Tiga Hadits tentang Khilafah yang Disalahpahami

Berikut tiga hadits khilafah yang disalahpahami. Lebih jauh lagi, hadits tentang khilafah ini sering dijadikan legitimasi untuk berdirinya khilafah. Berikut pelbagai hadits tentang khilafah tersebut.

Kasus penangkapan Abdul Qadir Baraja, pendiri Khilafatul Muslimin. Organisasi tersebut ia dirikan tahun 1997. Isu aksi konvoi yang dilakukan di Brebes oleh anggotanya dari wilayah Semarang pada 29 Mei 2022 dan konvoi di Jakarta Timur meresahkan masyarakat. Hingga akhirnya penangkapan dilakukan oleh tim Polda Metro Jaya kepada Abdul Qadir Hasan Baraja (AQHB) pada 7 Juni 2022.

Meski memiliki motif  dan cara  yang berbeda dengan HTI dalam mengkampanyekan ide khilafah, Khilafatul Muslimin juga memiliki cita-cita dan ideologi yang sama. Bahkan, konsep mereka bukan sekedar dalam bayangan tapi dipraktikkan dengan melakukan baiat kepada AQHB dan mengakui kekhalifahannya. Cita-cita mendirikan negara Islam sudah lama diimpikan sejak para Founding Father memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Tentu berdasarkan pengakuan mereka, ada dalil yang dijadikan pijakan oleh mereka atas semangat bercita-cita mendirikan khilafah baik dari Alquran maupun hadis. Kali ini, penulis menghimpun tiga hadis yang sering menjadi legitimasi berdirinya khilafah atau negara Islam oleh beberapa kelompok.

Tiga Hadits tentang Khilafah yang Disalahpahami
Hadits Pertama

Hadits tentang khilafah yang pertama yang sering disalahpami adalah hadits yang disampaikan melalui penuturan Sahabat Jarir bin Abdillah r.a;

أنا بريء من كل مسلم يُقيم بين أَظْهُرِ المشركين». قالوا: يا رسول الله لم؟ قال: «لا تَرَاءَى نَارَاهُما

Artinya: Aku berlepas dari diri setiap Muslim yang hidup di tengah-tengah orang musyrik. Tidak akan terkumpul dua api mereka berdua.” (H.R Abu Daud dan At-Tirmizi)

Secara sanad hadis ini memang shahih. Akan tetapi, teks hadis ini tidak utuh sehingga mengaburkan pemahaman. Beberapa kelompok pengusung negara Islam seperti ISIS, hadis ini dipromosikan oleh mereka untuk memaksakan ideologi khilafah. Padahal, konteksnya justru berbalik dari yang mereka maksudkan.

Dalam buku “Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis”, hadis ini perlu dibaca secara utuh dan dilihat sebab lahirnya hadis ini.

Begini redaksi lengkapnya,

أَنَّ النَبِيَّ صَلّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ خَالِد بن الوَلِيد إِلى أُنَاس مِنْ خَثْعَمَ فَاعْتَصَمُوا بِالسجود فَقَتَلَهُم فَوَادَهم النبي صَلَّى الله عَلَيهِ و سَلَّمَ بِنِصْفِ الدِّيَةِ ثُمَّ قَالَ: أَنَا بَريءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ مَعَ مُشْرِكٍ لَا تَرَاءى نَارَاهُمَا.

Artinya: Nabi saw. mengirimkan pasukan perang ke suku Khats’am yang dipimpin oleh Khalid Ibn al-Walid. Sesaat tentara Muslim tiba di daerah suku Khats’am, sebagian penduduk suku tersebut langsung sujud di hadapan pasukan Khalid Ibn al-Walid untuk menandakan bahwa mereka menyerah.

Namun pasukan Muslim tetap membunuh sebagian suku Khats’am. Akhirnya berita ini sampai ke telinga Nabi Muhammad SAW dan beliau berpesan;

‘Bayarlah setengah diyat untuk mereka yang sudah sujud tadi itu. Namun saya tidak bertanggung jawab pada setiap Muslim yang tinggal bersama orang-orang musyrik, karena api peperangan sulit disatukan.

Hadis ini justru memberi peringatan dan keadilan kepada suku Khats’am yang sebagian dibunuh oleh pasukan Khalid bin Walid. Nabi memerintahkan pasukan muslim untuk membayar denda kepada sebagian mereka karena barangkali mereka telah masuk Islam karena sujudnya itu, terlepas dari adanya dugaan manipulatif.

Tapi Nabi tidak menyarankan muslim untuk tinggal bersama orang-orang musyrik karena sulitnya membedakan muslim dengan musyrik dan rentan terjadinya konflik.

