Hukum Golput dalam Islam

Berikut artikel tentang hukum golput dalam syariat Islam. Pesta demokrasi rakyat Indonesia melalui pilkada serentak 2018 akan bergulir pada rabu 27 Juni. Mulai pukul 7.00 s.d 13.00 di berbagai TPS di daerah masing-masing.

Tentunya tidak hanya pihak panitian pemilu atau kandidat dan para tim suksesnya, melainkan rakyatpun pasti sudah matang-matang memikirkan untuk menentukan pilihannya.

Pada setiap pilkada maupun pemilu, masih banyak kejadian-kejadian yang menyimpang dari aturan baku. Seperti tindak money politik atau tindak golput. Mengenai tindak Golput, istilah singkatan dari golongan putih atau disederhanakan menjadi pemilih abu-abu.

Artinya, mereka tidak menentukan sikap ketika jadwal pencoblosan berlangsung. Mereka enggan memilih salah satu diantara para kandidat kepada daerah. Tindakan ini terntunya menjadi catatan penting yang harus segera ditemukan solusinya agar tidak terulang terus-menerus di setiap waktu pilkada di masa-masa mendatang sampai pada pilpres digelar.

Adapun tindakan golput ini dapat menggugurkan suara dan menciderai proses demokrasi. akibat golput tersebut surat suara menjadi tidak sah atau abstain. Kasus ini, Jika digali lebih dalam, maka tindakan golput memiliki pengertian luas, diantaranya:

Pertama, tidak menentukan pilihan. ini merupakan tindakan yang sia-sia, bagaimana seorang yang datang ke bilik suara (TPS) tanpa mencoblos satu di antara kandidat kepala daerah. bisa juga dia mengosongkan suara suara dan partisipasinya seakan dianggap sebagai formalitas belaka.

Hal ini serupa dengan peristiwa tahkim, di mana sifat aliran qadariyah pada saat itu tidak memihak kepada Ali RA. maupun Muawiyah. Sifat ini sama dengan istilah “cari aman”.

Kedua, mencoblos lebih dari satu pilihan. Golongan ini termasuk dari orang-orang yang bimbang dalam bertindak maupun bersikap. Padahal jelas Rasulullah saw. Bersabda

(دع ما يريبك إلى ما لا يريبك (رواه الترميذي

Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu”.

Anjuran untuk meninggalkan hal-hal yang meragukan adalah bagian dari syariat islam. Tidak hanya dalam hal pemilihan kepala daerah, terlebih pada urusan ibadahpun sangat diwanti-wanti agar terhindar dari sifat bimbang, sehingga dapat melaksanakan ibadah dengan khusu’ dan khidmat.

Ketiga, tidak memilih karena alasan sedang merantau. Budaya masyarakat Indonesia dalam upaya untuk menyambung hidup yaitu dengan cara bekerja di luar daerah (transmigrasi). Jika pada persyaratan pemilih disesuaikan dengan KTP asal, maka berapa juta jiwa yang tidak bisa ikut memilih pemimpin karena tersebar di berbagai daerah dan KTP tersebut tidak bisa digunakan di daerah tempat mereka bekerja.

Masalah ini harus ditangani secara serius agar semua masyarakat bisa berpartisipasi hajat demokrasi ini tanpa terkecuali. Jika sampai hari ini tidak diperhatikan, maka hal seperti ini dapat dipastikan menjadi kecacatan di tiap periodenya.

Bersandar pada penjelasan sebelumnya, bahwa tindakan golput merupakan tindakan tercela, merusak tatanan aturan yang telah disahkan oleh undang-undang. Tindakan seperti ini tidak dibenarkan dan keluar dari koridor ketentuan.

Menyikapi hal tersebut, dalam sudut pandang islam bahwa tindakan golput bagian dari pelanggaran. Selaras dengan sikap tidak patuh terhadap perintah Al-Qur’an. Firmat Allah dalam surat An-Nisa ayat 59:

أطيعوا الله وأطيعوا الرسول أولي الأمر منكم.

Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian”.

Mayoritas para ulama menafsirkan kata ulil amri yaitu pemerintah. hasil konsesus menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem demokrasi, Maka taat dan menghormati terhadap kebijakan pemerintah bukan hal biasa melainkan perintah Negara dan Agama untuk rakyatnya agar senentiasa mematuhi Pemerintah secara seksama.

Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati ulil amri (pemimpin), yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat. Menaati kepala negara adalah wajib, berarti mengangkat pemimpin pun hukumnya wajib, karena jika pemimpin tidak ada, maka kewajiban untuk menaati pemimpin pun tidak bisa dijalankan. Dengan demikian, hukum mengangkat pemimpin pun menjadi wajib.

