Apa Hasil Bersabar?

Separuh dari iman adalah sabar. Separuh lainnya adalah syukur.

Sabar itu mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Sabar mendidik anak, misalkan, tidaklah mudah. Orang tua harus menahan amarah dan merelakan waktu untuk mendidik si buah  hati. 

Saat berbisnis, si penjual sudah bersungguh-sungguh memenuhi permintaan konsumen yang nilainya miliaran rupiah. Tapi, si konsumen melarikan diri. Di sini si penjual harus bersabar menanggung rugi.

Saat menderita sakit, seseorang harus menahan diri merasakan  sakit. Ini perih rasanya, bahkan terkadang si penderita harus meneteskan air mata saking tak kuasa menahan derita yang dihadapi.

Allah memerintahkan kita untuk bersabar seperti yang dicontohkan para Rasul Ulul Azmi

فَٱصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْعَزْمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِل لَّهُمْ

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka (al-Ahqaf: 35).

Di antara Rasulullah yang mempunyai keteguhan hati adalah Nabi Ayyub. Saat didera penyakit, seseorang berkata kepadanya bahwa status sebagai nabi pasti memudahkan doanya dikabulkan. Karena itu, minta saja kepada Allah agar penyakit itu diangkat.

Tetapi, Nabi Ayyub menahan diri karena hatinya meyakini, bukan itu cara atau jalan untuk melalui musibah yang dihadapi. Lalu, apa jalannya? Tiada lain adalah dengan sabar. Menahan derita akibat penyakit sekuat mungkin.

Nabi Ibrahim yang hidup ribuan tahun Sebelum Masehi adalah teladan sabar yang luar biasa. Dalam keteguhannya beriman kepada Allah, dia diikat dan dibakar hidup-hidup oleh penguasa zalim bernama Raja Namrud (Nimrod). Tapi, Nabi Ibrahim bersabar, tidak melawan kezaliman itu, hingga akhirnya Allah memerintahkan api yang panas menjadi dingin dan menyelamatkan sang khalilullah (al-Anbiya: 69).

Kedudukan sabar sangatlah mulia. Al-Ghazali menjelaskan tentang iman sebagai berikut:

اِعْلَمْ اَنَّ الْاِيْمَانَ نِصْفَانِ: نِصْفُ الصَّبْر وَ نِصْفُ الشُّكْرِ

Artinya, ketahuilah bahwa iman itu terbagi dua. Separuh pertama adalah sabar. Sisanya adalah syukur (Kitab Mukhtashar Ihya Ulumiddin).

Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan kedudukan sabar sebagai permata dari banyak permata yang berlimpah di surga (kanzun min kunuzil jannah).

Al-Ghazali menjelaskan, kebaikan agama itu terdapat dalam sabar (al-mashlahah ad-diniyah fi shabr). Ini berarti ada banyak kemuliaan dalam sabar. Mereka yang menahan diri alias bersabar berarti menyimpan permata dan kebaikan agama, sesuatu yang luar biasa berharga.

Sabar dalam beribadah adalah mengetahui dirinya tidak lama (hidup) sehingga selalu terdorong untuk berzikir dan beribadah. Kemudian, menahan diri untuk tidak memamerkannya kepada orang lain.

Sabar dalam beribadah adalah mengetahui dirinya tidak lama (hidup) sehingga selalu terdorong untuk berzikir dan beribadah.

Al-Ghazali melanjutkan, salah satu kondisi yang mengharuskan orang bersabar adalah saat dijahati orang lain dengan perkataan atau perbuatan. Jika mengalami keadaan demikian, janganlah berpikiran untuk membalas perbuatan tersebut, melainkan tahanlah diri, disertai berserah diri kepada Allah (tawakal) dengan sepenuh hati.

Agar kuat bersabar, ingatlah pada janji Allah sebagaimana yang tertulis dalam Alquran. Sabar mendorong orang untuk beribadah dalam berbagai kesempatan. Lisannya mengagungkan asma Allah dan bershalawat. Hatinya menyebut Allah. Waktu senggang diisi dengan zikrullah. Dengan begitu, batin menjadi tenang, terbebas dari dendam dan amarah.