Hadits Kedua

Hadits yang bersumber melalui penuturan Sahabat Nu’man bin Basyir,

كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ، فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ، فَقَالَ: يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي الْأُمَرَاءِ؟ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ، فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ، فَقَالَ حُذَيْفَةُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ

Artinya: Kami duduk di masjid bersama Basyir bin Sa’ad, bapak dari Nu’man bin Basyir, seorang yang hafalan haditsnya terpelihara. Abu Tsa’labah datang tiba–tiba dan bertanya kepasa Basyir, ‘Apakah kamu hafal hadis tentang kepemimpinan? Huzaifah yang kebetulan duduk di samping Basyir menjawab, Saya hafal khutbah Nabi soal itu.’

Abu Tsa’labah langsung duduk dekat Huazaifah dan ia pun mengisahkan Rasulullah SAW pernah berkata, ‘Masa kenabian akan dimunculkan Tuhan dan dihilangkan sesuai dengan kehendaknya.

Setelah itu, datang masa kekhilafahan yang mengikuti metode kenabian dan Allah Swt pun menghilangkannya dan kekhalifahan tersebut diganti dengan sistem kerajaan despotis. Sistem kerajaan despotis pun dihilangkan Tuhan dan muncul setelah itu penguasa tiran.

Tirani ini pun pada akhirnya lenyap dan kemudian baru muncul kekhalifahan yang mengikuti model kenabian” (H.R Ahmad bin Hanbal)

Mari kita telusuri status hadis ini berdasarkan sanad dan matan. Secara sanad, sebagian ulama mengatakan hadis ini dhaif dan tidak sedikit pula yang menyatakan hasan. Meskipun hadis ini bersambung sampai Rasulullah, kredibilitas para perawinya menuai kritik.

Hadis ini bersumber dari penuturan dua sahabat, Nu’man bin Basyir dan Tsa’labah. Melalui mereka, beberapa periwayatnya memiliki catatan kritik. Seperti Habib bin Salim yang bertemu dengan Nu’man bin Basyir yang dalam catatan Imam Bukhari bahwa ia dinilai dengan redaksi “fihi nadzar” yang masuk pada kategori jarh (kelemahan).

Adapun Ibnu Hajar menyatakan “La ba`sa bih” yang artinya kredibilitasnya “tidak terlalu kuat”. Sedangkan Abu Daud dan Abu Hatim menyatakan tsiqqah yang berarti kredibel dan masuk pada kategori ta’dil (kekuatan). Tapi dalam ilmu hadis, penilaian jarh didahulukan atas ta’dil.

Adapun berdasarkan isinya, memahami hadis ini perlu ilmu. Hadis ini merupakan hadis futuristik, ramalan Nabi yang merupakan mukjizat dari Allah tentang masa depan. Hadis ini bukan perintah untuk mewujudkannya.

Seperti penjelasan Mulla ‘Ali al-Qari (w. 104 H) misalnya, memaknai hadis ini dengan maksud bahwa khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah hanya akan terwujud ketika turunnya Nabi Isa dan Imam Mahdi.

Adapun ulama moderat menafsirkan hadis ini hadis yang menunjukkan keistimewaan Nabi yang bisa mengetahui fenomena ghaib. Makna hadis ini adalah makna transformasi kepemimpinan dari masa ke masa yang sama sekali tidak diwariskan secara mutlak konsepnya oleh Nabi. Dari masa ke masa, jenis kepemimpinan pun berubah.

Hadits Ketiga

Hadits riwayat Muslim melalui penuturan Sahabat Abu Hurairah,

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُر. قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟  قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُم

“Pada awalnya, Bani Israil diurus dan dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi meninggal, akan digantikan dengan Nabi yang lainnya. Sesungguhnya tidak akan ada Nabi setelahku, melainkan akan ada banyak khalifah.

Para ṣahabat bertanya, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasulullah bersabda:  Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka haknya. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka atas apa yang mereka lakukan.” ”(H.R. Muslim).

Status hadits ini shahih tapi memahaminya tidak bisa tekstual. Imam Nawawi menjelaskan larangan dualisme kepemimpinan. Melihat substansinya, Prof. Nadirsyah Hosen memaknai hadis ini berlaku saat Islam belum berkembang luas seperti saat ini.

Kekhalifahan yang sudah tidak berlaku seperti jaman Nabi dan Khulafaur Rasyidin menunjukkan bahwa hadits ini tidak bisa lagi diterapkan. Bahkan setelah itu yang muncul adalah dinasti-dinasti.

Demikian tiga hadis yang sering menjadi legitimasi berdirinya khilafah. Menegaskan bahwa hadis-hadis tersebut harus secara holistik atau menyeluruh.

