Para pengusung paham khilafah transnasional seringkali bertendensi pada beberapa hadis untuk menguatkan pandangannya. Mereka juga sering bertendensi kepada pendapat para ulama yang waktu dan kondisi ulama itu hidup dengan zaman ini sudah berbeda jauh.
Di Indonesia paham ini terwakili oleh beberapa kelompok, salah satunya yang masih hangat adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka mengagendakan paham khilafah transnasional dan beranggapan bahwa Indonesia adalah tempat yang tepat untuk memulainya.
Dalam memuluskan rencananya ini mereka berpegangan kepada kesuksesan salah satu “khilafah” (sengaja diberi tanda petik) yang runtuh hampir satu abad yang lalu, Dinasti Utsmaniyyah.
Sebagaimana diketahui Dinasti Utsmaniyyah tidak bisa disebut khilafah karena beberapa hal. Paling tidak ada dua alasan. Pertama, sistem warisan kepemimpinannya adalah mamlakah (kerajaan) yakni anak mewarisi tahta ayahnya.
Kedua, ketika itu ada dua dinasti Islam lainnya, Syafawiyyah dan Moghul yang berkonsekuensi tidak ada baiat dari mayoritas muslimin. Maka Utsmaniyyah bukan khilafah.
Dalih selanjutnya yang biasa digunakan oleh pengusung paham ini adalah hadis berikut:
من خرج عن الطاعة وفارق الجماعة فمات فميتته ميتة جاهلية
“Barangsiapa tidak mematuhi pemimpin dan memisahkan diri dari jamaah kemudian ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah.”
Jahiliyyah adalah terma yang diusung oleh kelompok ini. Narasi ini hendak memberitahu kepada umat Islam bahwa umat Islam sedang dilanda keruntuhan moral dari segala macam bidang, kondisi ini mereka sebut dengan jahiliyyatul alam, barbarisme alam semesta.
Dengan sendirinya mereka mengusulkan sistem alternatif untuk menanggulangi fenomena ini: khilafah. Apakah benar hadis di atas memberi indikasi kewajiban khilafah? Mari menyimak pendapat para ulama.
Muhammad bin Ismail al-Shan’ani dalam karyanya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram (4/76) menjelaskan bahwa ancaman yang terkandung dalam hadis di atas adalah kepada orang yang tidak mematuhi pemimpin yang sudah disepakati semua umat.
Nah, menurut beliau, karena umat Islam sejak pertengahan Daulah Abbasiyyah hingga masa beliau hidup (bahkan hingga saat ini) tidak pernah memakai sistem khilafah tunggal lagi, maka hadis itu ditujukan kepada pemimpin masing-masing negara.
Dalam arti tidak diwajibkan adanya pemerintahan tunggal (ittihad al-duwal). Alasannya, menurut beliau, andai hadis ini dimaknai khilafah tunggal maka faidah hadis ini akan berkurang. Tentu hal itu tak patut jadi keyakinan seorang muslim.
Lebih lanjut, al-Syaukani dalam al-Sail al-Jarrar (hlm. 941, cet. Dar Ibn Hazm) berpendapat bahwa kondisi meluasnya kaum muslim setelah zaman para Sahabat, Tabiin, serta Tabiut Tabiin memang secara keniscayaan mengharuskan banyaknya pemerintahan.
Bahkan, menurut beliau, mendirikan pemerintahan tunggal adalah sebuah wujud taklif bi ma la yuthaq, menuntut hal yang mustahil dilakukan, yang mana dalam kaca mata Ushul Fiqh hal ini tidak mungkin terjadi. Lebih ekstrem beliau berkata:
ومن أنكر هذا فهو مباهت لا يستحق أن يخاطب بالحجة لأنه لا يعقلها
“Barangsiapa mengingkari hal ini, maka ia adalah penyebar kebohongan yang sudah tidak perlu lagi diberi dalil karena ia tak mau memahaminya.”
Yang menarik di sini beliau menggunakan redaksi baahata yang dalam Mu’jam al-Wasith bermakna mendorong seseorang untuk menerima kebohongan (istaqbalahu bil buhtaan). Jadi Imam Syaukani sudah meramalkan bahwa para penyeru paham ini adalah penyebar hoaks.
Namun terlepas dari itu, sebagai warga NU kini kita punya jawaban jika dituduh mengkhianati khazanah sendiri. Kita sampaikan fakta bahwa Utsmaniyah bukanlah khilafah, dan kita sodorkan referensi Imam Shan’ani dan Imam Syaukani di atas. Jika mereka mengingkari, maka mereka memang sudah tidak mau memahami dalil secara jernih, seperti kata Imam al-Syaukani.