammad melaporkan bahwa ia mencintai seorang saudaranya tapi ia belum mengungkapkannya. Maka Nabi pun menyuruhnya agar mengatakan kepada saudaranya itu bahwa ia mencitainya. Demikian Sang qudwah mengajarkan kita. Islam juga menganjurkan umatnya untuk saling memberi hadiah agar rasa cinta dalam hati tumbuh dan berkembang. Tidak mengenal waktu, kapanpun cinta boleh diungkapkan.

Ketika pertama kali tiba di Madinah, dalam peristiwa hijrah, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, terlebih dahulu mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dari Mekah dan orang-orang Anshar yang merupakan penduduk asli Madinah. Meskipun mereka tidak terikat hubungan darah, tapi iman dan Islamlah yang membuat mereka bersaudara. Begitu kuatnya cinta di antara mereka hingga Sa’ad bin Rabi’ dari kalangan Anshar berkata kepada saudaranya dari kalangan Muhajirin, Abdurrahman bin ‘Auf, “Ambillah separuh hartaku. Aku juga mempunyai dua istri. Maka pilihlah yang engkau mau, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya telah habis, maka kawinilah ia!” Masya Allah. Bisa dikatakan, hari dipersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar inilah hari kasih sayang yang sesungguhnya. Cinta Sa’ad yang sangat besar pada saudaranya hingga menawarkan salah seorang dari istrinya. Hal yang sangat sulit dilakukan oleh siapapun juga. Tapi, itulah cinta dan kasih sayang yang sangat besar pada saudaranya karena Allah.

Bahkan mereka lebih mempedulikan kondisi saudara mereka ketimbang diri mereka sendiri. Allah sebutkan dalam Alqur’an: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9). Demikian Islam mengajarkan cinta dan kasih sayang.

Islam sangat memahami cinta. Karena itu Islam menganjurkan pernikahan. Bahkan hingga level  emergency atau wajib bagi yang sudah mampu. Itu adalah fitrah dan Islam tidaklah bertentangan dengan fitrah manusia. Ia bukanlah ajaran yang mengharamkan cinta dalam bingkai pernikahan seperti kependetaan dalam kekristenan.

Islam Punya Identitas Sendiri
Berkaitan dengan hari Valentine, Islam jelas tidak membolehkan penganutnya untuk merayakan hari tersebut. Islam sebagai sebuah agama dan peradaban, sangat tidak menginginkan umatnya meniru budaya buruk yang lahir dari luar, dalam hal ini adalah Barat. Seharusnya Islamlah yang memberi contoh dan menjadi teladan bagi budaya lain. Ketika kiblat umat Islam masih menghadap ke Baitul Maqdis yang juga merupakan kiblat umat Yahudi, Nabi Muhammad selalu berdoa kepada Allah agar umat Islam memiliki kiblat sendiri. Allah lalu mengabulkannya dan memindahkan kiblat ke Masjidil Haram di Mekah.

Juga pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan hari Asyura, Rasulullah memerintahkan umat Islam berpuasa pada tanggal 9 atau 11 Muharram, hal itu dilakukan tidak lain agar umat Islam berbeda dengan umat Yahudi yang juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram sebagai rasa syukur diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah. Demikian pula ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallammelihat orang-orang Madinah bermain dan bersuka ria pada dua hari yang dahulu di masa jahiliyah mereka juga bersuka cita di dua hari itu. Melihat hal tersebut, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (HR. Abu Dawud)

Sikap Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas adalah perlawanan terhadap tradisi dan budaya orang-orang di luar islam. Ia menginginkan umat Islam memiliki identitas dan budaya sendiri, tidak ikut latah dan mengekor pada umat lain yang memiliki nilai berbenturan dengan nilai Islam. Dan yang terpenting adalah sabda Nabi yang sangat terkenal, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia menjadi bagian dari mereka.” Hal ini merupakan peringatan bagi mereka yang suka mengikuti dan menyerupai kaum lain. Cukuplah Islam sebagai identitas dan budaya kita, lalu katakan ‘tidak’ untuk valentine’s day!

Oleh Ustadz Mahardy Purnama

10 Ramadan: Hari Kasih Sayang

Umat Islam berada di puncak kekuatan. Bersama 10 ribu pasukan, Rasulullah Muhammad saw. berbondong-bondong menuju kota Mekkah.

Sudah delapan tahun Rasulullah meninggalkan kota kelahirannya itu demi menghindari kejaran kafir Quraisy dan menghimpun kekuatan di Madinah. Kini, kondisi telah berbalik. Jumlah pengikut Nabi jauh lebih banyak ketimbang lawan.

Mendengar kabar kedatangan rombongan, masyarakat Quraisy gentar. Selain kekuatan yang sudah tak lagi imbang, mereka juga digelayuti perasaan takut dan sesal.

Masyarakat Quraisy berpikir, para pemeluk Islam yang dulu pernah dianiayanya itu akan menuntut balas. Yang terluka akan membalas melukai, yang dirampas, akan mengambil hartanya kembali.

Kengerian itu kian menjadi, ketika salah satu dari rombongan, Saad ibn Ubadah berteriak dari gerbang Tanah Haram, “Al yaum, yaum al malhamah! (Hari ini, hari pembalasan).”

Penduduk Mekkah panik, mereka berlarian mengunci pintu-pintu rumah. Sementara salah satu petinggi mereka, Abu Sufyan, dengan perasaan nekat menghampiri Nabi dan rombongan.

“Akankah engkau menuntut balas kepada saudara-saudaramu, Ya Muhammad,” tanya Abu Sufyan kepada Nabi, memelas.

Para sahabat di sekeliling Rasulullah geram. Betapa mereka ingat kezaliman yang dilakukan Abu Sufyan, Abu Lahab, dan para petinggi Quraisy lainnya ketika mereka diketahui telah masuk Islam.

Sebagian dari keluarga mereka disiksa hingga meninggal dunia, harta bendanya disita, serta yang masih bisa bertahan diusir ke luar kota Mekkah.

Akan tetapi, Nabi mengajarkan Islam bukan sebagai agama balas dendam. Namun, sebagai agama kasih sayang.

Rasulullah bersabda, “Inna hadza al yaum laisa yaum al malhamah, walakinna hadza al yaum yaum al marhamah! (Sesungguhnya hari ini bukanlah hari pembantaian, melainkan hari kasih sayang).

Rasulullah pun mencampakkan Abu Sufyan dan meminta para sahabat untuk tidak menyakiti dan merusak apa pun. Nabi bergerak ke arah kakbah, mengeluarkan berhala-berhala dan menghancurkannya. Bilal ibn Rabbah diperintah mengumandangkan azan, salat jamaah dilaksanakan.

Begitulah saat Islam membebaskan kota Mekkah pada 10 Ramadhan 8 H. Hari yang dikenal dengan Fathu Makkah itu, menjelma sebabak penaklukkan dengan tanpa sedikit pun ada kekerasan, kezaliman, dan pertumpahan darah.

Sumber: Disarikan dari Nurul Yaqin Fi Sirati Sayyidil Mursalin karya Syeikh Muhammad ibn Afifi Al Khudari Al Bajuri

METROTVNEWS