BINCANG SYARIAH

Kekeliruan HTI Pahami Hadis Taat pada Khalifah

Para pengusung paham khilafah transnasional seringkali bertendensi pada beberapa hadis untuk menguatkan pandangannya. Mereka juga sering bertendensi kepada pendapat para ulama yang waktu dan kondisi ulama itu hidup dengan zaman ini sudah berbeda jauh.

Di Indonesia paham ini terwakili oleh beberapa kelompok, salah satunya yang masih hangat adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka mengagendakan paham khilafah transnasional dan beranggapan bahwa Indonesia adalah tempat yang tepat untuk memulainya.

Dalam memuluskan rencananya ini mereka berpegangan kepada kesuksesan salah satu “khilafah” (sengaja diberi tanda petik) yang runtuh hampir satu abad yang lalu, Dinasti Utsmaniyyah.

Sebagaimana diketahui Dinasti Utsmaniyyah tidak bisa disebut khilafah karena beberapa hal. Paling tidak ada dua alasan. Pertama, sistem warisan kepemimpinannya adalah mamlakah (kerajaan) yakni anak mewarisi tahta ayahnya.

Kedua, ketika itu ada dua dinasti Islam lainnya, Syafawiyyah dan Moghul yang berkonsekuensi tidak ada baiat dari mayoritas muslimin. Maka Utsmaniyyah bukan khilafah.

Dalih selanjutnya yang biasa digunakan oleh pengusung paham ini adalah hadis berikut:

من خرج عن الطاعة وفارق الجماعة فمات فميتته ميتة جاهلية

“Barangsiapa tidak mematuhi pemimpin dan memisahkan diri dari jamaah kemudian ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah.”

Jahiliyyah adalah terma yang diusung oleh kelompok ini. Narasi ini hendak memberitahu kepada umat Islam bahwa umat Islam sedang dilanda keruntuhan moral dari segala macam bidang, kondisi ini mereka sebut dengan jahiliyyatul alam, barbarisme alam semesta.

Dengan sendirinya mereka mengusulkan sistem alternatif untuk menanggulangi fenomena ini: khilafah. Apakah benar hadis di atas memberi indikasi kewajiban khilafah? Mari menyimak pendapat para ulama.

Muhammad bin Ismail al-Shan’ani dalam karyanya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram (4/76) menjelaskan bahwa  ancaman yang terkandung dalam hadis di atas adalah kepada orang yang tidak mematuhi pemimpin yang sudah disepakati semua umat.

Nah, menurut beliau, karena umat Islam sejak pertengahan Daulah Abbasiyyah hingga masa beliau hidup (bahkan hingga saat ini) tidak pernah memakai sistem khilafah tunggal lagi, maka hadis itu ditujukan kepada pemimpin masing-masing negara.

Dalam arti tidak diwajibkan adanya pemerintahan tunggal (ittihad al-duwal). Alasannya, menurut beliau, andai hadis ini dimaknai khilafah tunggal maka faidah hadis ini akan berkurang. Tentu hal itu tak patut jadi keyakinan seorang muslim.

Lebih lanjut, al-Syaukani dalam al-Sail al-Jarrar (hlm. 941, cet. Dar Ibn Hazm) berpendapat bahwa kondisi meluasnya kaum muslim setelah zaman para Sahabat, Tabiin, serta Tabiut Tabiin memang secara keniscayaan mengharuskan banyaknya pemerintahan.

Bahkan, menurut beliau, mendirikan pemerintahan tunggal adalah sebuah wujud taklif bi ma la yuthaq, menuntut hal yang mustahil dilakukan, yang mana dalam kaca mata Ushul Fiqh hal ini tidak mungkin terjadi. Lebih ekstrem beliau berkata:

ومن أنكر هذا فهو مباهت لا يستحق أن يخاطب بالحجة لأنه لا يعقلها

“Barangsiapa mengingkari hal ini, maka ia adalah penyebar kebohongan yang sudah tidak perlu lagi diberi dalil karena ia tak mau memahaminya.”

Yang menarik di sini beliau menggunakan redaksi baahata yang dalam Mu’jam al-Wasith bermakna mendorong seseorang untuk menerima kebohongan (istaqbalahu bil buhtaan). Jadi Imam Syaukani sudah meramalkan bahwa para penyeru paham ini adalah penyebar hoaks.

Namun terlepas dari itu, sebagai warga NU kini kita punya jawaban jika dituduh mengkhianati khazanah sendiri. Kita sampaikan  fakta bahwa Utsmaniyah bukanlah khilafah, dan kita sodorkan referensi Imam Shan’ani dan Imam Syaukani di atas. Jika mereka mengingkari, maka mereka memang sudah tidak mau memahami dalil secara jernih, seperti kata Imam al-Syaukani.