Pada tahun 2009, dalam ijtima’ ulama di Padang Panjang Sumatera Barat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya Golput tersebut. Fatwa ini juga didukung oleh fatwa MUI yang ada di beberapa daerah bahwa nasabul imam atau mengangkat pemimpin adalah wajib, walaupun kadang-kadang tidak menggunakan istilah “Golput.” Ini merupakan ijtihad politik dalam meminimalisir angka dan fenomena Golput.

Oleh karena itu, orang-orang mukmin tidak akan pernah mengambil sikap Golput ketika pilkada, karena mengetahui bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban, bukan sekadar hak. Sebagai kewajiban, maka orang-orang mukmin pasti memilih pemimpin yang terbaik dari calon-calon yang ada.

Demikian penjelasan terkait hukum golput dalam Syariat Islam. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Shalat Pakai Kaos Bergambar Caleg

Bagaimana hukum shalat pakai kaos bergambar caleg? Fenomena ini jamak dijumpai menjelang tahun politik. Lantas bagaimana hukumnya?

Pada dasarnya dalam urusan busana shalat tidak ada syarat tertentu harus menggunakan pakaian yang menunjukkan atribut bangsa atau budaya tertentu. Yang diwajibkan hanyalah menggunakan pakaian yang bisa menutupi aurat dengan baik dan tentunya juga yang terbebas dari najis.

Sebagaimana menurut Syekh Nawawi Banten dalam Kasyifatu al-Saja (84) sebagai berikut:

(و) الثالث (ستر العورة) بجرم طاهر يمنع رؤية لون البشرة

“Yang ketiga (dari syarat sah shalat) adalah menutup aurat dengan bentuk pakaian yang suci yang mampu menghalangi pandangan terhadap warna kulit”

Kaos partai sama halnya dengan kaos lainnya yang bisa digunakan untuk menutupi bagian tubuh yang tentunya bisa juga menutupi aurat laki-laki dalam shalatnya, maka dari itu shalat dengan menggunakan kaos partai adalah sah, hanya saja jika bahan kaosnya dari kain yang tipis dan menerawang sehingga memperlihatkan warna kulit maka jelas tidak sah.

Problematikan shalat menggunakan kaos partai sebenarnya bukan dari sah atau tidaknnya, akan tetapi kepada pantas atau tidaknya untuk digunakan shalat yang mana shalat adalah ibadah sakral yang menjadi simbol praktik seorang hamba untuk menghadap Tuhannya. Ironitas ini muncul memandang karena desain kaos partai memuat lambang partai dan tentunya wajah kontestan pemilu dan namanya.

Al-Khathib al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj (1/437) menyebutkan tentang kemakruhan shalat memakai baju bermotif atau bergambar, sebagai berikut :

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة ، وأن يصلي عليه ، وإليه

“Dimakruhkan shalat memakai baju dengan desain bergambar, begitu juga makruh menggunakannya alas atau sajadah, atau sesuatu yang berada dihadapannya ketika shalat.”

Hukum kemakruhan tersebut tentunya mempunyai alasan yang tendensius, sangat jelas sekali jika kemakruhan ini ada jalur linieritas dengan problematika kekhusyuan dan ketenangan dalam shalat. Sebagaimana menurut Sayyid Bakri dalam I’anatu al-Thalibin jilid 1, halaman 114;

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة أو نقش لانه ربما شغله عن صلاته

“Makruh sholat menggunakan baju yang berdisain gambar atau ukiran, karena bisa mengalihkan perhatian seseorang dari fokus shalatnya.”

Bahkan tidak hanya gambar, begitu juga motif dan corak baju yang bisa berpotensi mengganggu fokus perhatian seseorang dalam shalatnya, dan menurut al-Bujairami diksi gambar itu hanya sebagai satu contoh kasus karena point of view-nya adalah merusak fokus shalat.
Sebagai dalam Hasyiyah-nya atas kitab al-Iqna’ jilid 1, halaman 453;

وقوله : ( فيه صورة ) أي مثلا ، والمراد ما فيه شيء يلهي كما في ق ل فشمل ما فيه خطوط

“Gambar hanya sebagai salah satu contoh kasus dalam hukum makruh tersebut, dan yang dikehendaki adalah segala hal yang bisa menghilangkan fokus dalam shalat sebagaimana menurut al-Qulyubi, maka motif atau garis-garis juga termasuk yang dimakruhkan.”

Pengalihan fokus perhatian shalat di atas tentunya juga sangat berdampak kepada orang lain yang shalat berjamaah bersama si pemakai kaos partai, dan tentunya dampak negatif ini tidak hanya mengenai dirinya sendiri sebagaimana uraian diksi dari beberapa referensi yang disebutkan akan tetapi juga menyasar kepada orang lain yang ironisnya mereka shalat berhadapan dengan logo partai dan wajah seseorang.