Dalam Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin, al-Ghazali menjelaskan, buah sabar adalah pekerjaan menjadi mudah diselesaikan, rintangan menjadi mudah dihadapi, dan hambatan berganti menjadi kelancaran.

Sabar akan menghadirkan optimisme di tengah tragedi yang dihadapi, dan kebahagiaan berada di dekat Allah. Semoga kita menjadi penyabar seperti para salafus salih.

OLEH ERDY NASRUL

KHAZANAH REPUBLIKA

Bersabar, Resep Bagi yang Tertimpa Musibah

Buah kesabaran adalah keberhasilan.

Setiap orang pernah tertimpa musibah selama hidupnya sebagai batu uji kesabarannya. Menurut Aidh bin Abdullah al-Qarni, musibah di dunia terbagi menjadi dua bagian.

“Satu bagian ada jalan keluarnya, maka cara mengobatinya adalah dengan berusaha mengatasinya, dan bagian yang lain tidak ada jalan untuk menyelesaikannya, maka obatnya adalah bersabar,” kata Aidh bin Abdullah al-Qarni dalam bukunya La Tahzan, Jangan Bersedih.

Dahulu, kata Aidh, ada seorang yang bijak mengatakan untuk menyelesaikan suatu masalah yang tidak ada jalan keluarnya adalah dengan bersabar. Barangsiapa yang selalu sabar pasti akan mendapatkan keberhasilan. 

Salah satu peribahasa mengatakan: “Sabar adalah kunci keberhasilan. Barangsiapa yang sabar, maka akan mampu mengatasi permasalahan. Buah kesabaran adalah keberhasilan, saat musibah memuncak, pasti akan datang kebahagiaan,” katanya.

Aidh menyarankan waspadalah terhadap bahaya yang muncul dari celah-celah kesenangan dan harapkanlah memperoleh manfaat dari adanya larangan. Inginkanlah kehidupan dengan memohon kematian, karena sering terjadi usia panjang penyebabnya karena memohon kematian dan sering terjadi kematian penyebabnya karena lebih memilih usia panjang. 

“Keamanan itu kebanyakan datang dari arah yang menakutkan,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Pandemi: Kepastian Janji Allah dan Ujian bagi Orang-Orang Sabar

Ajaran Islam yang paripurna telah mengakomodir seluruh lini kehidupan untuk menjadi pedoman dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidak terkecuali dengan kondisi umat manusia dewasa ini yang sedang dihadapkan dengan sebuah musibah besar yang bernama Covid-19.

Sudah satu tahun lebih pandemi ini membersamai kehidupan manusia. Wabah yang kemudian menjelma menjadi musibah yang sangat berat bagi sebagian besar manusia. Dua aspek pokok kehidupan yang paling terkena imbas covid-19 adalah kesehatan dan perekonomian. Seluruh dunia saat ini fokus untuk memperbaiki kondisi kesehatan dengan melakukan berbagai ikhtiar agar terhindar dari virus serta melakukan berbagai upaya agar kondisi perekonomian kembali stabil.

Sebab, kesehatan dan perekonomian bisa menjadi washilah menuju kematian. Orang yang tidak menjaga kesehatan dan orang yang tidak mendapatkan jalan untuk bertahan hidup di tengah-tengah kesulitan ekonomi masa pandemi ini juga rentan terhadap kematian baik yang disebabkan oleh penyakit maupun akibat kelaparan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah : 155)

Dalam tafsir As-Sa’di dijelaskan bahwa musibah/cobaan telah menjadi keharusan untuk ditimpakan kepada manusia untuk diuji dan memperjelas beda antara orang-orang yang benar dan orang yang berdusta serta antara orang yang sabar dan orang kufur.

Apabila kita telisik lebih rinci bentuk-bentuk musibah tersebut. Maka dapat kita simpulkan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi ujian bagi manusia, yaitu: ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa, serta kekurangan buah-buahan. Berbagai ujian tersebut saat ini sedang kita hadapi bersama. Bagaimana cara kita menyikapi berbagai cobaan itu kemudian yang akan menjadi ukuran kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala.