BINCANG SYARIAH

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (5)

Khilafah, Hadiah untuk Hamba-Nya yang Bertauhid

Dengan kembali kepada ajaran tauhid-lah, umat Islam ini akan kembali menemukan kejayaannya sebagaimana yang pernah diraih oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya dahulu. Allah Ta’ala telah berjanji kepada hamba-Nya, bahwa Allah akan memberikan kejayaan kepada ahli tauhid. Allah Ta’ala berfirman dalam rangka menjelaskan hal ini,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia akan benar-benar menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku.” (QS. An-Nuur [24]: 55).

Di dalam ayat ini terdapat sesuatu yang dijanjikan, orang yang mendapat janji, dan kondisi (syarat) dimana janji tersebut dipenuhi. Adapun orang yang mendapat janji, mereka adalah orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih”, mereka adalah orang-orang yang mendapat janji.

Adapun sesuatu yang dijanjikan adalah tiga hal:

  1. Sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi”. Maksudnya, jika mereka tidak memiliki kekuasaan, maka dalam jangka waktu yang panjang atau pendek, Allah Ta’ala akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Allah Ta’ala telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa.
  2. Kemudian Allah Ta’ala berfirman tentang janji yang kedua yang artinya,“Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka”. Masalah terbesar yang diusahakan dan diinginkan oleh orang-orang yang beriman adalah mereka dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh keteguhan. Mereka tidak takut dan tidak merasa lemah di dalam melaksanakan agama Allah Ta’ala. Bahkan mereka adalah orang-orang yang dihormati. Itu semua sesuai dengan janji Allah Ta’ala.
  3. Adapun janji yang ketiga adalah firman-Nya yang artinya,“Dan Dia akan benar-benar menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa”. Setelah mereka merasakan sedikit ketakutan serta setelah Allah Ta’ala memenangkan dan meneguhkan agama mereka, maka setelah adanya ketakutan itu mereka menjadi aman sentosa. Mereka merasa aman terkait diri mereka sendiri, agamanya, anak-anak mereka, kehormatan mereka, dan terkait harta-harta mereka semua. Semua ini adalah karunia dan janji dari Allah Ta’ala.

Sedangkan kondisi (syarat) orang yang mendapat janji dijelaskan oleh kalimat berikutnya dalam firman Allah Ta’ala yang artinya,”Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku”. Maksudnya, ketika Allah menjadikan mereka berkuasa di bumi,meneguhkan bagi mereka agama merekadanmenukar keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, bagaimana kondisi mereka ketika itu dan sebelumnya? Yaitu bahwa mereka tetap menyembah Allah dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah Ta’ala.

Ini adalah pengaruh tauhid yang terbesar bagi manusia dalam konteks masyarakat dan negara. Yaitu kalau mereka menyembah Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, meyakini kebenaran tauhid dan menjauhi kesyirikan, maka mereka dijanjikan akan dibukakan anugerah dari Allah Ta’ala untuk mereka dengan ketiga hal ini. Demikian pula, akan dibukakan berkah untuk mereka dari langit dan dari bumi. Allah pun akan meluaskan rizki mereka. Sehingga mereka berada dalam kehidupan yang baik dan damai. [1]

Ayat ini seharusnya menjadi renungan bagi para da’i dan seluruh aktivis dakwah dan tokoh-tokoh Islam, bahwa kejayaan Islam yang mereka impi-impikan itu dapat diraih jika kaum muslimin mentauhidkan Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Sedangkan kondisi kaum muslimin yang seperti itu tidaklah mungkin dapat diraih kecuali dengan memberikan perhatian serius terhadap dakwah tauhid, membina kaum muslimin dengan aqidah tauhid, serta membentengi umat ini dari segala hal yang menjadi lawan dari tauhid tersebut.

Hal ini pun telah terbukti pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejak awal beliau berdakwah, beliau tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bahkan hanya sebagai sarana dakwah pun tidak. Namun, beliau tetap konsisten membina sahabatnya di atas aqidah tauhid selama bertahun-tahun di kota Mekah. Bahkan beliau rela hijrah ke Madinah karena kejahatan luar biasa kaum Quraisy Mekah terhadap beliau dan para sahabatnya demi menyelamatkan aqidah tauhid yang ada dalam hati mereka.

