Refleksi Hari Kemerdekaan; Kewajiban Melawan Islamisme yang Merusak Bangsa

Telah 77 tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Selama itu pula negara ini terbebas dari kolonialisme yang menyengsarakan selama kurang lebih 350 tahun.

Setelah menghirup udara merdeka, tidak serta merta Indonesia bebas dari ancaman. Justeru, ancaman terhadap eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa datang bertubi-tubi serta silih berganti. Betul kata pepatah “Mempertahankan lebih berat dan sulit dari pada mendapatkan”.

Sejarah perjalanan bangsa ini setelah merdeka beberapa kali diwarnai pemberontakan. Di antaranya, PKI dan DI/TII. Entah kenapa kemerdekaan yang telah diperjuangkan bersama oleh semua elemen bangsa harus dikotori pertumpahan darah karena kekecewaan dan ketidakpuasan kelompok.

Ancaman disintegrasi bangsa tidak hanya berbentuk gerakan fisik, bangsa ini juga diancam oleh gerakan non fisik melalui gerakan ideologi, propaganda dan politisasi agama Islam demi libido kekuasaan. Disintegrasi bangsa berupa gerakan non fisik masih berlangsung, bahkan bergerak secara massif. Dan, lebih berbahaya dari ancaman disintegrasi bangsa yang berupa gerakan fisik. Sebab, menggerogoti keutuhan bangsa secara samar, sebagi musuh dalam selimut.

Gerakan ideologi yang paling kentara dan bisa dibilang sangat berbahaya adalah gerakan islam politik atau menjadikan islam sebagai ideologi (islamisme). Islamisme adalah upaya sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol untuk kepentingan meraih kekuasaan politik. Di Indonesia, tanpa disebut pun, mayoritas masyarakat pasti telah paham siapa kelompok-kelompok tersebut.

Islamisme yang memperalat Islam sebagai ideologi dan mempolitisasi ajaran sebagai doktrin untuk meraih kekuasaan adalah salah satu hambatan besar dalam mewujudkan kedamaian. Pertengkaran, kekecauan, makar dan kekerasan kerap diilhami oleh gerakan islamisme. Tentu banyak persoalan kebangsaan lainnya, namun nampaknya islamisme selalu menjadi duri dalam sekam NKRI.

Gerakan ini secara embrio lahir dari ketidakpuasaan terhadap falsafah bangsa Pancasila dan dasar yang dimiliki bangsa ini. Gerakan pun bermunculan di berbagai daerah dalam bentuk pemberontakan. Pada fase berikutnya, islamimse mewujud dalam gerakan teror yang mengancam stabilitas bernegara dan berbangsa. Negara yang dibangun atas perjanjian dan kesepakatan seluruh anak bangsa digugat, diganggu dan diancam dengan gerakan mengatasnamakan Islam. Padahal sejatinya mereka adalah fitnah terhadpa Islam.

Terhadap kelompok-kelompok ini, Islam sendiri melalui pesan al Qur’an telah menyatakan perang.

“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang mundur di waktu itu kecuali berbelok (untuk siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya”. (QS. Al Anfal: 15-16)

Secara sosio-historis atau sebab penuzulannya mempertegas, membela harga diri dan kedaulatan negara merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Bahkan, kalau mundur dari arena perang bukan karena strategi dan siasat perang, diancam dengan neraka jahannam.

Siapa saja; kelompok kafir atau kelompok atas nama Islam, kemudian menyerang negara, maka kewajiban kita adalah mempertahankan negara. Maka, dalam konteks ancaman disintegrasi bangsa berupa ideologi atau Islam politik, kita berkewajiban melawan mereka dengan melakukan counter strategi yang masif dari seluruh elemen bangsa untuk menghadang laju ruang gerak mereka.

Pada tataran realitas di lapangan, atau pun gerakan propaganda di media, harus dilakukan upaya perlawanan yang serius dan sungguh menghalau laju ruang gerak mereka.

Inilah yang menjadi tugas bangsa Indonesia saat ini. Jihad melawan gerakan Islam politik. Karena pada sisi yang lain, gerakan Islam politik juga merupakan gerakan makar menentang pemimpin yang sah.