Jika saja si pemakai kaos tidak merasa hilang fokus dalam shalat dan tidak terganggu oleh desain kaosnya bahkan orang lain tidak terpengaruh dengan desain kaos tersebut maka tidak dimakaruhkan. Sebagaimana catatan Abdurrahman al-Jaziri dalam al-Fiqhu ala Madzahib al-Arba’ah Jilid 1, halaman 368;

ومنها أن يكون بين يديه ما يشغله من صورة حيوان أو غيرها فإذا لم يشغله لا تكره الصلاة إليها وهذا عند المالكية والشافعية

“Termasuk kemakruhan dalam shalat menurut madzhab maliki dan syafi’i adalah shalat menghadap sesuatu yang bisa mengganggu fokus seperti gambar hewan atau sesuatu yang lain, jika tidak merasa terganggu, maka tidak dimakruhkan.”

Overall, hukum shalat memakai kaos partai dengan motif logo dan wajah kontestannya memang tidak memengaruhi keabsahan shalat, hanya saja kemakruhan ini perlu ditekankan kepada masyarakat karena sangat berpotensi untuk mengganggu fokus perhatian seseorang dalam shalat mengingat fenomena like and dislike seseorang terhadap kontestan pemilu yang sangat menjamur dimasyarkat.

Tentunya jika saja dala jamah ada makmum yang memakai kaos bergambar capres yang tidak disukai maka otomatis hatinya akan bergumam buruk ketika dia melihat wajah capres itu dalam shalatnya, dan ini sangat bisa menodai ketenangan seseorang dalam beribadah.

Demikian penjelasan terkait hukum shalat pakai kaos bergambar Caleg. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Penyakit Berbahaya: Merasa Punya Jasa dalam Dakwah

Ketika kita mendapatkan kemudahan dan pertolongan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dalam bentuk ibadah apa pun, hendaknya kita senantiasa bersyukur kepada-Nya dan senantiasa memohon taufik dan hidayah dari Allah Ta’ala agar kita senantiasa istiqamah di dalamnya. Termasuk ketika mendapatkan kemudahan dari Allah Ta’ala sehingga kita dimudahkan untuk (sedikit) berkontribusi dalam dakwah.

Namun, setan memanfaatkan sedikit celah untuk menjerumuskan manusia dalam hal ini. Yaitu dengan mengajak manusia yang telah berkhidmat dalam dakwah untuk menyombongkan diri di hadapan manusia yang lainnya. Dia merasa bahwa dia punya jasa besar dalam dakwah. Dia merasa bahwa tersebarnya dakwah Islam saat ini adalah karena peran besarnya. Dia merasa bahwa jika dia tidak ada dan tidak ikut andil dalam dakwah, maka dakwah tidak akan jalan dan dakwah pun akan berhenti. Dia merasa dibutuhkan dalam dakwah. Dan perasaan-perasaan lain yang berpotensi merusak amalnya.

Merasa punya jasa dalam agama adalah di antara ciri khas orang-orang musyrikin jahiliyyah

Merasa bangga dan merasa punya jasa dalam agama dan dakwah, adalah di antara ciri khas orang-orang musyrikin jahiliyyah. Dulu, mereka membanggakan diri mereka dan menyombongkan diri bahwa mereka punya jasa besar dalam mengurus ibadah haji. Mereka sombong karena telah memelihara tempat-tempat pelaksanaan manasik haji, menjadi pengurusnya, serta memberi makan dan minum untuk jamaah haji yang miskin.

Allah Ta’ala pun mencela perbuatan mereka ini dengan mengatakan,

مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ

“Dengan menyombongkan diri (terhadap Al-Qur’an atau iman) dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 67)

Maksudnya, mereka sombong karena telah mengurusi baitullah (ka’bah) dan melayani jamaah haji yang mendatanginya. Dengan amal itu, mereka menyombongkan diri di hadapan bangsa Arab lainnya. Lebih parah dari itu, beralasan dengan amal-amal tersebut, mereka merasa cukup sehingga merasa tidak butuh lagi terhadap Al-Qur’an dan tidak butuh beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyangka bahwa amal mereka tersebut telah mencukupi untuk diri mereka.

