Rincian hukum tauriyah
Dalam pembahasan sebelumnya telah kami sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan diperbolehkannya tauriyah. Namun, bukan berarti bahwa hukumnya diperbolehkan secara mutlak dalam semua keadaan. Hal ini karena hukum ucapan itu sesuai dengan hukum tujuan.
Oleh karena itu, terdapat rincian hukum tauriyah dengan menimbang maksud atau tujuan si pembicara. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala.
Pertama, tauriyah yang hukumnya haram.
Yaitu tauriyah yang mengantarkan kepada kebatilan, baik diambilnya hak orang lain tanpa alasan yang dibenarkan, atau untuk berkelit dari kewajiban yang seharusnya dia tunaikan.
Misalnya, seorang pegawai bolos kerja karena malas ke kantor. Keesokan harinya, dia ditanya oleh bosnya ketika sudah masuk kerja kembali, dan menjawab, “Saya sakit.”
Si bos memahami bahwa dia betul-betul sakit sehingga bisa dimaklumi ketika kemarin tidak masuk kerja. Padahal, si pegawai sedang ber-tauriyah karena yang dia maksud adalah “sakit panu”, penyakit yang seharusnya tidak menghalangi masuk kerja.
Ini adalah tauriyah yang haram, karena mengantarkan kepada kebatilan, yaitu tidak adanya amanah.
Kedua, tauriyah yang hukumnya wajib.
Yaitu tauriyah yang mengantarkan kepada kewajiban atau untuk mencegah kedzaliman. Contoh tauriyah semacam ini telah kami sebutkan di awal seri tulisan ini, yaitu tentang adanya seseorang yang ingin mendzalimi orang lain.
Juga tauriyah yang dilakukan oleh para ulama untuk menghindar dari kedzaliman penguasa. Pada masa fitnah Al-Qur’an adalah makhluk, para ulama ahlus sunnah dipaksa untuk mengatakan ucapan kekafiran bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dan jika tidak mau, mereka akan disiksa atau dibunuh.
Lalu datanglah sejumlah pasukan ke salah seorang ulama, dan beliau pun melakukan tauriyah. Sang ulama mengatakan, “Al-Qur’an, Taurat, Injil, Zabur, semuanya ini adalah makhluk.”
Ketika mengatakan, “Semuanya ini adalah makhluk”; beliau sambil memegang empat jari tangan kiri dengan tangan kanan. Sehingga yang beliau maksud sebenarnya adalah “Semua jari ini adalah makhluk, adapun Al-Qur’an, Taurat, Injil, Zabur, itu bukan makhluk.”
Tauriyah semacam ini hukumnya wajib, karena dengannya jiwa manusia dapat terhindar dari kedzaliman.
Ketiga, tauriyah yang hukumnya diperbolehkan karena adanya maslahat atau karena ada hajat (kebutuhan).
Jika ada kebutuhan atau maslahat tertentu yang ingin dicapai, maka tidak mengapa melakukan tauriyah.
Contoh tauriyah model ini adalah kisah Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala. Ketika itu, beliau kedatangan tamu, yaitu Al-Maruzi. Lalu ada seseorang yang mencari Al-Maruzi sampai ke rumah Imam Ahmad. Namun Al-Maruzi menyampaikan ke Imam Ahmad bahwa dia tidak ingin menemui orang tersebut dengan sebab (alasan) tertentu.
Lalu Imam Ahmad pergi menemui orang yang mencari Al-Maruzi tersebut dan berkata, “Al-Maruzi tidak ada di sini, buat apa Al-Maruzi ada di sini?”
Imam Ahmad mengatakan hal itu sambil berisyarat dengan tangannya. Sehingga makna yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah, “Al-Maruzi tidak ada di tanganku ini, buat apa dia ada di tanganku ini?” Namun makna yang ditangkap oleh si pencari Al-Maruzi adalah bahwa Al-Maruzi tidak ada di rumah Imam Ahmad.
Keempat, tauriyah yang sekedar main-main, tidak ada kebutuhan, dan juga tidak mengantarkan kepada kebatilan.
Tauriyah semacam ini diperselisihkan oleh para ulama tentang boleh atau tidaknya.
Pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala adalah tidak diperbolehkan. Hal ini karena tauriayh itu sisi lahiriyahnya menyelisihi maksud sebenarnya. Sehingga masih terdapat unsur kebohongan dalam tauriyah. Dan juga, terdapat sisi jelek dengan tauriyah yang sekedar main-main saja. Yaitu, ketika seseorang mengetahui bahwa jika secara kenyataan apa yang diucapkan oleh seseorang itu berbeda dengan makna yang dia pahami, hal ini akan menyebabkan si pengucap tersebut bisa dituduh berdusta dan tidak bisa dipercaya, juga menimbulkan buruk sangka kepadanya.
Akan tetapi, yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala adalah tidak mengapa, jika kadang-kadang dilakukan, lebih-lebih jika mengabarkan kepada sahabatnya tentang perkara di masa mendatang.
Misalnya, sahabat kita mengatakan, “Kapan ke rumah?” Kita katakan, “Besok.” Padahal yang kita maksud dengan “besok” itu tidak terbatas, tidak dalam waktu dekat ini.
Sejenis dengan ini adalah kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika di masa perjanjian Hudaibiyah. ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلَيْسَ كَانَ يُحَدِّثُنَا أَنَّا سَنَأْتِي البَيْتَ وَنَطُوفُ بِهِ؟
“Bukankah Engkau mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi baitullah dan thawaf di sana?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
بَلَى، أَفَأَخْبَرَكَ أَنَّكَ تَأْتِيهِ العَامَ؟
“Iya benar. Akan tetapi, appakah aku mengatakan kalau kita akan mendatanginya tahun ini?”
‘Umar menjawab, “Tidak.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
فَإِنَّكَ آتِيهِ وَمُطَّوِّفٌ بِهِ
‘Sesungguhnya Engkau akan mendatanginya dan thawaf di sana.” (HR. Bukhari no. 2731 dan 2732) [1]
[Selesai]
***
@FK UGM, 13 Syawwal 1440/17 Juni 2019
Penulis: M. Saifudin Hakim
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47565-rincian-hukum-tauriyah-bag-2.html