Al Qur’an tegas memerintahkan untuk taat kepada pemimpin. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu”. (QS. Al Nisa: 59)

Dengan demikian, sudah jelas bahwa melawan gerakan Islam politik atau ideologi radikal yang merentankan terjadinya disintegrasi bangsa adalah kewajiban seluruh masyarakat Indonesia sebagai bentuk kecintaan terhadap tanah air. Dalam banyak hadits Nabi pun memberikan penegasan kewajiban untuk mencintai dan membela tanah air. Kemudian, diistilahkan dengan “Hubbul Wathan Minal Iman”. Cinta tanah air bagian dari iman.

ISLAM KAFFAH

Agungkan Syiar Allah di Bulan Kemerdekaan, Bukan Kesyirikan!

Kemerdekaan yang merupakan rahmat dan anugerah daripada Allah dan perjuangan para ulama, maka sepatutnya menjauhkan dari kemaksiatan dan kesyirikan

SETIAP bulan Agustus, bangsa Indonesia punya gawe besar. Ya, sebuah waktu dimana seluruh anak bangsa ini serentak merayakan milad negerinya.

Masyarakay larut dalam hiruk-pikuk tujuh belasan yang sedikit banyak bisa mengalihkan sejenak perhatian rakyat Indonesia dari pelbagai keruwetan hidup dan isu nasional yang sedang terjadi, mulai dari rencana kenaikan harga mi goreng, intrik dukun lawan pesulap berambut tidak hitam, hingga drama pembunuhan aparat oleh atasannya.

Momentum bulan proklamasi  punya ciri khas yang sama setiap tahunnya. Seperti penyelenggaraan aneka jenis perlombaan, kegiatan baris-berbaris, karnaval, pawai hingga upacara, yang mana semua itu sah-sah saja sebagai bentuk rasa syukur dan kebahagiaan kita karena telah diberi nikmat berupa kemerdekaan.

Namun semua itu bukan tanpa catatan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa di balik momentum heroik tujuh belasan ada sisi negatif yang mirisnya selalu dilakukan setiap tahunnya. Yakni merayakan kemerdekaan dengan cara melanggar rambu-rambu syariah.

Seperti contoh pawai kemerdekaan dengan memakai kostum bencong-bencongan, melakukan lomba dengan tidak menghiraukan ikhtilat antar non-mahram, panggung hiburan yang tidak jarang menyuguhkan wanita yang memamerkan aurat dan sejenisnya yang mana semua itu jelas dilarang di dalam Islam.

Perlu diingat bahwa di dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan konstitusi bangsa Indonesia disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur. Artinya para pendiri bangsa ini adalah orang-orang yang memahami bahwasanya proklamasi negara yang akan mereka dirikan merupakan rahmat daripada Allah Swt lewat wasilah berupa tawakal (perjuangan) yang berdarah-darah selama puluhan bahkan ratusan tahun.

Dan rahmat Allah tentu hanya diberikan bagi mereka yang berbuat baik bukan bagi yang bermaksiat kepada-Nya seperti yang tertera di dalam Al-Qur’an;

{ وَلاَ تُفْسِدُواْ فِى الأرض } بالشرك والمعاصي { بَعْدَ إصلاحها } ببعث الرسل { وادعوه خَوْفًا } من عقابه { وَطَمَعًا } في رحمته { إِنَّ رَحْمَتَ الله قَرِيبٌ مِّنَ المحسنين } المطيعين

“(Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi) dengan melakukan kemusyrikan dan perbuatan-perbuatan maksiat (sesudah Allah memperbaikinya) dengan cara mengutus rasul-rasul (dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut) terhadap siksaan-Nya (dan dengan penuh harap) terhadap rahmat-Nya. (Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik) yakni orang-orang yang taat.” (Lihat Tafsir Jalalain Surah Al A’raf : 56).

Kemerdekaan yang merupakan rahmat daripada Allah itu tentu tidak akan dianugerahkan jika para pendiri bangsa ini melakukan kemaksiatan dan kesyirikan. Maka sebagai generasi pewaris kemerdekaan tentunya kita wajib menjaga anugerah berupa rahmat itu dengan tidak berbuat maksiat di dalam mengisi kemerdekaan. Dan ini bisa dimulai dari tingkat paling sederhana seperti tidak melakukan kegiatan tujuh belasan dengan melaksanakan acara-acara yang melanggar syariat Allah.

