Hukum Dipaksa Murtad dalam Kajian Islam

Dalam beberapa kasus ada saja orang yang dipaksa murtad. Lantas bagaimana hukum dipaksa murtad dalam kajian Islam? Simak penjelasan berikut ini.

Di antara perbuatan, tindakan, dan keyakinan yang harus benar-benar dijaga oleh umat Islam adalah setiap hal-hal yang bisa berakibat pada murtad, atau suatu perbuatan yang bisa menjadi penyebab keluar dari ajaran Islam.

Murtad sendiri terbagi menjadi tiga bagian, pertama, murtad fi’liyah (pekerjaan), seperti menyembah pada patung, barhala, matahari, dan makhluk yang lainnya selain Allah.

Kedua, murtad qauliyah (ucapan), seperti mengatakan pada umat Islam dengan sebutan “Kamu Kafir”, atau mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak memiliki kandungan apa-apa, dan setiap ucapan yang meremehkan pada ajaran Islam;

Ketiga, murtad I’tiqadiyah (keyakinan), seperti meragukan keberadaan Allah dan meragukan adanya hari kiamat, surga, neraka, siksa kubur dan lainnya, menghalalkan zina, minum khamr membolehkan tidak mengerjakan zakat dan yang lainnya.

Orang-orang yang melakukan salah satu dari tiga bagian di atas, ia dikategorikan sebagai orang yang murtad. Oleh karenanya, ia harus segera bertaubat dan kembali pada ajaran Islam dengan cara mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika tidak, maka semua amal baik yang ia lakukan akan hilang pahalanya secara perlahan.

Namun demikian, fenomena yang sering terjadi seperti saat ini adalah banyak umat Islam yang dipaksa untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan atau dipaksa mengucapkan ucapan yang bisa menjadi penyebab murtad. Nah, apakah orang yang dipaksa seperti dalam contoh ini bisa dikategorikan sebagai orang yang keluar dari ajaran Islam? Mari kita bahas

Hukum Murtad Karena Dipaksa

Murtad karena dipaksa tidak bisa menjadi penyebab orang tersebut keluar dari ajaran Islam. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Quran, Allah swt berfirman:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nahl [16]: 106).

Berdasarkan ayat ini, para ulama ahli tafsir kemudian menyimpulkan bahwa orang yang dipaksa mengerjakan perbuatan-perbuatan kafir agar menjadi murtad, baik dengan cara ucapan atau perbuatan, maka orang tersebut tidak-lah murtad. Ia tetap ada dalam ajaran Islam, karena keimanan adalah dalam hati, bukan sebatas anggota badan saja,

فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ الْإِيْمَانَ هُوَ التَّصْدِيْقُ بِالْقَلْبِ

“Ini menjadi sebuah dalil, bahwa keimanan itu adalah percaya (membenarkan) dengan hati (bukan sebatas ucapan saja).” (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Qidati wa asy-Syari’ati wa al-Manhaji, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XIV, halaman 239).

Dengan demikian, orang-orang Islam yang yang mengerjakan perbuatan murtad karena dipaksa hukumnya boleh-boleh saja, dan statusnya tetap sebagai orang Islam, sebagaimana penjelasan Imam al-Mawardi dalam kitabnya, ia mengatakan,

وَإِذَا أُكْرِهَ الْمُسْلِمُ عَلَى كَلِمَةِ الْكُفْرِ حُكْمُهُ لَمْ يَصِرْ بِهَا كَافِرًا، وَكَانَ عَلَى إِسْلَامِهِ بَاقِيًا

“Jika seorang muslim dipaksa untuk mengucapkan ucapan kafir, maka ia tidak lantas menjadi kafir (murtad), dan ia tetap-lah sebagai umat Islam.” (Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz XIII, halaman 950).
Demikian penjelasan seputar hukum orang-orang yang dipaksa murtad perspektif ajaran Islam. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH