Separuh dari iman adalah sabar. Separuh lainnya adalah syukur.
Sabar itu mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Sabar mendidik anak, misalkan, tidaklah mudah. Orang tua harus menahan amarah dan merelakan waktu untuk mendidik si buah hati.
Saat berbisnis, si penjual sudah bersungguh-sungguh memenuhi permintaan konsumen yang nilainya miliaran rupiah. Tapi, si konsumen melarikan diri. Di sini si penjual harus bersabar menanggung rugi.
Saat menderita sakit, seseorang harus menahan diri merasakan sakit. Ini perih rasanya, bahkan terkadang si penderita harus meneteskan air mata saking tak kuasa menahan derita yang dihadapi.
Allah memerintahkan kita untuk bersabar seperti yang dicontohkan para Rasul Ulul Azmi
فَٱصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْعَزْمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِل لَّهُمْ
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka (al-Ahqaf: 35).
Di antara Rasulullah yang mempunyai keteguhan hati adalah Nabi Ayyub. Saat didera penyakit, seseorang berkata kepadanya bahwa status sebagai nabi pasti memudahkan doanya dikabulkan. Karena itu, minta saja kepada Allah agar penyakit itu diangkat.
Tetapi, Nabi Ayyub menahan diri karena hatinya meyakini, bukan itu cara atau jalan untuk melalui musibah yang dihadapi. Lalu, apa jalannya? Tiada lain adalah dengan sabar. Menahan derita akibat penyakit sekuat mungkin.
Nabi Ibrahim yang hidup ribuan tahun Sebelum Masehi adalah teladan sabar yang luar biasa. Dalam keteguhannya beriman kepada Allah, dia diikat dan dibakar hidup-hidup oleh penguasa zalim bernama Raja Namrud (Nimrod). Tapi, Nabi Ibrahim bersabar, tidak melawan kezaliman itu, hingga akhirnya Allah memerintahkan api yang panas menjadi dingin dan menyelamatkan sang khalilullah (al-Anbiya: 69).
Kedudukan sabar sangatlah mulia. Al-Ghazali menjelaskan tentang iman sebagai berikut:
اِعْلَمْ اَنَّ الْاِيْمَانَ نِصْفَانِ: نِصْفُ الصَّبْر وَ نِصْفُ الشُّكْرِ
Artinya, ketahuilah bahwa iman itu terbagi dua. Separuh pertama adalah sabar. Sisanya adalah syukur (Kitab Mukhtashar Ihya Ulumiddin).
Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan kedudukan sabar sebagai permata dari banyak permata yang berlimpah di surga (kanzun min kunuzil jannah).
Al-Ghazali menjelaskan, kebaikan agama itu terdapat dalam sabar (al-mashlahah ad-diniyah fi shabr). Ini berarti ada banyak kemuliaan dalam sabar. Mereka yang menahan diri alias bersabar berarti menyimpan permata dan kebaikan agama, sesuatu yang luar biasa berharga.
Sabar dalam beribadah adalah mengetahui dirinya tidak lama (hidup) sehingga selalu terdorong untuk berzikir dan beribadah. Kemudian, menahan diri untuk tidak memamerkannya kepada orang lain.
Sabar dalam beribadah adalah mengetahui dirinya tidak lama (hidup) sehingga selalu terdorong untuk berzikir dan beribadah.
Al-Ghazali melanjutkan, salah satu kondisi yang mengharuskan orang bersabar adalah saat dijahati orang lain dengan perkataan atau perbuatan. Jika mengalami keadaan demikian, janganlah berpikiran untuk membalas perbuatan tersebut, melainkan tahanlah diri, disertai berserah diri kepada Allah (tawakal) dengan sepenuh hati.
Agar kuat bersabar, ingatlah pada janji Allah sebagaimana yang tertulis dalam Alquran. Sabar mendorong orang untuk beribadah dalam berbagai kesempatan. Lisannya mengagungkan asma Allah dan bershalawat. Hatinya menyebut Allah. Waktu senggang diisi dengan zikrullah. Dengan begitu, batin menjadi tenang, terbebas dari dendam dan amarah.
Dalam Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin, al-Ghazali menjelaskan, buah sabar adalah pekerjaan menjadi mudah diselesaikan, rintangan menjadi mudah dihadapi, dan hambatan berganti menjadi kelancaran.
Sabar akan menghadirkan optimisme di tengah tragedi yang dihadapi, dan kebahagiaan berada di dekat Allah. Semoga kita menjadi penyabar seperti para salafus salih.
OLEH ERDY NASRUL