Ketaatan kepada Syariat Allah itu wajib dilaksanakan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Karena sebagai hukum dasar tertulis atau konstitusi tertulis, UUD 1945 mengandung pengertian, bersifat mengikat, baik bagi penyelenggara negara, lembaga negara, lembaga kemasyarakatan, maupun seluruh warga negara. Maka konstitusi negara ini mengamanahkan kepada seluruh masyarakat Indonesia agar taat kepada hukum Allah sebagai wujud rasa syukur akan kemerdekaan bangsanya yang merupakan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Bagi kalangan liberal yang alergi terhadap simbol-simbol yang berbau Islam, kita wajib mengingatkan agar mereka dan umumnya rakyat Indonesia paham bahwasanya bangsa ini memang tidak bisa lepas daripada simbol-simbol agama dan dalam hal ini tentunya didominasi oleh Islam. Sebab membicarakan Indonesia tanpa membicarakan Islam adalah bagaikan membahas ikan tanpa membahas air.

Ikan tanpa air maka akan mati karena ekosistem ikan adalah air. Sama dengan Indonesia, jangan pernah membahasnya tanpa membahas peran Islam di dalamnya.

Indonesia lahir dalam ekosistem umat Islam. Santri dan ulama adalah tokoh kunci di dalamnya. “Agama Muhammad,” tulis George Mc Turnan Kahin dalam karyanya,   Nationalism and Revolution in Indonesia, sebagaimana dikutip Bachtiar Effendi, bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, tapi juga merupakan simbol kesamaan nasib (in group) untuk menentang penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain.

Bahkan mulai dari pemilihan waktu pembacaan teks proklamasi pun Bung Karno memutuskannya berdasarkan nilai-nila Islam. Kiai Haji Abdoel Moekti, pimpinan Persyarikatan Moehamadijah Madiun mengatakan kepada Bung Karno bahwa 17 Agustus 1945, Jumat Legi tanggal 9 Ramadhan 1364 H adalah waktu yang baik untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Karena jika tidak dibacakan pada waktu yang dimaksud maka bangsa ini baru akan menemui waktu bagus itu 300 tahun yang akan datang.

Dan untuk lebih memantapkan hati maka Bung Karno juga menemui Hadratus Syekh Hasyim Asyari pengasuh Pesantren Tebuireng guna mencari dukungan bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dan Kiai Hasyim Asy’ari meyakinkan Bung Karno agar tidak perlu takut memproklamasikan kemerdekaan. (Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah jilid 2 Halaman 144).

Kepada Cindy Adams (1965), Bung Karno pernah menuturkan; “Tujuh belas angka suci. Pertama, kita di bulan suci Ramadan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Mengapa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam memerintahkan 17 rakaat, bukan 10, atau 20 ? Karena kesucian angka 17 bukan buatan manusia,” kata Bung Karno. (Soekarno : Sang Penyambung Lidah Rakyat halaman 207).

Bahkan pasca kemerdekaan, Menteri Agama KH Wahid Hasyim bersama tokoh Islam Anwar Tjokro Aminoto memiliki gagasan untuk mendirikan Masjid nasional sebagai perwujudan rasa syukur atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan pada tahun 1954, ide untuk membangun masjid nasional semakin matang dan akhirnya disampaikan kepada Presiden Soekarno.

Maka berdirilah masjid nasional kebanggaan bangsa Indonesia yang dinamakan Masjid Istiqlal alias kemerdekaan yang diambil dari bahasa Arab. Dari sini bisa disimpulkan bahwa para pendahulu kita adalah orang-orang yang sangat tahu bagaimana cara dan ekspresi mensyukuri kemerdekaan yang benar.

Yakni dengan cara mengagungkan syiar-syiar agama Allah agar rahmat Allah yang melandasi kemerdekaan bangsa ini tetap terpelihara karena barangsiapa yang bersyukur atas nikmat Allah maka Allah akan tambah nikmat tersebut. Habib Zein bin Ibrahim bin Smith di dalam kitabnya beliau mengatakan;