 

Allah Ta’ala pun mencela sikap mereka tersebut dengan mengatakan,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram itu kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 19)

Betul, memberi makan dan minum jamaah haji serta memakmurkan Masjidil Haram adalah termasuk amal shalih. Akan tetapi, tidak selayaknya seseorang membangga-banggakan amal tersebut di hadapan manusia. Bahkan menganggap amal tersebut telah cukup untuk diri mereka. Lalu merasa tidak butuh dengan amal yang lebih agung, di antaranya adalah jihad di jalan Allah, beriman kepada Allah Ta’ala, serta beriman kepada hari akhir. [1]

Jadi, membanggakan amal shalih di hadapan manusia, pada asalnya adalah ciri khas (karakter) masyarakat jahiliyyah.

Janganlah merasa telah memberi jasa kepada Islam

Allah Ta’ala mencela orang-orang yang merasa punya jasa ketika masuk Islam. Allah Ta’ala berfirman,

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepada-Ku dengan keislamanmu. Sebenarnya Allah, Dia-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 17)

Ketika sebagian orang merasa punya jasa dengan masuk Islam, merasa bahwa keislaman mereka itu adalah jasa besar untuk Islam, Allah Ta’ala pun membantahnya. Yaitu sebenarnya, Allah-lah yang memberikan nikmat kepada mereka dengan memberikan hidayah kepada mereka dengan masuk Islam.

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala berkata menjelaskan ayat ini,

هذه حالة من أحوال من ادعى لنفسه الإيمان، وليس به، فإنه إما أن يكون ذلك تعليمًا لله، وقد علم أنه عالم بكل شيء، وإما أن يكون قصدهم بهذا الكلام، المنة على رسوله، وأنهم قد بذلوا له [وتبرعوا] بما ليس من مصالحهم، بل هو من حظوظه الدنيوية، وهذا تجمل بما لا يجمل، وفخر بما لا ينبغي لهم أن يفتخروا على رسوله به فإن المنة لله تعالى عليهم، فكما أنه تعالى يمن عليهم، بالخلق والرزق، والنعم الظاهرة والباطنة، فمنته عليهم بهدايتهم إلى الإسلام، ومنته عليهم بالإيمان، أعظم من كل شيء

“Ini adalah kondisi orang-orang yang mengklaim telah beriman, padahal tidak. Klaim itu bisa jadi adalah untuk memberi tahu kepada Allah, padahal dia telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu. Atau bisa jadi maksud mereka dengan ucapan itu adalah untuk mengungkit jasa mereka kepada Rasul-Nya, bahwa mereka telah mencurahkan segala usaha mereka dan berbuat baik kepada Rasul-Nya, dengan sesuatu yang hakikatnya bukan merupakan amal shalih mereka, namun hanya karena motivasi duniawi semata. Mereka telah menghiasi diri dengan sesuatu yang tidak bisa dipakai untuk berhias (karena amal tersebut memiliki tendensi duniawi).

Mereka telah menyombongkan diri dengan sesuatu yang tidak sepantasnya, yaitu menyombongkan diri kepada Rasul-Nya. Karena sesungguhnya nikmat Allah Ta’ala kepada mereka, yaitu dengan menciptakan dan memberi mereka rizki, juga nikmat lahir dan batin, atau nikmat telah memberikan hidayah kepada mereka dengan masuk Islam dan memberikan hidayah untuk beriman, itu adalah nikmat yang jauh lebih besar dari segala nikmat yang ada.” (Taisiir Karimir Rahmaan, hal. 802)

 

‘Ujub terhadap diri sendiri dan merendahkan orang lain

Berdakwah adalah di antara bentuk ibadah yang terpuji. Sehingga tidak boleh atas seseorang untuk berbangga diri, menepuk dada, dan sombong dengan amal ibadah tersebut. Karena ibadah adalah saran untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, bukan untuk mengharapkan pujian dan sanjungan dari manusia. Bahkan, hendaknya dia memuji Allah Ta’ala karena telah menjadikan dirinya sebagai orang yang menunaikan amal tersebut, bukan membangga-banggakan dan menyombongkan diri sendiri di hadapan manusia.

Sombong terhadap amal atau dakwah yang telah dilakukan, akan menyebabkan ‘ujub terhadap diri sendiri dan merendahkan orang lain. Dia akan cenderung menganggap remeh apa yang telah dilakukan orang lain.

Yang perlu kita sadari adalah betapa pun besar atau hebat amal dakwah yang telah kita lakukan, tetap saja pasti ada kekurangan di sana-sini. Amal besar itu belum mampu menunaikan hak Allah Ta’ala dengan sempurna. Sehingga amal kebaikan atau dakwah yang kita lakukan itu pada hakikatnya adalah amal yang sedikit, yang penuh kekurangan. Oleh karena itu, membanggakan amal yang dilakukan antara dia dengan Allah Ta’ala itu sangat berbahaya, karena hal itu akan menyeret kepada ‘ujub, sekedar memperbanyak amal, dan pada akhirnya akan membatalkan pahala amal tersebut.