Ujian Ketakutan dan Kematian

Banyak informasi yang kita dengar tentang perkembangan Covid-19 melalui berbagai sumber media. Umumnya kita ketahui bahwa varian virus yang bermutasi semakin cepat dan lebih menular. Maka berbagai perilaku manusia pun ikut berubah menyesuaikan dengan dinamisnya perkembangan virus mulai dari pengetatan protokol kesehatan, pembatasan kegiatan masyarakat, hingga penggunaan double mask yang kini menjadi tren.

Mari sejenak kita renungkan, bukankah kondisi demikian menjadi bukti bahwa manusia saat ini sedang dalam ketakutan? Apakah yang ditakuti sebenarnya?

Tentu saja, kematian. Kekurangan jiwa pada ayat di atas juga dimaknai sebagai hilangnya jutaan nyawa akibat dari Covid-19. Upaya dilakukan oleh manusia agar terhindar dari serangan virus yang mematikan itu merupakan hal yang wajar dan memang kita dianjurkan untuk melakukannya. Namun, tentu saja jika upaya yang dilakukan dengan niat untuk menghindar dari kematian adalah hal yang keliru. Sebab kematian merupakan sesuatu yang pasti. Allah Ta’ala telah menegaskan tentang kematian dalam firman-Nya,

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. An-Nisa : 78)

Artinya bahwa dalam kondisi apapun tetap saja kematian menjadi hal yang niscaya bagi umat manusia. Namun, segala ikhtiar untuk menggapai suatu akhir kehidupan yang husnul khotimah sudah barang tentu menjadi inti doa orang-orang yang beriman.

Meletakkan rasa takut di kala musibah yang sedang menimpa semestinya dikuatkan dengan keyakinan bahwa Allah sedang memberikan ujian kepada manusia melalui pandemi ini. Ketakutan yang kita rasakan kiranya merupakan manifestasi dari kekhawatiran akan pahala amal ibadah kita yang masih kurang, sedangkan dosa dan kemaksiatan kita banyak sehingga bekal untuk menghadapi kematian amatlah sedikit.

Oleh karenanya, ketakutan dan kekhawatiran terhadap pandemi kini kiranya dapat membawa kita untuk lebih dekat dengan Allah Ta’ala. Sebab, dalam keadaan yang serba kritis ini, notifikasi kematian dari orang-orang yang kita kenal semakin intens yang semestinya menggerakkan jiwa dan raga ini untuk lebih taat kepada-Nya.

Kelaparan, Kekurangan Harta dan Jiwa

Kondisi pandemi ternyata juga memberikan dampak terhadap hilangnya banyak lapangan pekerjaan. Para pekerja yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kerja serta merta mendapati perputaran roda perekonomian semakin perlahan bahkan ada yang terhenti. Ancaman kelaparan pun menjadi permasalahan baru sebab sumber-sumber ekonomi semakin sulit untuk dicari. Maka, statistik angka kemiskinan di berbagai belahan bumi pun menanjak naik yang dibarengi pula dengan semakin bertambahnya masyarakat miskin sebab pandemi.

Oleh karenanya, tidak jarang kita melihat bendera putih di beberapa rumah sengaja diletakkan di depan halaman pertanda bahwa ahlul bait di dalamnya sedang mengalami permasalahan serius yang berkaitan dengan pangan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS. an-Nahl : 112)

Ayat yang agung ini sangatlah bermakna. Maha Benar Allah, bukankah sebelumnya kita merasakan aman dan tenteram?. Tetapi, tiba-tiba kita menghadapi suatu cobaan kelaparan dan ketakutan melalui musibah wabah yang mematikan yang bahkan hingga saat ini pun kita belum berada pada titik aman. Allah menegaskan alasannya, tiada lain adalah sebab kekufuran kita terhadap nikmat-nikmat Allah Taala dengan kalimat فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ .

Hikmah Mulia di Balik Musibah

Manusia memang cenderung dekat dengan kesalahan dan kekhilafan. Sebagaimana janji Iblis yang senantiasa menggoda manusia hingga hari kiamat.