“Barangsiapa yang ridho dengan Islam sebagai agama (nya) maka hendaknya dia mengagungkan syi’ar-syiar Islam dan kesuciannya. Dan berusaha untuk menguatkannya, meneguhkannya, dan membuatnya kokoh, dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah (dengan) melakukan ketaatan kepadaNya dan meninggalkan apa yang dilarangNya (yakni tidak bermaksiat kepadaNya). Sesungguhnya orang-orang yang menyia-nyiakan perintah-perintah Allah yang melanggar batas-batas (larangan) Allah itu berpotensi besar mati dalam keadaan selain Islam (kafir). Telah berkata para orang arif, “Barangsiapa meremehkan adab akan dihukum dengan pengingkaran kepada sunah-sunah Nabi, barangsiapa meremehkan sunah-sunah Nabi akan dihukum dengan pengingkaran kepada hal-hal yang fardhu, barangsiapa meremehkan hal-hal fardhu akan dihukum dengan pengingkaran kepada iman, dan barangsiapa meremehkan kemaksiatan dan merasa ketagihan terhadapnya, dikhawatirkan kepadanya mati dalam keadaan jelek (su’ul khotimah). Dan itu semua adalah kesengsaraan dan pengkhianatan”. Ketahuilah wahai umat Islam sesungguhnya engkau jika keluar daripada dunia (mati) dan berada di atas Tauhid dan Islam maka engkau akan selamat daripada semua kejelekan dan memperoleh semua kebaikan untuk selamanya. Dan jika engkau keluar dari dunia (mati) dalam keadaan menyelisihi tauhid serta Islam maka engkau akan menyesal dengan penyesalan yang nyata dan binasa dengan sekuat -kuatnya. Allah berfirman wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.”

“Tidaklah mampu seorang manusia mematikan dirinya sendiri dalam keadaan Islam akan tetapi Allah telah menjadikan jalan bagi manusia untuk bisa mencapai keadaan itu yang mana jika mengambil jalan itu maka manusia itu sungguh telah mendatangi sesuatu yang ia berada di atasnya (Islam), yaitu dengan memilih kematian atas Islam, mencintainya dan mengharapkannya, senantiasa berdoa, dan memohon kepada Allah untuk dimatikan dalam keadaan Islam dan memperoleh ridho Nya. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa ridho Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam sebagai nabinya sungguh Allah benar-benar meridhoinya. Maka barangsiapa mati di atas keadaan itu sungguh dia telah mati di atas fitrah dan agama yang lurus yakni agama Nabi kita Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam dan di atas Milah Nabi Ibrahim Alaihis Salam yang mana Nabi Ibrahim berwasiat dengannya kepada anak cucunya dan Nabi Ya’qub Alaihis Salam bahwa sesungguhnya Allah telah memilih bagi kalian agama (Islam) maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan menjadi orang-orang Islam.” (Kitab Al Futuhatul Aliyah Fie Khutobil Minbariyah Lil Habib Zein bin Ibrahim bin Smith jilid 1 hal 12-13).

Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwasanya setiap orang yang mengaku beragama Islam wajib mengagungkan syiar-syiar serta kehormatan Islam serta berusaha menguatkan dan mengokohkannya. Jangan pernah sekali-kali meremehkannya karena bisa berakibat mati dalam keadaan su’ul khotimah dan kafir.

Padahal mati dalam keadaan Islam adalah hal yang sudah diwasiatkan secara turun-temurun oleh para Nabi termasuk oleh Nabi Ibrahim Alaihis Salam kepada anak cucunya (Ya’qub dan Bani Israel). Jika para pendahulu kita dahulu sudah sedemikian besarnya mengagungkan syiar-syiar Islam baik mulai dari pemilihan tanggal proklamasi dan sebagainya, maka kita di zaman ini juga wajib melakukan hal serupa dalam konteks yang sesuai.

Termasuk dalam hal paling sederhana yakni di acara tujuh belasan di tempat kita. Jangan sekali-kali merayakannya dengan bermaksiat yang artinya di satu sisi merendahkan syiar-syiar agama Allah.

Tugas kita sebagai generasi penerus tentunya adalah merawat ingatan akan hal ini agar bangsa ini tidak semakin jauh melenceng dari garis yang sudah digoreskan oleh para pendahulu kita. Jangan nodai jejak perjuangan leluhur kita dengan kemaksiatan di bulan kemerdekaan Indonesia ini dengan hal-hal yang tidak pantas.

Karena selain kurang ajar dan tidak beradab hal itu juga bisa membuat sedih para pejuang kemerdekaan di dalam kuburnya yang notabene sering kisah perjuangannya diteatrikalkan di atas panggung-panggung tujuh belasan konon demi mengenang jasa-jasa mereka. Wallahu A’lam Bis Showab.*

Oleh: Muhammad Syafii Kudo

Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan

HIDAYATULLAH

Wahai Umat Islam, Kemerdekaan Itu Milik Kita

INDONESIA memasuki usianya yang ke-73 tahun. Waktu yang cukup panjang dalam perjalanan sebuah bangsa yang merdeka. Meski banyak kalangan menilai bahwa di usianya yang ke-73 tahun ini, Indonesia belum maju dan rakyatnya banyak yang belum sejahtera, namun semangat nasionalisme haruslah tetap tertanam dalam jiwa rakyat.