Inilah yang seharusnya kita lakukan, yaitu menganggap amal kita adalah amal yang sedikit. Karena itulah yang akan mendorongnya untuk tawadhu’ (rendah hati) di hadapan manusia. Selain itu, juga akan mendorongnya untuk terus-menerus memperbanyak amal kebaikan yang lainnya.

Kesimpulan

Kesimpulan, merasa punya jasa dalam Islam atau merasa punya jasa dalam dakwah adalah penyakit yang bisa jadi menggerogoti amal para aktivis dakwah. Hendaknya kita senantiasa menyadari, bahwa ketika kita dimudahkan untuk banyak beramal, termasuk amal untuk berdakwah, itu semata-mata karena pertolongan dan kemudahan dari Allah Ta’ala. Lalu, apa alasan untuk menyombongkannya di hadapan manusia?

Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ يَنْقُلُ مَعَنَا التُّرَابَ، وَلَقَدْ وَارَى التُّرَابُ بَيَاضَ بَطْنِهِ، وَهُوَ يَقُولُ: وَاللهِ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا، وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا

“Ketika terjadi perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turut bersama-sama dengan kami mengangkat tanah. Sehingga perut putih beliau menjadi kotor karena tanah. Beliau pun bersenandung, “Ya Allah, sekiranya bukan karena Engkau, tidaklah kami mendapatkan petunjuk, tidaklah kami bersedekah, dan tidaklah kami mendirikan shalat.“(HR. Bukhari no. 4104 dan Muslim no. 1803)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46732-penyakit-berbahaya-merasa-punya-jasa-dalam-dakwah.html

Rasulullah Larangnya Umatnya Putus Persaudaraan

ABDULLAH bin Abi Awfa bercerita: Kami waktu itu sedang berkumpul bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa Aalihi wasallam. Tiba-tiba beliau berkata: Janganlah duduk bersamaku hari ini orang yang memutuskan persaudaraan.

Segera seorang pemuda berdiri meninggalkan majelis Rasulullah. Rupanya sudah lama ia bertengkar dengan bibinya. Ia lalu meminta maaf kepada bibinya dan bibinya pun memaafkannya. Setelah itu, barulah ia kembali kepada majelis Nabi. Nabi Saw berkata: Sesungguhnya rahmat Allah tidak akan turun kepada suatu kaum yang di situ ada orang yang memutuskan persaudaraan. (Al-Targhib 3:345)

Perhatikanlah keluarga kita, kaum yang paling kecil. Bila di dalamnya ada beberapa orang yang sudah tidak saling menegur, sudah saling menjauhi, apalagi kalau di belakang saling menohok dan memfitnah, maka rahmat Allah akan dijauhkan dari seluruh anggota keluarga itu. Kemudian, perhatikan umat Islam Indonesia, kaum yang lebih luas. Bila di dalamnya masih ada kelompok yang mengkafirkan kelompok yang lain, atau membentuk jamaah tersendiri dan mengasingkan diri dari jamaah yang lain, atau tidak mau bershalat jamaah degnan kelompok yang pendapatnya berbeda, maka seluruh umat akan terputus dari rahmat Allah SWT.

Maukah kalian aku tunjuki amal yang lebih besar pahalanya dari shalat dan puasa? Tanya Rasulullah Sawaw kepada sahabat-sahabatnya. Tentu saja, jawab mereka. Rasulullah menjawab, Engkau damaikan orang-orang yang bertengkar. Menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang berpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka adalah amal shaleh yang besar pahalanya. Barang siapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, hendaklah ia menyambungkan persaudaraan. (HR. Bukhari dan Muslim).

Abu Dzar adalah sahabat yang sangat dikasihi Nabi. Ialah orang yang pertama mengucapkan salam Islam di zaman jahiliah. Ia pernah menahan rasa hausnya, walaupun kantong air ia gantungkan di pinggangnya dan baru akan meminum air itu, setelah Rasulullah SAW meminumnya. Ia dipuji Nabi sebagai sahabat yang lidahnya paling jujur. Ia hidup sederhana dan bergabung dengan orang-orang yang sederhana. Islam telah mengubah masa lalunya sebagai pemberontak menjadi masa kininya sebagai pejuang.

Banyaklah nasihat Nabi kepada Abu Dzar. Salah satu di antaranya adalah: Kekasihku Nabi yang mulia berwasiat kepadaku beberapa hal yang baik: Ia berwasiat agar aku tidak memandang orang yang di atasku dan hendaknya memandang orang yang di bawahku. Ia mewasiatkan kepadaku untuk menyayangi orang miskin dan akrab dengan mereka.