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS, Al-A’râf:16-17)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”. (HR. Ahmad (III/198); at-Tirmidzi (no. 2499); Ibnu Majah (no. 4251) dan al-Hakim (IV/244)).

Maka dengan ke-Mahamurahan-Nya, Allah Ta’ala memberikan kepada kita kesempatan untuk mendapatkan pahala yang besar dan ampunan yang melimpah dari-Nya. Di antara cara Allah dalam memberikan pahala dan ampunan tersebut kepada hamba-Nya adalah diberikannya ujian yang berat. Ujian tersebut pula menjadi pertanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Oleh karenanya, kesabaran dalam menghadapi setiap musibah dan ujian yang melanda merupakan ikhtiar untuk mendapatkan rida Allah. Sedangkan orang yang tidak sabar dan tidak rida terhadap ketetapan Allah dalam musibah ini, Allah pun akan murka kepadanya. Naudzubillah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang rida, maka ia yang akan meraih rida Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, dihasankan oleh Syekh Al-Albani).

Ujung dari pada memahami hakikat musibah pandemi covid-19 ini tiada lain adalah kesabaran. Sabar pula yang dapat menuntun kita agar mendapatkan rida dan ampunan dari Allah Ta’ala. Oleh karenanya, sangat penting bagi kita untuk mengetahui cara bagaimana agar kita dapat mengaplikasikan kesabaran dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam menghadapi wabah ini.

Berkaitan dengan kesabaran, Imam al-Ghazali rahimahullah pernah berkata,

والصبر على اوجه صبر على طاعة الله وصبر على محارمه وصبر على المصيبة

Sabar terdiri dari beberapa bagian, yaitu (1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, (2) sabar dalam menjahui larangan-larangan Allah,  (3) sabar dalam menerima musibah. (Mukasyafatul Qulub Hlm 10).

Sabar dalam Melakukan Ketaatan kepada Allah

Umumnya pengertian terhadap sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah mengandung makna bahwa hendaklah kita melaksanakan segala perintah Allah dengan rasa sabar tanpa rasa mengeluh sedikit pun. Akan tetapi, dalam situasi pandemi seperti ini ketika sebelumnya kita sudah mulai merasakan kenikmatan beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat lima waktu secara berjamaah di masjid, menghadiri majelis ilmu dan berbagai ibadah syar’i yang bersifat jamaah serta merta kenikmatan ibadah tersebut dengan berat hari harus kita tinggalkan demi keselamatan jiwa dari keganasan virus. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kondisi dan keadaan yang mengharuskan kita melakukannya. Sebagaimana kaidah,

درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح

Menolak sesuatu yang mendatangkan kerusakan didahulukan atas sesuatu yang mendatangkan manfaat.

Maka level kesabaran kita kiranya lebih ter-upgrade dengan sendirinya. Kita harus bersabar untuk tetap taat kepada Allah Ta’ala dalam kondisi apapun. Ibadah di rumah, mengikuti kajian Islam secara online serta melakukan berbagai amaliah lainnya yang lebih individualistik sesuai dengan anjuran para ulama kita hafidzahumullah.

Sabar dalam Menjahui Larangan-Larangan Allah

Begitu juga kesabaran dalam menjauhi larangan-larangan Allah mengandung makna bahwa dalam keadaan perekonomian yang cukup sulit saat ini. Celah-celah untuk berbuat dosa seperti penipuan, pencurian, perjudian dan berbagai bentuk dosa lainnya tetap saja terbuka lebar. Oleh karenanya, kita dituntut untuk menahan diri dan bersabar tidak melakukan kekeliruan itu semua. Masih banyak cara lain yang halal dan lebih berkah untuk mencari nafkah. Kita harus yakin bahwa kasih sayang Allah Ta’ala terhadap orang yang menjaga kesuciannya amatlah besar, bagaimana mungkin pula Allah menelantarkannya?!

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 37).

