Jamie Brown, Tinggalkan Hollywood Demi Islam

Hidup dalam tradisi Katolik begitu membekas dalam hati Jaime Brown, wanita asal Kenosha, Wisconsin, Amerika Serikat. Akhir pekan selalu menjadi hari yang dikhususkan untuk ibadah. Dia dan keluarga ketika itu pasti akan mendatangi gereja.

Ritual itu terus dijalaninya hingga dewasa. Keyakinannya terhadap ajaran tersebut memenuhi relung hati. Semakin hari semakin dewasa, Brown semakin antusias mendalami keimanannya.

Dia belajar di sekolah Katolik dan menjadi jemaat Majelis Pertama. Dia juga mengajar di sekolah akhir pekan ketika berusia 20 tahun. Beranjak 20 tahun usianya, dia berdiri di depan murid sekolah dasar setempat mengajarkan agama, mengajak puluhan generasi penerus untuk meyakini apa yang ada di hati Brown.

Setelah lulus SMA, dia menjadi penata rambut. Sekitar usia 29 tahun, Brown memutuskan untuk mencari peruntungan di negara lain. Dia pergi ke Hollywood dan bekerja di sana. Wanita muda itu tak kesulitan mendapat banyak pekerjaan sebagai tata rias dan rambut baik untuk video musik dan iklan.

Karena pekerjaannya, Brown banyak bergaul dengan artis. Gaya hidupnya berubah, menjadi glamor. Hobinya berpesta sepanjang malam. “Ketika itu saya merasa hidup ini penuh dengan kesenangan duniawi,” ujar dia.

Meski sering berpesta di malam hari, Brown masih membatasi dirinya dengan beribadah. Pemahaman keagamaan yang tertanam sejak kecil ternyata tetap menyinari pemikiran, membatasi dirinya agar tidak berlebihan. Gereja tetap menjadi tempat singgahnya di akhir pekan, waktu yang khusus dimanfaatkannya untuk berdoa.

Namun semakin dewasa semakin mendalami ajaran tersebut, dia justru semakin ragu dengan agamanya. Dia mengaku hanya meyakini agamanya sekitar 92 persen. Sisanya adalah keraguan yang terus-menerus merapuhkan keimanan yang dibangun nya sejak kecil.

Ketika bertanya mengenai logika doktrin tersebut, seorang pendeta hanya memerintahkannya untuk lebih banyak membaca Alkitab. “Saya selalu mencari sesuatu yang berdasarkan keimanan tetapi logis.Sebuah bukti bukan cerita manis. Saya juga tidak ingin misteri,” tutur dia menceritakan isi hatinya.

Keyakinannya berubah saat rekannya di TV Los Angeles memberikan Alquran. Setelah membaca kitab yang diturunkan kepada Rasulullah itu dia merasa lebih tenang. Wahyu di dalamnya lebih rasional daripada Alkitab. Menurut Brown, segala hal yang selama ini dia tanyakan, ternyata jawabannya ada dalam Alquran.

Setelah membaca Alquran, Brown mendatangi sebuah masjid untuk bertanya lebih dalam. Ketika itu dia berbusana ala California: mengenakan celana jins sobek dan kaos berkerah. Meski berpakaian demikian, jamaah masjid tetap menyambutnya.

Dia merasa senang setelah masuk ke dalam masjid. Imam masjid di sana sangat ramah dan memberikannya Alquran yang lebih tebal. Selama tinggal di Hollywood dia merasa kota itu tidak cocok untuk mendalami agama. Selama dua setengah tahun berada di sana dia merasa itu waktu yang sangat lama.

Selama tinggal di sana, gaya hidup membuatnya semakin bodoh. Kehidupan terasa tak bermakna. Hidup glamor penuh pesta bukan yang diharapkan. Ada makna yang jauh lebih dalam dari itu: makna batin yang jika dipenuhi akan mengha dirkan ketenangan: menghadirkan senyuman.

Brown memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan teman-temannya yang sekarang. Dia juga memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan yang selama ini dia tekuni.

Setelah berhenti bekerja, dia memutuskan untuk hijrah memeluk Islam. Dia ingin bersyahadat di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Saat itu juga Brown membeli tiket ke Maroko. Sebelum pergi dia menjual semua pakaian, tas, sepa tu dan perabotan rumahnya di garage sale Sunset Boulevard kemudian pindah ke Maroko. Tiba di sana, Brown langsung mengenakan jilbab.

Ketika itu, dia menjalani kehidupan sebagai imigran. Dia mulai menjelajah dan menetap sebagai wisatawan dan beribadah di rumah. Tak lama, dia bertekad untuk secara resmi mengucapkan dua kalimat syahadat. Masjid Hassan II di Casablanca menjadi tujuannya. Secara resmi di sana dia mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Meskipun tidak lancar berbahasa arab, dia harus mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasa tersebut. “Saya tidak ingin mengatakannya dengan salah. Saya bersuara kecil dan bergetar saat me ngucapkannya,”jelas dia.

Setelah menjadi mualaf, Brown berteman dengan keluarga sekitar Maroko. Dari keluarga itu, Brown banyak menimba ilmu dan pengalaman mengenai Islam. Kini mereka sering mengundang Brown untuk tinggal bersama ketika Ramadhan.

Setelah beberapa tahun bersama mereka, akhirnya Brown menikah dengan seorang laki-laki dari keluarga tersebut.Buah cinta mereka adalah dua orang anak yang lucu. Setelah lima tahun di Maroko me reka memutuskan untuk kembali ke Kenosha pada September 2015. Dia tak ragu untuk kembali ke kampung halamannya.

 

REPUBLIKA