Ia mewasiatkan kepadaku untuk menyambung persaudaraan walaupun dengan orang yang menjauhiku. Ia mewasiatkan kepadaku untuk tidak takut kepada kecaman orang yang mengecam dalam menegakkan agama Allah. Ia mewasiatkan kepadaku untuk mengatakan yang benar walaupun pahit. Dan akhirnya ia mewasiatkan kepadaku untuk memperbanyak La hawla wa la quwwata illa billah, karena kalimat itu termasuk perbendaharaan surga. (HR. Al-Thabrani dan Ibnu Hiban; lihat juga Al-Targhib 3:337). [islamaktual]

INILAH MOZAIK

 

Bulan Politik, Bangun Kebersamaan dan Perdamaian

SUASANA semakin panas bukan karena matahari yang terlalu terik menyapa bumi. Rintik hujan masih mampu menyeimbangi panas matahari itu. Suasana semakin sumuk bukan karena tak ada AC atau pendingin ruangan lainnya.

Jendela dan pintu yang terbuka leluasa memberikan izin angin semilir menyapa ruangan-ruangan kita. Jangan-jangan yang menyebabkan suasana panas dan sumuk itu adalah tiadanya rintik air mata kasih sayang dan tiadanya jendela hati serta pintu rasa yang terbuka. Mari kita periksa.

Menjelang Pilpres tanggal 17 April ini, hampir semua warung kopi menjadi ruang debat masyarakat umum, hampir semua instrumen media sosial dipenuhi oleh aksi saling serang, saling caci, saling hina karena perbedaan pilihan. Jarang sekali yang saling apresiasi, saling menghormati dan menghargai. Ada apa ini sesungguhnya?

Semuanya seakan merasa dirinya adalah yang paling tahu dan yang paling benar. Mengapa mereka tidak memunculkan jawaban atas satu pertanyaan saja: “Apakah saya sudah menyampaikan pendapat saya dengan cara yang baik agar menjadi manusia terbaik di hadapan Allah?” Kalaulah satu pertanyaan itu terlalu berat, mengapa tidak selalu tanyakan kepada dirinya sendiri sebelum melakukan aksi: “Inilah yang diajarkan pancasila agar saya menjadi pancasilais?”

Dunia kampuspun ikut-ikut heboh, saling serang dan saling depresiasi, walau kadang dibungkus dengan beberapa teori dan referensi. Samar-samar mengemuka kembali pengelompokan-pengelompokan; muncul kembali garis tebal ‘ideologi’ pemisah persatuan yang sesungguhnya sempat menguat.

Positifkah efek kondisi seperti ini? Apa yang seharusnya kita lakukan? Kajian akademik murni dengan semangat obyektifitas yang baiklah yang akan mencerahkan. Sementara kajian yang bermotif biasanya hanya akan mengeruhkan suasana.

Teringatlah saya pada sebuah buku yang saya pernah resensi, buku karya Jonathan Haidt yang berjudul The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (Mengapa orang-orang baik itu dipisah-pisahkan oleh politik dan agama). Buku ini layak dibaca untuk direnungkan. Ada banyak orang baik dan benar selain kita. Sangat bisa jadi bahwa kita dan mereka adalah sama dalam banyak hal selain masalah pilihan presiden. Pahami pandangan dan pilihan mereka, hargailah mereka dan hormati mereka, maka persatuan akan tetap terjaga, kedamaian terus terpelihara.

Pagi ini, atas dasar kesedihan saya akan kondisi bangsa yang kini dipenuhi caci-maki, saya tuliskan status pendek: “Manusia itu dilahirkan berbeda-beda satu dengan yang lainnya dalam segala hal. Mulai dari warna kulit sampai warna mata, mulai dari keinginan akal sampai keinginan hati. Berusaha keras untuk menjadikan semua sama adalah melanggar fitrah. Cukuplah saling menghormati dan menghargai, jangan saling mencaci dan merendahkan.” Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Nasehat Ringan untuk Para Politisi

SUDAH dekat musim Pemilu, Pileg dan Pilpres bukan? Lihatlah para politisi mulai gencar menyapa rakyat lewat spanduk, banner dan sejenisnya yang ditempelkan atau digantung atau dipakukan di sebarang tempat di pinggir-pinggir jalan. Lihatlah betapa banyak mobil-mobil bergambar politisi berseleweran di jalan-jalan.

Beginikah cara efektif menyapa rakyat? Mungkinkah rakyat memilih mereka yang hanya mengenalkan wajah tapi tak mengenalkan program dan mengenalkan apa yang telah dilakukan untuk rakyat?