Semangat nasionalisme rakyat antara lain tercermin dari semaraknya Sang Merah Putih yang terpasang di jalan-jalan dan rumah-rumah penduduk dalam memperingai hari kemerdekaan RI.

Hal itu barangkali juga karena kesadaran dan pemahaman tentang semangat nasionalisme yang memang diajarkan dan dianjurkan dalam Islam. Ada dalil dalam Alquran dan hadis yang menyebut keharusan setiap muslim memiliki sikap nasionalisme.

Imam Al Ghazali menjelaskan, dalam Alquran surah Ali Imran ayat 200 dikatakan “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”

Juga diriwayatkan dalam hadis sahih Al Bukhari, Rasulullah menegaskan, “Wahai manusia, janganlah kalian mengharapkan mencari musuh, mintalah kepada Allah keselamatan. Tetapi jika bertemu dengan mereka, bersabarlah dan ketahuilah bahwa surga di bawah naungan pedang.”

Kemudian beliau berdoa, “Ya Allah, yang menurunkan Al Kitab, yang menggerakkan awan, yang mengalahkan musuh yang berkomplot, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami atas mereka.”

Ghazali juga menyebut banyak ayat di Alquran dan hadis secara menyatakan jika bumi adalah milik Allah dan negara milik Allah, sehingga, manusia khususnya umat muslim punya kewajiban dalam menjaganya. Selain itu, Islam merupakan agama yang menentang penjajahan dengan alasan apapun.

Karena itu, Ghazali menyarankan agar umat muslim agar memperingati hari besar nasional, dengan penuh khidmat. “Umat Islam jangan berada di pinggir saja karena kemerdekaan milik kita,” tegasnya.

INILAH MOZAIK

 

 

Cek Pajak Motor dan Mobil Anda. Sangat membantu, ada alamat, nama pemilik nosin, noka,tahun pembuatan jenis kendaraan, rincian total yg harus di bayar. Silahkan Download dan Instal Aplikasi Android ini!

 

Jasa Sang Putra Fajar di Makam Imam Bukhari

BUNG Karno, sapaan akrabnya. Presiden pertama sebuah negara raksasa dalam ukuran, kerdil dalam penghargaan. Kenapa? Karena fakta seolah bungkam, fitnah lebih menarik ketimbang sejarah, dari yang berjasa menjadi tak ada harga, yang penjahat malah menjadi terhormat.

Itulah negeri ini, kaya tapi teraniaya, sumber daya berlimpah tapi kering muruah. Tak heran bila Bung Karno mengingatkan kita pada pidato di depan MPRS, 17 Agustus 1966, yang kemudian dikenal sebagai pidato Jasmerah dengan kalimatnya, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”.

Mereka berkata dia komunis, dipertanyakan keislamannya, bahkan pengkhianat negara dengan tuduhan terlibat dalam peristiwa berdarah G30SPKI karena Tjakrabirawa (pasukan pengawal presiden saat itu) merupakan pasukan yang membunuh para Jenderal Angkatan Darat.

Apakah benar? Seorang patriot sejati yang hingga akhir hayatnya memilih diam dan menerima hukuman yang tak layak dipikulnya demi tetap terjaganya kesatuan bangsa Indonesia. Betapa ia tak rela mengotori tanah ibu pertiwi dengan lumuran darah para rakyatnya. Biar ia saja yang berkorban, sang pahlawan yang berjuang demi Indonesia sedari muda hingga tutup usia.

Bung Karno, orator ulung yang tak hanya jago kandang tapi namanya bergema di seantero dunia. Dibuktikan pada tahun 1961, ketika sahabatnya, seorang pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet, Nikita Sergeyevich Khrushchev mengundang beliau ke Moskow dengan penuh harap dan kehormatan penuh.

Khrushchev seolah hendak menunjukkan pada Amerika Serikat bahwa Indonesia berdiri di belakang Uni Soviet. Bung Karno tahu dan tak mau menjerumuskan rakyatnya di posisi sulit apalagi menjadi boneka negara lain.

Dengan kepercayaan diri tinggi Bung Karno mengajukan satu syarat pada Khrushchev, “Saya mau datang ke Moskow dengan satu syarat mutlak yang harus dipenuhi. Tidak boleh tidak. Temukan makam Imam Al Bukhari. Saya sangat ingin menziarahinya.”