Pada saat itu, beliau tidak menyerukan untuk berjihad dan lebih memilih hijrah karena kondisi kaum muslimin yang memang masih lemah. Dengan penuh ketekunan, keuletan, dan kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam men-tarbiyah (membina) sahabatnya di atas tauhid sehingga semakin kuatlah tauhid tersebut menancap dalam dada kaum muslimin saat itu. Dan pada saat itulah, Allah Ta’ala membuktikan janji-Nya dengan membukakan kemenangan demi kemenangan kepada kaum muslimin sehingga mereka menjadi umat yang disegani di muka bumi ini. Kekuasaan mereka pun meluas dari jazirah Arab sampai Andalusia (Spanyol). Siapakah yang mengingkari fakta sejarah ini?

Sekarang, marilah kita melihat kondisi kaum muslimin saat ini. Ketika mereka meninggalkan ajaran agama mereka, dan yang paling penting adalah meninggalkan ajaran tauhid, maka kehinaanlah yang mereka alami saat ini. Kaum muslimin saat ini menjadi kaum yang terhinakan, harta-harta negeri kaum muslimin dirampas, nyawa mereka seolah tidak ada harganya, martabat mereka diinjak-injak, dan kehinaan demi kehinaan lain yang terus menimpa kaum muslimin saat ini. Semua ini adalah akibat dari berpalingnya mereka dari ajaran tauhid dan tersebarnya berbagai bentuk kesyirikan. Kehinaan ini tidak akan Allah Ta’ala cabut sampai kita semua kembali kepada agama Allah Ta’ala.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ »

Jika Engkau melakukan jual beli dengan sistem ‘inah (sejenis riba, pen.), Engkau memegangi ekor-ekor sapi, Engkau merasa puas terhadap pertanian, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabut kehinaan itu sampai kalian kembali kepada agama kalian.” [2] [3]

[Selesai]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Disarikan dari ceramah Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah yang berjudul Fadhlu Tauhid wa Takfiiruhu li Dzunuub.

[2] HR. Abu Dawud. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 11.

[3] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (4)

Memulai dari Perbaikan Tauhid, atau Perbaikan Politik, Sosial, dan Ekonomi?

Kalaulah kita mau meneliti sejenak dakwah para Rasul, maka kita akan mendapati bahwa para Rasul semuanya memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Padahal, kondisi umat para Rasul tersebut berbeda-beda satu sama lain.

Di antara para Rasul tersebut ada yang menghadapi problem ekonomi sebagaimana yang dialami Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam. Salah satu problematika yang terjadi pada umat Nabi Syu’aib adalah masalah di bidang ekonomi. Karena umat beliau suka berbuat curang dalam jual beli dengan mengurangi takaran timbangan. Meskipun demikian, Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam tetap mendahulukan dakwah tauhid sebelum memperbaiki kecurangan tersebut. AllahTa’ala berfirman,

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-A’raf [7]: 85).

Di antara para Rasul juga ada yang mengahadapi problematika kebobrokan moral, sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam tergolong masyarakat yang moralnya sangat rusak. Mereka mengerjakan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh umat sebelum atau semasa mereka. Kaum laki-laki menggauli kaum laki-laki dan kaum perempuan menggauli kaum perempuan (kaum gay dan lesbian). Meskipun demikian, Nabi Luth ‘alaihis salaam tetap mendahulukan dakwah menuju perbaikan aqidah umatnya tersebut.

Demikian pula, seluruh Rasul menghadapi problem politik dan hukum karena umat mereka semua tentu tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala. Salah satu contohnya adalah sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Yusuf ‘alaihis salaam. Di antara kerusakan kaum beliau adalah menyekutukan Allah Ta’ala dalam ibadah dan berhukum sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Dalam kondisi tersebut, beliau ‘alaihis salaam tetap berdakwah kepada tauhid terlebih dahulu. Allah Ta’ala berfirman ketika menceritakan kisah Nabi Yusuf,

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (40)

“Wahai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 39-40).

Demikianlah kondisi para Rasul. Meskipun umat-umat mereka berbeda dan berbeda pula problematika yang mereka hadapi, namun dakwah dan seruan kepada tauhid tetap menjadi prioritas utama.

Sekarang, marilah kita berfikir sejenak. Taruhlah kita menghadapi kerusakan di bidang ekonomi, politik, sosial, dan hukum, di samping juga menghadapi kerusakan di bidang aqidah pada masyarakat kita sekarang ini. Pertanyaannya, apakah sama timbangannya di sisi Allah kemudian para Rasul-Nya antara kerusakan yang paling parah di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum dengan kerusakan di bidang aqidah? Atau apakah di antara keduanya ada yang lebih berbahaya, lebih membinasakan, dan lebih parah akibatnya?