Mungkin ada yang menjawab dengan jawaban yang merendahkan rakyat: “Cukup sebar 50 ribu menjelang hari pencoblosan maka semua menjadi beres?” Apakah cara ini efektif? Mungkin saja efektif terutama di tengah masyarakat yang lapar dan masyarakat yang berpikirnya adalah untuk jangka pendek.

Kondisi masyarakat desa yang masih kelaparan ini dibaca dengan baik oleh para politisi yang menghendaki citra baik terbangun dalam satu hari. Inilah yang membuat ongkos politik menjadi mahal. Gaya seperti ini menutup jalan para orang baik tapi miskin untuk berpartisipasi dalam memperbaiki negeri. Maka sejak dulu hingga kini, wajah politisi ya kebanyakan itu itu saja. Capresnya juga itu itu saja. Banyak orang baik tak punya modal.

Oretan ini hanya ingin menyampaikan nasehat ringan para bijak yang layak direnungkan oleh para politisi: “Berbaiklah kepada setiap orang yang berada di jalanmu untuk naik ke puncak ketinggian, karena saat turun nanti kalian akan bertemu dengan mereka lagi.”

Ada banyak politisi yang naik menjadi wakil rakyat dari daerah tertentu, lalu setelah terpilih kemudian melupakan penduduk daerah itu dan sibuk di kota besar tempat kantornya berada. Wakil rakyat seperti ini sungguh tak akan punya muka mulia lagi saat berhenti dari jabatannya. Bahkan, memang tak layak untuk dipilih kembali.

Pilihlah politisi yang sayang kepada rakyat, yang perhatian pada peningkatan dompet rakyat, bukan peningkatan isi dompetnya sendiri. Pilihlah politisi yang selalu merakyat, bukan yang menjual rakyat dengan mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri

Lalu, siapa orangnya yang harus kita pilih? Mari bermusyawarah sambil juga istikharah. Salam, AIM. [*]

 

 

Menjual Ayat Allah tak Mencium Wangi Surga

Kata menukar atau menjual ayat-ayat Allah SWT sering kali terdengar belakangan ini. Kata-kata tersebut biasanya ditujukan kepada seseorang untuk kepentingan pemilu atau undangan ceramah kepada ustadz dengan tarif mahal.

Mereka menukarkan atau menjual ayat-ayat Allah untuk mendapatkan harta benda atau kekayaan di dunia.

Sebagaimana firman-Nya:

“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu. (QS. At-Taubah, 9:9).

Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, Firman Allah Swt pada ayat dimaksud dalam rangka mencela kaum musyrikin dan memotivasi kaum muslimin untuk memerangi mereka. “Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.”

Maksudnya adalah telah menukar antara mengikuti ayat-ayat Allah dengan perkara dunia yang hina nan melalaikan.

Imam Al-Qurthubi mengemukakan, “Ada yang mengatakan bahwa mereka mengganti Alquran dengan harta benda dengan kemewahan dunia.”

Firman-Nya:

“Lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah.” Imam Al-Qurthubi mengatakan, maksudnya adalah berpaling atau menghalangi dari jalan Allah.

Imam Ibnu Katsir berkata, “maksudnya, melarang kaum mukminin untuk mengikuti jalan kebenaran.”

Menukarkan ayat Allah dengan harga yang sedikit adalah ciri khas kaum musyrikin. Maka hendaklah seorang Muslim yang menginginkan kebaikan dunia dan akhirat, tidak mengikuti golongan yang telah dipastikan merugi. Karena Allah Swt mencela mereka bahwa: “Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu.”

Pada masa sekarang, dengan mudah kita menemukan dari kalangan kita sendiri yang telah menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang rendah. Yaitu orang-orang yang menghafal Alquran dan Hadits, dengan niat mendapatkan kedudukan dan harta dunia. Misalkan dengan menjadi ustadz terkenal dan bisa mendapatkan kontrak kerja di televisi-televisi supaya mendapatkan upah.

Kita juga mendengar ada ustadz yang memasang tarif mahal. Semakin terkenal dan cakap atau rupawan sang ustadz, maka semakin mahal pula tarifnya. Bahkan ada pula dukun yang berjubah ustadz, dengan maksud mendapatkan keuntungan dunia dari kliennya.

Lainnya, dalam sistem perekrutan kepemimpinan dengan cara pemilu, kebanyakan orang tergelincir. Misalnya, orang yang dijadikan juru kampanye apabila dia orang yang pandai bersilat lidah, dan menghafal banyak ayat Alquran dan Hadits, serta pendapat para ulama, maka disinilah dia akan menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah.

Allah Taala berfirman: “Janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Dan bertaqwalah hanya kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah, 2: 41).