Itulah beliau, yang disebut komunis namun memperjuangkan sila ketuhanan dalam Pancasila, yang disebut komunis namun menjadikan ziarah makam Imam besar ahli hadis umat Islam sebagai syarat kepada penguasa tertinggi negeri komunis, Uni Soviet.

Setelah mendengar syarat tersebut, betapa sibuknya Khrushchev memerintahkan seluruh pasukan terbaiknya demi mencari makam sang Imam. Hingga ia putus asa dan meminta Soekarno mengganti dengan syarat lainnya.

Apakah Soekarno mengganti permintaannya? Tidak, tidak sama sekali. Ia malah membuat gendang telinga Khrushchev panas dengan jawaban tegasnya, “Kalau tidak ditemukan, ya sudah, saya lebih baik tidak usah datang ke negara Anda.”

Dan untuk kedua kalinya Khrushchev menyebar orang-orang terbaiknya di tiap penjuru Samarkand hingga ditemukanlah makam Imam Al Bukhari melalui informasi para tetua Muslim di sana.

Ketika ditemukan, betapa memprihatinkannya keadaan makam tersebut, rusak dan tak terawat. Khrushchev segera memerintahkan agar pemakaman dibersihkan dan dipugar secantik mungkin. Bahkan dibuat sebuah jalan beraspal menuju ke tempat makam demi lancarnya perjalanan “Putra Sang Fajar” ketika menziarahi makam sang Imam nantinya.

Setelah Khrushchev mengabarkan bahwa makam telah ditemukan, tibalah Bung Karno di Samarkand pada 12 Juni 1961, dengan kereta api setelah mendarat di Moskow terlebih dahulu. Puluhan ribu orang menyambut kehadiran Pemimpin Besar Revolusi Indonesia ini sejak dari Tashkent.

Setibanya di pemakaman pada malam hari, seolah ada magnet antara beliau dan Imam Al Bukhari. Ribuan hadis yang dijaga dan dibagikan oleh sang Imam seolah menyihir Bung Karno untuk bersimpuh penuh hormat dan langsung melantunkan ayat-ayat suci Alquran hingga fajar terbit tanpa tidur sekejap pun.

Seusai menggenapkan ziarahnya, ia meminta agar pemerintah Uni Soviet dapat benar-benar menjaga dan memperbaiki makam sang Imam hadis dengan lebih layak. Bila tidak berkenan atau tidak mampu, biarkan beliau memindahkan makam tersebut ke Indonesia dengan tawaran emas seberat makam Imam Bukhari akan diberikan sebagai gantinya.

Setelah Khrushchev mendapat saran dari penasihatnya bahwa pemindahan makam seorang saleh ke tempat lain dapat mendatangkan bala bencana bagi Uni Soviet maka Khrushchev menyanggupi untuk menjaga dan memugar makam tersebut.

Kini, makam Imam Al Bukhari di Uzbekistan, negara pecahan Uni Soviet menjadi salah satu situs sejarah Islam yang menyedot kunjungan turis seluruh dunia. Bahkan warga negara Indonesia yang berkunjung mendapat hak istimewa yakni dibolehkan masuk ke dasar bangunan, tempat disemayamkannya jasad sang Imam, padahal bagian tersebut tertutup untuk umum.

Hal ini karena kebesaran nama Bung Karno di dunia khususnya Eropa Timur begitu membekas di hati para rakyatnya. Ucapan terima kasih dan doa senantiasa mengalir kepada beliau atas jasanya melakukan restorasi dan renovasi makam Imam Al Bukhari.

Bahkan tak berlebihan jika segenap umat Muslim turut menghargai jasa beliau. Jasa seseorang yang disebut komunis, yang malah mensyaratkan pada pimpinan tertinggi Negara Komunis untuk menemukan dan menjaga makam Al Bukhari, Sang Imam Hadis. Benar-benar paradoks yang menggelikan.

Bung Karno, semoga kami mampu memaknai arti dari sejarah, perjuangan, pengorbanan dan bentuk terima kasih melalui perbuatan. Salam kemerdekaan untukmu yang berjuang meraih kemerdekaan, dari kami yang berjuang mempertahankan kemerdekaan. [DOS]

 

MOZAIK

Apa Hukumnya Hormat kepada Bendera?

Peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai perlombaan digelar guna memeriahkan peringatan HUT RI. Tiap tanggal 17 Agustus juga digelar upacara bendera guna memperingati peristiwa bersejarah tersebut.