Di dalam timbangan Allah Ta’ala dan timbangan para Nabi, tentu kerusakan yang lebih berat bahayanya adalah kerusakan di bidang aqidah berupa kesyirikan dengan segala macam bentuknya. Kalau kita tidak meyakini hal ini, dan tetap meyakini bahwa kerusakan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan hukum itu lebih penting untuk diatasi, maka konsekuensinya kita menganggap bahwa seluruh Nabi dan Rasul adalah kumpulan orang-orang bodoh karena mereka tidak mengetahui prioritas dalam berdakwah dengan mendahulukan perbaikan aqidah sebelum perbaikan politik, ekonomi, sosial, dan hukum! [1,2] [Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 105.

[2] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

___

Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (3)

Rasulullah Menolak untuk Menjadi Raja dan Tetap Konsisten Memegang Dakwah Tauhid

Setiap orang yang hendak meneliti jejak dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia akan mendapati bahwa Rasulullah tidak pernah menjadikan kekuasaan atau mendirikan negara sebagai sarana atau bahkan sebagai tujuan utama dakwahnya. Buktinya, ketika ditawarkan kepada beliau untuk memegang kekuasaan sebagai seorang Raja, beliau tetap menolaknya. Beliau tetap konsisten memegang teguh metode dakwah yang telah ditempuh oleh seluruh Rasul yang pernah diutus, yaitu memulai dari aqidah tauhid serta memerangi berbagai bentuk kesyirikan. Berikut ini penulis sampaikan beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut.

Hadits pertama, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

جَلَسَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَنَظَرَ إِلَى السَّمَاءِ فَإِذَا مَلَكٌ يَنْزِلُ فَقَالَ جِبْرِيلُ إِنَّ هَذَا الْمَلَكَ مَا نَزَلَ مُنْذُ يَوْمِ خُلِقَ قَبْلَ السَّاعَةِ فَلَمَّا نَزَلَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ أَرْسَلَنِى إِلَيْكَ رَبُّكَ أَفَمَلَكاً نَبِيًّا يَجْعَلُكَ أَوْ عَبْداً رَسُولاً قَالَ جِبْرِيلُ تَوَاضَعْ لِرَبِّكَ يَا مُحَمَّدُ. قَالَ « بَلْ عَبْداً رَسُولاً »

Malaikat Jibril duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menengadahkan mukanya ke langit. Tiba-tiba ada seorang malaikat yang turun. Malaikat Jibril berkata,’Malaikat ini belum pernah turun sejak diciptakan kecuali saat ini. Ketika malaikat tersebut turun, beliau berkata,’Wahai Muhammad! Aku diutus kepadamu oleh Rabb-mu. Apakah Engkau ingin dijadikan sebagai seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul?’ Malaikat Jibril berkata,’Merendahlah kepada Rabb-mu, wahai Muhammad!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Sebagai seorang hamba dan Rasul.’”[1]

Hadits ke dua, ketika dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai merisaukan hati orang-orang kafir Quraisy, maka mereka mengutus ‘Utbah bin Rabi’ah untuk memberikan beberapa penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Utbah bin Rabi’ah berkata,

يَا ابْنَ أَخِي ، إنْ كُنْت إنّمَا تُرِيدُ بِمَا جِئْتَ بِهِ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ مَالًا جَمَعْنَا لَك مِنْ أَمْوَالِنَا حَتّى تَكُونَ أَكْثَرَنَا مَالًا ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ بِهِ شَرَفًا سَوّدْنَاك عَلَيْنَا ، حَتّى لَا نَقْطَعَ أَمْرًا دُونَك ، وَإِنْ كُنْت تُرِيدُ بِهِ مُلْكًا مَلّكْنَاك عَلَيْنَا ؛ وَإِنْ كَانَ هَذَا الّذِي يَأْتِيك رِئْيًا تَرَاهُ لَا تَسْتَطِيعُ رَدّهُ عَنْ نَفْسِك ، طَلَبْنَا لَك الطّبّ ، وَبَذَلْنَا فِيهِ غَلَبَ التّابِعُ عَلَى الرّجُلِ حَتّى يُدَاوَى مِنْهُ أَوْ كَمَا قَالَ لَهُ . حَتّى إذَا فَرَغَ عُتْبَةُ

Wahai keponakanku! Jika yang Engkau inginkan dari dakwahmu ini adalah harta, maka akan kami kumpulkan harta-harta yang kami miliki untukmu sehingga Engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya di antara kami. Jika yang Engkau inginkan adalah kemuliaan, maka akan kami serahkan kemuliaan itu untukmu, sehingga kami tidak bisa memutuskan suatu perkara tanpa dirimu. Jika yang Engkau inginkan adalah menjadi Raja, maka akan kami angkat Engkau menjadi Raja atas kami. Apabila Engkau terkena jin yang dapat Engkau lihat namun Engkau tidak dapat menolaknya dari dirimu, maka akan kami carikan pengobatan untukmu. Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk mengobatimu, karena seseorang terkadang dikalahkan oleh jin yang mengikutinya sampai dia diobati darinya”. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Utbah, sampai dia menyelesaikan perkataannya.