Imam Ibnu Katsir mengataka, artinya janganlah kalian menukar iman kalian terhadap ayat-ayat-Ku dan pembenaran terhadap Rasul-Ku dengan dunia dan segala isinya yang menggiurkan, karena ia merupakan sesuatu yang sedikit lagi fana.

Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mempelajari ilmu agama yang seharusnya ditujukan kepada Allah azawajallah, namun dia gunakan untuk mendapatkan kedudukan di dunia dan untuk mendapatkan harta dunia, maka dia tidak akan pernah mencium wanginya surga di hari kiamat.” (HR. Imam Ahmad, 2/No.338. Abu Dawud, No.3664hadist sahih)

 

sumber: Mozaik Inilahcom

Memilih Pemimpin Muslim ataukah Non Muslim yang Bersih dan Adil?

Manakah yang mesti dipilih jika ada dua pilihan. Ada calon pemimpin yang muslim namun suka bermaksiat, ataukah non muslim yang dikatakan bersih dan adil?

Yang jelas, tidak pantas non muslim menguasai rakyat yang mayoritas muslim. Kenapa demikian?

Karena memang Allah melarangnya. Islam itu tinggi, artinya di atas, bukan di bawah, bukan berada dalam kekuasaan non muslim. Sangat tidak pantas Islam yang mulia ini malah dikuasai oleh non muslim.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 141)

Memang pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan non muslim sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,

وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki dari Bani Ad Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang beragama kafir Quraisy.” (HR. Bukhari no. 2264). Namun ingat itu dipekerjakan, bukan berada di atas, bukan sebagai pemimpin.

Lantas manakah yang mending memiliki pemimpin muslim namun kerap korupsi ataukah pemimpin non muslim yang jujur, adil dan anti korupsi?

Kita dapat ambil pelajaran dari perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud berikut ini.

Ibnu Mas’ud berkata,

لأَنْ أَحْلِفَ بِاللَّهِ كَاذِبًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ وَأنَا صَادِقٌ

“Aku bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan berdusta lebih aku sukai daripada aku jujur lalu bersumpah dengan nama selain Allah.” (HR. Ath Thobroni dalam Al Kabir. Guru kami, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata bahwa sanad hadits ini shahih).

Kata Syaikh Sholeh Al Fauzan, di antara faedah dari hadits di atas adalah bolehnya mengambil mudarat yang lebih ringan ketika berhadapan dengan dua kemudaratan. (Al Mulakhos fii Syarh Kitabit Tauhid, hal. 328).

Kaedah dari pernyataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah,

اِرْتِكَابُ أَخَفِّ المفْسَدَتَيْنِ بِتَرْكِ أَثْقَلِهِمَا

“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari, 9: 462)

Dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar juga menyatakan kaedah,

جَوَازُ اِرْتِكَابِ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

“Bolehnya menerjang bahaya yang lebih ringan.” (Fathul Bari, 10: 431)

Kalau kita bandingkan saat mesti memilih antara pemimpin muslim yang gemar maksiat dengan pemimpin non muslim yang jujur dan adil, maka tetap saja pemimpin muslim lebih utama untuk dijadikan pilihan. Mudaratnya tentu lebih ringan. Apa alasannya?

Alasan pertama, kita tidak boleh mengambil pemimpin dari orang kafir. Alasan kedua, kita akan lebih mudah dalam menjalani agama karena pemimpin semacam itu lebih mengerti akan kebutuhan kaum muslimin. Alasan ketiga, non muslim tidak mudah menindas kaum muslimin atau menyebar ajaran mereka.

Kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin muslim misalnya dengan korupsi, itu adalah kesalahannya. Ia akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah atas tindak jeleknya. Namun agama kita pasti akan lebih selamat dan orang muslim pun akan peduli pada sesama saudaranya. Beda halnya dengan non muslim. Muslim yang bermaksiat masih lebih mending, berbeda dengan non muslim yang diancam akan kekal di neraka.

Jadi bagi yang masih mengatakan pemimpin non muslim itu lebih baik, berpikirlah dengan nalar yang baik dan banyak mengkaji ayat-ayat Al Qur’an. Lihatlah bagaimana Allah menyebut non muslim  dalam ayat berikut ini,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6). Ini firman Allah loh yang tidak mungkin keliru. Beda kalau tidak percaya akan wahyu.

Loyalitas seorang muslim haruslah kepada sesama muslim bukan kepada yang berlawanan agama dengannya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Dalam ayat lain disebutkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1)

Marilah kaum muslimin melihat realita yang terjadi. Cobalah renungkan sejenak, bagaimana nasibnya nanti jika akhirnya pemimpin non muslim yang akan maju sebagai pewaris kekuasaan.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

 

sumber: Rumaysho.com