Ada hal kecil yang menjadi diskusi hangat di kalangan umat soal upacara bendera. Utamanya soal kebolehan menghormat kepada bendera. Benarkah hormat bendera adalah sesuatu yang harus dipersoalkan?

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah pernah menjawab pertanyaan salah satu warga soal hukum menghormat bendera. Majelis Tarjih menerangkan terlebih dahulu secara umum. Pertama, dalam agama ada aspek-aspek yang berkaitan dengan akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Masing-masing mempunyai dimensi peran, meskipun secara substansial merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah.

Menurut Majelis Tarjih, menjadi warga negara yang baik adalah termasuk dalam bidang muamalah. Dan jika mempunyai misi untuk memperkokoh persatuan dan menghindari perpecahan, perilaku ini bisa bernilai ibadah yang dimotivasi oleh akhlak yang mendorong kepada perbuatan baik dan terpuji. Sementara akidah memengaruhi manusia untuk berpandangan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah nisbi karena hanya Allah-lah yang Maha Mutlak.

Selanjutnya, soal bendera merah putih, secara aturan nasional bendera nasional adalah alat pemersatu bangsa. Bendera merah putih diatur dalam UUD 1945.

Soal “hormat-menghormati”, hal tersebut bisa dilakukan dan diekspresikan dengan berbagai cara. Misalnya, mengangkat tangan, melambaikan tangan, berdiri, menundukkan badan atau kepala, mencium seperti mencium Hajar Aswad di dalam tawaf, dan lain-lain.

 

Di dalam peristiwa mencium Hajar Aswad, atau cukup dengan melambaikan tangan, merupakan perbuatan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam rangkaian ibadah tawaf. Sedangkanmenghormati bendera, kata Majelis Tarjih, merupakan perbuatan muamalah yang diatur oleh ulul amri (penguasa) dalam peristiwa-peristiwa tertentu.

Perbuatan mencium Hajar Aswad dan menghormati bendera, meskipun terjadi dalam peristiwa yang berbeda, namun memiliki illah yang sama yaitu menghormati. Oleh karena itu, bisa berdampak hukum yang sama jika dilakukan dalam konteks penyimpangan akidah sehingga bisa jatuh dalam kemusyrikan.

Di sinilah pentingnya meluruskan niat dalam setiap perbuatan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, mana yang akidah, ibadah, dan muamalah. Sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi, “Setiap perkara bergantung kepada maksud mengerjakannya.”

Sehingga tidak harus mencampurkan antara bidang muamalah dengan akidah, sepanjang niatnya semata-mata menghormati bendera sebagai satu peranti persatuan dan kesatuan bangsa. Hal yang sama bisa juga dilihat dalam konteks firman Allah kepada Malaikat untuk bersujud kepada Adam.

Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur…” (QS al-Baqarah [2]: 34)

Sujud dalam ayat di atas adalah menghormati Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan itu hanyalah semata-mata kepada Allah. Artinya, jika dimaknai dan diniatkan sebagai bagian muamalah saja, maka hukumnya tak bisa disamakan dengan bab akidah yang bisa merusak keimanan.

Soal bendera sendiri, Lembaga Fatwa Mesir menjelaskan, jika pada zaman Rasulullah SAW bendera juga sudah lazim digunakan. Saat itu Rasulullah SAW memiliki bendera bernama rayah, lima (panji), dan ‘alam.

Sejumlah ulama hadis juga membuat bab khusus soal bendera dan panji-panji seperti Imam Abu Daud dengan judul Bab fi al-Rayat wa al-Alwiyah, Imam Tirmizi dengan judul Bab Ma Ja’a fi al-Alqiyah.

Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathu Bari menjelaskan, Rasulullah SAW ketika dalam peperangan menyerahkan sebuah panji kepada setiap pemimpin kabilah. Masing-masing dari mereka berperang di bawah panji tersebut.

Bendera dalam perang juga mendapat kedudukan tinggi. Sebab, berdirinya panji-panji tersebut menandakan pasukan masih tegar berdiri. Sementara, jika panji tersebut roboh maka bisa dianggap pasukan tersebut kalah.

Imam Bukhari meriwayatkan, dari Anas bin Malik RA, Nabi SAW bersabda, “Saat perang Mu’tah, Awalnya panji dibawa oleh Zaid lalu ia terluka. Kemudian diambil Ja’far kemudian ia terluka. Kemudian diambil Abdullah bin Rawahah, kemudian ia terluka. Kemudian bendera diambil Khalid bin Walid lalu ia berhasil memenangkan perang.”