Setelah ‘Utbah selesai berbicara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membacakan surat Fushshilat, dan ketika sampai ke ayat as-sajdah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersujud. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ سَمِعْتَ يَا أَبَا الْوَلِيدِ مَا سَمِعْتَ فَأَنْت وَذَاكَ

Wahai Abul Walid! Sungguh Engkau telah mendengar apa yang telah kau dengar. Maka terserah padamu.” [2]

Hadits ke tiga, sekelompok orang dari kaum kafir Quraisy berkumpul dan memberikan penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penawaran yang hampir sama dengan penawaran yang disampaikan oleh ‘Utbah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَا بِي مَا تَقُولُونَ مَا جِئْتُ بِمَا جِئْتُكُمْ بِهِ أَطْلُبُ أَمْوَالَكُمْ وَلَا الشّرَفَ فِيكُمْ وَلَا الْمُلْكَ عَلَيْكُمْ وَلَكِنّ اللّهَ بَعَثَنِي إلَيْكُمْ رَسُولًا ، وَأَنْزَلَ عَلَيّ كِتَابًا ، وَأَمَرَنِي أَنْ أَكُونَ لَكُمْ بَشِيرًا وَنَذِيرًا ، فَبَلّغْتُكُمْ رِسَالَاتِ رَبّي ، وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَإِنْ تَقْبَلُوا مِنّي مَا جِئْتُكُمْ بِهِ فَهُوَ حَظّكُمْ فِي الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَإِنّ تَرُدّوهُ عَلَيّ أَصْبِرْ لِأَمْرِ اللّهِ حَتّى يَحْكُمَ اللّهُ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ

Aku tidak menginginkan tawaran kalian. Aku tidaklah datang dengan membawa misi-misi itu. Aku tidak meminta harta-harta kalian, tidak pula kemuliaan di tengah-tengah kalian, dan tidak pula meminta tahta kerajaan atas kalian. Akan tetapi, Allah mengutusku kepada kalian sebagai seorang Rasul, menurunkan kepadaku sebuah kitab, dan memerintahkanku untuk memberikan kabar gembira dan peringatan kepada kalian. Aku telah menyampaikan risalah Rabb-ku kepada kalian dan telah menasihati kalian. Jika kalian menerima apa yang aku bawa, maka itulah keberuntungan kalian di dunia dan di akhirat. Jika kalian menolaknya, maka kewajibanku adalah bersabar atas urusan Allah tersebut sampai Allah memutuskan (perkara) antara aku dengan kalian.” [3]

Kesimpulan dan faidah yang bisa kita ambil dari kisah-kisah ini adalah para Nabi tidaklah diutus untuk menghancurkan sebuah negara kemudian mendirikan negara yang baru, tidak pula untuk meminta kekuasaan, atau mendirikan partai-partai untuk meraih kekuasaan tersebut. Akan tetapi, mereka datang untuk memberikan petunjuk bagi umat manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kesyirikan, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dan juga memberikan peringatan kepada mereka dengan janji Allah Ta’ala.

Meskipun ditawarkan kepada mereka tahta kerajaan, sungguh mereka pasti menolaknya. Mereka tetap konsisten menempuh metode dakwah mereka. Kaum kafir Quraisy telah menawarkan tahta sebagai raja kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi beliau tetap menolaknya. Bahkan, ketika Allah Ta’ala sendiri yang menawarkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui malaikat-Nya, apakah memilih menjadi seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul, maka beliau lebih memilih menjadi seorang hamba sekaligus seorang Rasul. [4]

Hadits-hadits di atas menjadi bantahan telak atas pemikiran yang dimiliki oleh banyak “tokoh-tokoh Islam” saat ini, yang memulai dakwahnya dengan berusaha merebut kekuasaan atau dengan mendirikan negara (khilafah). Logika mereka, syari’at Islam tidak akan bisa dijalankan secara sempurna kecuali dengan mendirikan sebuah negara (khilafah) terlebih dahulu atau minimal dapat membuat “undang-undang Islami”. Sehingga perhatian dakwah mereka selanjutnya adalah bagaimana dapat segera mendirikan sebuah khilafah. Apa pun dan bagaimana pun kondisi umat yang mereka pimpin (apakah di atas tauhid ataukah di atas kesyirikan; apakah di atas sunnah ataukah di atas bid’ah), tidaklah menjadi masalah bagi mereka, yang penting mereka berhasil mendirikan negara (khilafah) Islam.