Sabar dalam Menerima Musibah

Adapun kesabaran dalam menghadapi musibah dapat kita wujudkan dengan memahami dengan baik bahwa di balik wabah yang Allah timpakan ini, terdapat pahala yang besar dan ampunan yang luas dari Allah kepada kita. Allah Ta’ala memberikan kita kesempatan untuk mendapatkan pahala dan ampunan tersebut tanpa batas. Di sisi lain, dengan memahami bahwa notifikasi kematian dalam pandemi ini adalah hal yang nyata. Kita pun wajib bersyukur karena dengannya akan mendorong diri kita untuk senantiasa instrospeksi dalam meningkatkan perbekalan menuju Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita kekuatan sabar, baik dalam ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya, maupun dalam menjauhi larangan-larangan-Nya, serta kesabaran dalam menghadapi musibah, khususnya pandemi covid-19 yang sedang melanda. Semoga dengan seiring berjalannya waktu, kita semakin dekat dalam ketaatan kepada Allah, sehingga dengannya Allah Ta’ala dengan ke-Mahamurahan-Nya mengakhiri ujian musibah ini. Amin.

Sumber: https://muslim.or.id/67693-pandemi-kepastian-janji-allah-dan-ujian-bagi-orang-orang-sabar.html

Nasihat Sabar Syekh Nawawi Al Bantani untuk Hadapi Corona

Syekh Nawawi menegaskan pentingnya bersabar hadapi musibah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang kini terjangkit virus Corona arau Covid-19.  

Tentu sangat berat bagi orang yang terjangkit virus membahayakan ini. Namun, mereka hendaknya tetap sabar dalam menghadapi musibah tersebut, karena sabar memiliki banyak keutamaan. 

Dalam kitab Tanqih Al-Qaul, Syekh Nawawi Al Bantani telah menjelaskan hadits-hadits Nabi tentang keutamaan sabar ketika mengalami musibah.   

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bila Allah SWT mencintai seorang hamba, maka Dia mengujinya dengan musibah yang tidak ada obatnya. Bila dia sabar, Allah SWT memilihnya. Dan bila dia rela, Allah SWT menjadikannya sebagai pilihan.”  

Menurut Syekh Nawawi, maksud dari kalimat “Menjadikannya sebagai pilihan” adalah memilih dan mencintainya dengan sepenuh hati. Sedangkan maksud  dari kalimat “Allah SWT mencintai seorang hamba” adalah Allah menghendaki kebaikan kepadanya. 

Sementara, maksud “Musibah yang yang tidak ada obatnya”, yaitu sakit, sedih, atau dalam kesulitan, agar menjadi pembersih dosa.  

Dalam hadits lainnya, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sabar merupakan salah satu wasiat Allah SWT di bumi. Siapa saja yang menjaganya, maka dia selamat. Siapa saja yang menyia-nyiakannya, maka dia binasa.” 

Selain itu, Syekh Nawawi juga mengutip hadits Nabi yang diriwayatkan Baihaqi dari Anas RA. “Allah SWT berfirman, “Siapa saja yang tidak sabar terhadap keputusan dan takdir-Ku, maka hendaklah mencari tuhan selain Aku.” 

Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Sabar ketika tertimpa musibah dapat memperoleh tujuh ratus derajat.” Sedangkan Ibnu Abbas berkata, “Masa menunggu paling utama adalah sabar ketika tertimpa kesusahan.”

Sementara, dalam hadits yang diriwayatkan Baihaqi dan Qudhai dari Anas disebutkan, “Ibadah paling utama adalah menanti kelapangan dari Allah SWT.”  

Syekh Nawawi menjelaskan, maksud dari hadits tersebut adalah jika seseorang tertimpa musibah, lalu tidak mengeluh dan sabar serta menanti kelapangan, maka itu termasuk ibadah paling utama. Sebab, sabar ketika musibah berarti tunduk terhadap keputusan Allah SWT. 

Syekh Nawawi kemudian mengutip syair dari seorang pujangga:

Bila semua jalan telah buntu 

Maka sabar merupakan jalan penentu

Seberat apapun, jangan putus asa

Dengan sabar, berarti kau menanti jalan keluarnya

Orang sabar meraih kemenangan, itu sangat patut

Orang yang selalu mengetuk, pasti akan masuk

KHAZANAH REPUBLIKA