Lembaga Fatwa Mesir akhirnya berpendapat jika praktik menghormat kepada bendera tidak mengapa. Hormat bendera dengan isyarat tangan atau dalam bentuk tertentu masuk dalam kategori tradisi (adah). Sebabnya adah adalah perbuatan yang sering diulang-ulang sehingga ia sangat mudah dilakukan tanpa rasa canggung sama sekali. Hukum asal soal ini adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya.

 

Oleh Hafidz Muftisanny

Sang Saka Merah Putih Terinspirasi Bendera Rasul?

WARNA Merah dan Putih ternyata juga melekat erat dengan atribut Rasulullah. Seperti yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah yang berkata:

“Saya ketika itu melihat Nabi berpakaian merah. Kemudian saya membandingkannya dengan melihat bulan. Ternyata dalam pengamatan saya, beliau lebih indah daripada bulan.” (HR. Abu Yala dan Al-Baihaqi).

Dan juga yang diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah yang berkata, “Pakaian yang paling utama adalah pakaian yang berwarna putih karena Nabi bersabda, Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang berwarna putih. Gunakanlah sebagai pakaian kalian dan kain kafan kalian.” (al Mughni, 3/229).

Bahkan Rasulullah juga pernah bersabda seperti yang dijelaskan oleh Imam Muslim, “Allah menunjukkan kepadaku bumi. Aku ditunjukkan pula Timur dan Baratnya. Allah menganugerahkan kepadaku warna yang indah. Yaitu Al Ahmar Wal Abyadh (Merah dan Putih).” (Kitab Al Fitan Jilid X hal. 340).

Dan atas dasar inilah para Ulama yang notabene adalah motor utama perintis kemerdekaan bangsa ini sejak abad ke-7 M mulai mengembangkan bendera merah putih menjadi bendera umat Islam yang merupakan komponen mayoritas bangsa Indonesia.

Mereka juga mulai membudayakan warna merah dan putih sebagai lambang penyambutan kelahiran bayi dan tahun baru Islam dengan bubur merah putih. Dan dilazimkan pula pada saat membangun rumah agar dikibarkan bendera Merah Putih di bubungan atap rumah yang sedang dibangun. (Api Sejarah, karya Prof.Ahmad Mansur Suryanegara )

Warna Merah dan Putih sebenarnya juga sangat erat dengan unsur kehidupan manusia dan lingkungan tempatnya hidup. Unsur darah dalam tubuh manusia juga terdiri dari dua unsur utama, sel darah merah dan sel darah putih.

Secara Geologi, warna merah dan putih juga mewakili 2 unsur alami di bumi, yaitu yang terpanas berwarna merah (lava/isi perut bumi dan gunung) dan yang terdingin adalah salju yang berwarna putih.

Secara optik, Merah adalah warna dengan frekuensi cahaya paling rendah yang masih mampu ditangkap oleh mata manusia dengan panjang gelombang 630-760 nm. Di sisi lain, bila seluruh warna dasar digabung dengan porsi dan intensitas yang sama, maka akan terbentuk warna Putih yang merupakan warna dasar.

Cahaya Merah juga merupakan cahaya yang pertama diserap oleh air laut, sehingga banyak ikan dan invertebrata kelautan yang berwarna Merah. Di sisi lain, riak gelombang air laut selalu terlihat berwarna Putih.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa warna Merah Putih itu merupakan simbolisasi dari laut itu sendiri. Tak heran, jika Indonesia yang merupakan negara maritim/negara kepulauan memilih untuk memiliki bendera Merah Putih.

Melihat berbagai fakta tersebut, kita dapat mengetahui bahwa ternyata bangsa ini bukan hanya besar secara jumlah penduduk dan potensi sumber daya alamnya saja, namun juga besar secara cita-cita filosofisnya.

Hal ini dibuktikan salah satunya dengan pemilihan warna benderanya yang merupakan “warna bendera Rasulullah” (mengutip pernyataan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara) yang mengandung nilai-nilai filosofi yang tinggi.

Dan tugas kita sebagai anak bangsa selanjutnya adalah meneruskan estafet perjuangan dan mewujudkan cita-cita mulia para “datuk” perintis bangsa ini. Dengan semangat Merah Putih tentunya. [Musyaf Senyapena]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2317207/sang-saka-merah-putih-terinspirasi-bendera-rasul#sthash.QFMw8vCR.dpuf