Bagaimana hukum sholat pasien berkateter urin, apakah sah? Kateter merupakan alat yang digunakan untuk mengosongkan kandung kemih yang berupa tabung yang dimasukkan melalui alat kelamin bagi penderita penyakit seperti retensi urin atau ketidakmampuan kandung kemih untuk mengeluarkan seluruh urin.
Ini disebabkan beberapa faktor, seperti pembesaran prostat, dan prosedural medis sebagaimana dilansir dari alodokter.com. Lantas bagaimana hukum sholat pasien seorang muslim yang terkena prosedural medis harus berkateter urin mengingat pemasangan kateter tidak bisa dibongkar pasang?
Untuk persoalan ini, LBM MWC NU Tanggulangin membahas problem ini pada tanggal 13 Oktober 2023 karena tuntutan masyarakat untuk pencerahan hukum terkait problem diatas.
Status Wudhu Pasien Berkateter
Pada dasarnya pembahasan sholat tidak bisa dilepaskan dari pembahasan bersuci khsusnya wudhu, karena syarat sah shalat yang sangat mengikat adalah suci dari hadats baik besar atau kecil dan suci dari najis baik yang ada di tubuh, baju, dan tempat.
Dalam problem kateter tentunya pasiennya tidak sebagaimana pasien normal, urin yang berada di tampungan kandung kemih akan langsung keluar melalui saluran tabung kateter menuju keplastik penanpung urin, dan tentunya hal ini tidak bisa dikendalikan oleh pasien sebagaimana mengendalikan hasrat ingin buang air kecil.
Mempertimbangkan kondisi demikian, maka status pasien berkateter termasuk dalam kategori da’im al-Hadats atau orang yang selalu berada dalam keadaan berhadats sebagaimana wanita mustahadzah, dan penderita penyakit beser kencing atau cepirit.
Terdapat tata cara tersendiri dalam wudhu da’imu al-Hadats sebagaimana disebutkan oleh Sayyid Bakri dalam I’anatu al-Thalibin juz 1 halaman 47 sebagai berikut :
وحاصل ما يجب عليه – سواء كان مستحاضة أو سلسا – أن يغسل فرجه أولا عما فيه من النجاسة، ثم يحشوه بنحو قطنة – إلا إذا تأذى به أو كان صائما – وأن يعصبه بعد الحشو بخرقة إن لم يكفه الحشو لكثرة الدم، ثم يتوضأ أو يتيمم.
“Yang wajib dilakukan oleh penderita da’imu al-Hadats adalah pertama membersihkan kemaluannya dari najis, kemudian menyumpal dengan sesuatu seperti kapas -kecuali dia merasa sakit atau sedang berpuasa- kemudian ditutup dengan sesuatu seperti kain jika menyumpal dengan kapas tidak mencukupi karena terlalu banyak najis yang keluar, kemudian barulah berwudhu atau bertayammum (jika ada halangan untuk menggunakan air).”
Kasus kateter tentunya tidak sama dengan mustahadzah dan juga penderita beser, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa mencopot kateter kemudian memasangnya kembali bisa menimbulkan bahaya yang nyata bagi pasien.
Tentunya catatan merasa kesakitan ketika menyumpal alat kelamin dengan kapas memberikan kefahaman bahwan hal ini tidak butuh dilakukan dalam kasus kateter, karena tidak memungkinkan untuk disumpal dengan kapas dan ditutup sebagaimana kasus beser dan istihadzah.
Untuk itu maka yang harus dilakukan adalah langsung berwudhu sebagaimana biasa dan tentunya harus melihat dulu bahwa tidak ada urin yang mengalir dari kandung kemih kepada saluran kateter menuju penampungannya
Hukum Sholat Pasien Berkateter Urin
Pada dasarnya kewajiban shalat tidak bisa terhalangi oleh sakit selama masih sadar dan bisa melakukan dalam keadaan yang memungkinkan, maka dari itu pasien berkateter tentunya masih diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu lima waktu setiap harinya dalam keadaan sebisa mungkin dan dengan sarana yang ada.
Pada dasarnya, sudah disinggung di atas tentang syarat keabsahan shalat harus suci juga dari najis yang menempel di tubuh, pakaian, dan tempat, dalam kasus pasien berkateter masih belum bisa menghadapi syarat ini dengan benar.
Pasien berkateter tentunya tidak bisa dikatakan suci dari najis karena kateternya sendiri menampung najis berupa urin yang mengalir dari kandung kemih yang menempel dan bersambung dengan tubuh pasien, dan hal ini merupakan salah satu yang membatalkan shalat yakni bersambung dengan benda najis.
Sebagaimana dalam Hasyiyah al-Qalyubi wa Umairah juz 2 halaman 14 sebagai berikut:
وَلَا يَجُوزُ لِنَحْوِ السَّلِسِ تَعْلِيقُ نَحْوِ قَارُورَةٍ لِيَقْطُرَ فِيهَا بَوْلُهُ مَثَلًا وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ بَلْ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ بِهِ
“Tidak diperbolehkan bagi penderita beser untuk menggantungkan botol sebagai penampung urin yang keluar dari alat kelaminnya sedangkan dia dalam keadaan shalat, bahkan bisa membatalkan shalatnya”.
Memang problem ini sangat dilematis disatu sisi shalat fardhu masih dihukumi wajib, di sisi yang lain shalatnya jelas tidak sah karena ketersambungan tubuh dengan benda najis. Ketika terjado dilematika demikian, tentunya terdapat konsekuensi hukum tertentu terkait shalat tersebut dan tentunya sangat tidak bisa membatalkan kewajiban seseorang untuk shalat.
Namun, syariah memberikan kelonggaran dengan tatanan sholat li hurmatil waqti yakni shalat sebagaimana memungkinkan hanya untuk melakukan perintah agar tidak terkesan meninggalkan kewajiban shalat, dan tentunya akan di ulangi kembali shalat yang dilakukan pada masa berkateter dikemudian hari ketika sudah dinyatakan sembuh oleh dokter dan boleh untuk melepaskan kateter dari tubuhnya.
Sebagaimana menurut al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab juz 3 halaman 136 sebagai berikut:
أما حكم المسألة فإذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها وعجز عن إزالتها وجب ان يصلي بحاله لحرمة الوقت لحديث ابي هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال ” وإذا أمرتكم بشئ فاتوا منه ما استطتم ” رواه البخاري ومسلم
“Adapun hukum permasalahan ketika terdapat suatu najis yang tidak dimaafkan di tubuh seseorang dan dia kesulitan untuk menghilangkannya, maka dia wajib melakukan shalat dengan keadaan tersebut untuk menghormati waktu shalat yang masuk, sebagaimana hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda dan jika kalian diperintahkan untuk melakukan sesuatu maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim”.
Demikian jawaban terkait hukum sholat pasien berkateter urin, sahkah? Wallahu a’lam.