Maka kita sampaikan kepada mereka, kalaulah benar pemikiran dan logika mereka itu, maka tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan lebih memilih menjadi seorang Rasul sekaligus sebagai seorang Raja daripada seorang Rasul namun statusnya hanya sebagai seorang hamba biasa yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Kalau merebut kekuasaan dan mendirikan negara merupakan suatu jalan yang mulia dan berfaidah, niscaya beliau akan menempuhnya tanpa terlambat sedetik pun.

Beliau akan menerima tawaran dari Allah Ta’ala untuk menjadi seorang Rasul sekaligus sebagai seorang Raja. Karena logikanya, dengan menjadi seorang raja sekaligus Rasul, tentu dakwah akan menjadi lebih mudah dan akan lebih cepat mendatangkan hasil yang diinginkan. Tentu tidak akan ada orang kafir Quraisy yang berani menyakiti dan merintangi dakwah beliau, karena beliau adalah seorang Raja yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Tentu dengan menjadi seorang Raja, beliau lebih mudah menjalankan misi-misi kerasulan untuk menghancurkan berhala-berhala sejak awal periode kerasulan beliau di Mekah, serta lebih mudah pula untuk memaksa orang Quraisy agar beragama tauhid. Beliau pun dapat melindungi sahabatnya dari kekejaman kaum kafir Quraisy. Dan beliau pun tidak perlu diliputi ketakutan sehingga harus repot-repot berhijrah ke Madinah. Akan tetapi, beliau tetap memegang teguh manhaj dakwah tauhid sebagaimana para Rasul sebelumnya. Oleh karena itu, sebagaimana Rasulullah tidak memulai dakwahnya dengan ambisi merebut kekuasaan, maka beliau juga tidak mengawali dakwahnya dengan perbaikan ekonomi atau perbaikan sosial budaya. [5]

[Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]HR. Ahmad dalam Musnad no. 7359 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 6365. Syaikh Syu’aib Arnauth berkata dalam tahqiq beliau terhadap Shahih Ibnu Hibban,”Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1002.

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/292 dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Kisah ini mempunyai penguat dalam hadits Jabir yang dikeluarkan oleh ‘Abdu bin Humaid dan Abu Ya’la. Takhrij hadits tersebut telah disebutkan sebelumnya (hal. 96) [dan beliau menyatakan bahwa sanadnya tsiqoh, pen.sehingga kisah ini menjadi kuat dan kokoh”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 113.

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/295 dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Hadits ini menjadi penguat hadits sebelumnya [yaitu hadits ke dua di atas, pen.] dan masing-masing di antara keduanya saling menguatkan”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 114.

[4] Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 115.

[5] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id

Mahfud Sebut Tiga Gerakan Islam Perlu Ditertibkan

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud MD menyebut, ada tiga gerakan organisasi masyarakat Islam di Indonesia yang perlu ditertibkan. Penertiban terkait kegiatan ketiga organisasi yang menentang ideologi negara ini.

“Dalam disertasi Pak Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah di Indonesia itu ada tiga gerakan Islam yang perlu ditertibkan,” kata Mahfud usai menjadi narasumber pada sarasehan Peringatan Hari Jadi Bantul di Pendopo Parasamya Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Rabu sore (24/5).

Mahfud mengatakan, gerakan Islam pertama yang ingin mengubah ideologi negara menjadi kekhalifahan yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bahkan, organisasi masyarakat (ormas) ini segera masuk gugatan pembubaran oleh pemerintah di pengadilan.

Kemudian, kata Mahfud, ormas yang ingin berlakukan negara hukum Islam yaitu Mujahidin dan ormas yang akan memberlakukan hukum islam di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas Muslim yaitu Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan. “Nah gerakan yang begitu berdasarkan hasil penelitian dan itu fakta di lapangan, sehingga memang harus ditertibkan,” kata Mahfud.

Dikatakan Mahfud, sejauh ini upaya penertiban oleh pemerintah secara prosedural atau instrumen hukumnya belum lengkap, apalagi dalam aturan harus diperingatkan terlebih dulu sampai tiga kali, baru kemudian dicabut izinnya.

“Kalau prosedur itu memang lama, karena dulu prosedur yang lama itu diperingatkan sekali, peringatan kedua kali dan tiga kali, dan itu diperuntukkan untuk membubarkan ormas lain yang dulu suka melakukan sweeping,” katanya.

Akan tetapi, menurut dia ada ormas dengan gerakannya tidak melakukan “sweeping-sweeping” atau razia tidak resmi terhadap kegiatan-kegiatan yang menyimpang menurut faham. “Namun langsung menduduki negara untuk ganti ideologi, dan kalau itu ‘clear’ kampanyekan di mana-mana, dipidatokan di mana-mana,” katanya.