Hukum Golput dalam Islam

Berikut artikel tentang hukum golput dalam syariat Islam. Pesta demokrasi rakyat Indonesia melalui pilkada serentak 2018 akan bergulir pada rabu 27 Juni. Mulai pukul 7.00 s.d 13.00 di berbagai TPS di daerah masing-masing.

Tentunya tidak hanya pihak panitian pemilu atau kandidat dan para tim suksesnya, melainkan rakyatpun pasti sudah matang-matang memikirkan untuk menentukan pilihannya.

Pada setiap pilkada maupun pemilu, masih banyak kejadian-kejadian yang menyimpang dari aturan baku. Seperti tindak money politik atau tindak golput. Mengenai tindak Golput, istilah singkatan dari golongan putih atau disederhanakan menjadi pemilih abu-abu.

Artinya, mereka tidak menentukan sikap ketika jadwal pencoblosan berlangsung. Mereka enggan memilih salah satu diantara para kandidat kepada daerah. Tindakan ini terntunya menjadi catatan penting yang harus segera ditemukan solusinya agar tidak terulang terus-menerus di setiap waktu pilkada di masa-masa mendatang sampai pada pilpres digelar.

Adapun tindakan golput ini dapat menggugurkan suara dan menciderai proses demokrasi. akibat golput tersebut surat suara menjadi tidak sah atau abstain. Kasus ini, Jika digali lebih dalam, maka tindakan golput memiliki pengertian luas, diantaranya:

Pertama, tidak menentukan pilihan. ini merupakan tindakan yang sia-sia, bagaimana seorang yang datang ke bilik suara (TPS) tanpa mencoblos satu di antara kandidat kepala daerah. bisa juga dia mengosongkan suara suara dan partisipasinya seakan dianggap sebagai formalitas belaka.

Hal ini serupa dengan peristiwa tahkim, di mana sifat aliran qadariyah pada saat itu tidak memihak kepada Ali RA. maupun Muawiyah. Sifat ini sama dengan istilah “cari aman”.

Kedua, mencoblos lebih dari satu pilihan. Golongan ini termasuk dari orang-orang yang bimbang dalam bertindak maupun bersikap. Padahal jelas Rasulullah saw. Bersabda

(دع ما يريبك إلى ما لا يريبك (رواه الترميذي

Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu”.

Anjuran untuk meninggalkan hal-hal yang meragukan adalah bagian dari syariat islam. Tidak hanya dalam hal pemilihan kepala daerah, terlebih pada urusan ibadahpun sangat diwanti-wanti agar terhindar dari sifat bimbang, sehingga dapat melaksanakan ibadah dengan khusu’ dan khidmat.

Ketiga, tidak memilih karena alasan sedang merantau. Budaya masyarakat Indonesia dalam upaya untuk menyambung hidup yaitu dengan cara bekerja di luar daerah (transmigrasi). Jika pada persyaratan pemilih disesuaikan dengan KTP asal, maka berapa juta jiwa yang tidak bisa ikut memilih pemimpin karena tersebar di berbagai daerah dan KTP tersebut tidak bisa digunakan di daerah tempat mereka bekerja.

Masalah ini harus ditangani secara serius agar semua masyarakat bisa berpartisipasi hajat demokrasi ini tanpa terkecuali. Jika sampai hari ini tidak diperhatikan, maka hal seperti ini dapat dipastikan menjadi kecacatan di tiap periodenya.

Bersandar pada penjelasan sebelumnya, bahwa tindakan golput merupakan tindakan tercela, merusak tatanan aturan yang telah disahkan oleh undang-undang. Tindakan seperti ini tidak dibenarkan dan keluar dari koridor ketentuan.

Menyikapi hal tersebut, dalam sudut pandang islam bahwa tindakan golput bagian dari pelanggaran. Selaras dengan sikap tidak patuh terhadap perintah Al-Qur’an. Firmat Allah dalam surat An-Nisa ayat 59:

أطيعوا الله وأطيعوا الرسول أولي الأمر منكم.

Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian”.

Mayoritas para ulama menafsirkan kata ulil amri yaitu pemerintah. hasil konsesus menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem demokrasi, Maka taat dan menghormati terhadap kebijakan pemerintah bukan hal biasa melainkan perintah Negara dan Agama untuk rakyatnya agar senentiasa mematuhi Pemerintah secara seksama.

Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati ulil amri (pemimpin), yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat. Menaati kepala negara adalah wajib, berarti mengangkat pemimpin pun hukumnya wajib, karena jika pemimpin tidak ada, maka kewajiban untuk menaati pemimpin pun tidak bisa dijalankan. Dengan demikian, hukum mengangkat pemimpin pun menjadi wajib.

Pada tahun 2009, dalam ijtima’ ulama di Padang Panjang Sumatera Barat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya Golput tersebut. Fatwa ini juga didukung oleh fatwa MUI yang ada di beberapa daerah bahwa nasabul imam atau mengangkat pemimpin adalah wajib, walaupun kadang-kadang tidak menggunakan istilah “Golput.” Ini merupakan ijtihad politik dalam meminimalisir angka dan fenomena Golput.

Oleh karena itu, orang-orang mukmin tidak akan pernah mengambil sikap Golput ketika pilkada, karena mengetahui bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban, bukan sekadar hak. Sebagai kewajiban, maka orang-orang mukmin pasti memilih pemimpin yang terbaik dari calon-calon yang ada.

Demikian penjelasan terkait hukum golput dalam Syariat Islam. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH