Hampir setiap tahun ada hikmah yang dapat dipetik dari penyelenggaraan ibadah kurban. Tahun kemarin saja, beberapa orang muncul membawa inspirasi dan cerita mengharukan tentang nikmatnya berkurban. Betapa tidak di tengah keterbatasan secara finasial, mereka bertekad ingin berkurban.
Receh demi receh mereka kumpulkan tiap harinya untuk dapat berkurban. Mereka sadar bahwa kurban ini menjadi kendaraan mereka nanti di hari akhir. Kemunculan mereka seolah kontras dengan kaum borjuis yang lebih suka menimbun kekayaan daripada membeli hewan kurban.
Hasil pengorbanan si miskin ini pun berbalas, banyak di antara mereka mendulang rezeki. Pemulung Mak Yati misalnya dapat durian runtuh berupa rumah dari pemerintah atau si miskin lainnya yang derajat menjadi terpandang di mata publik.
Menyambut hari raya Idul Adha merdeka.com merangkum sosok si miskin yang ikhlas berkurban. Berikut sosok-sosok tersebut.
Meski pendapatannya tak seberapa, hanya Rp 25 ribu per hari, Yati punya tekad kuat untuk bisa berkurban di Hari Raya Idul Adha. Niatnya itu akhirnya bisa tercapai.
“Saya nabung tiga tahun untuk beli dua ekor kambing. Yang besar itu saya beli Rp 2 juta, yang kecil Rp 1 juta,” kata Yati saat berbincang dengan merdeka.com di rumahnya 2012 lalu.
Yati tiap hari dibantu Maman (35). Kadang untuk menambah penghasilan, Maman ikut menarik sampah di sekitar Tebet. “Penghasilan sehari tak tentu. Seringnya dapat Rp 25 ribu. Dihemat untuk hidup dan ditabung buat beli dua kambing itu,” kisah Yati.
Yati mengaku sudah seumur hidup ingin berkurban. Wanita tua asal Madura itu malu terus mengantre daging kurban. Keinginan ini terus menguat, saat bulan Ramadan. Yati makin giat menabung.
“Saya ingin sekali saja, seumur hidup memberikan daging kurban. Ada kepuasaan, rasanya tebal sekali di dada. Harapan saya semoga ini bukan yang terakhir,” jelasnya.
Yati membeli dua kambing itu di Pancoran. Maman yang mengambil dua kambing itu dengan bajaj dan memberikannya ke panitia kurban di Masjid Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Saat Maman menyerahkan dua kambing untuk kurban itu, jemaah masjid megah tersebut meneteskan air mata haru.
Yati sehari-hari tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet. Tak ada barang berharga di pondok 3×4 meter itu. Sebuah televisi rongsokan berada di pojok ruangan. Sudah bertahun-tahun TV itu tak menyala.
Yati mengaku sudah lama tinggal di pondok itu. Dia tak ingat sudah berapa lama membangun gubuk dari triplek di jalur hijau peninggalan Gubernur Legendaris Ali Sadikin itu. “Di sini ya tidak bayar. Mau bayar ke siapa? ya numpang hidup saja,” katanya ramah.
Setiap hari Yati mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri. Dia pernah kena asam urat sampai tak bisa jalan. Tapi Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi pengemis.
“Biar ngesot saya harus kerja. Waktu itu katanya saya asam urat karena kelelahan kerja. Maklum sehari biasa jalan jauh. Ada kali sepuluh kilo,” akunya.
“Hari Senin malam ada kenalan yang datang ke rumah. Mereka memberi tahu kalau ada seorang dermawan yang akan membelikan kambing kurban. Saya pikir itu kambing kurban untuk disembelih di sini. Ternyata saya dibelikan kambing untuk berkurban,” kata Iwan, yang biasa disapa dengan Acoy.
Setelah mendapat hewan kurban, hati dan pikiran Acoy setengah tidak percaya. Keinginannya bertahun-tahun akhirnya terwujud.
“Saya enggak tahu tiba-tiba dibawain kambing. Kambingnya besar, di atas dua jutaan saya kira,” katanya. Acoy tak habis pikir bagaimana Allah menggerakkan hati dermawan untuk memberi rezeki kurban pada keluarganya.
“Saya ingat benar Minggu malam itu saya nonton sinetron tentang haji. Istri saya nanya, Abi kapan kita naik haji? Terus kapan kita kurban? Malam itu istri saya tahajud katanya pengin kurban. Saya hanya bisa minta istri berdoa. Pagi harinya istri saya bilang tangannya gatal, katanya mungkin mau dapat rezeki. Eh nggak nyangka malamnya langsung dikabulkan,” jelasnya.
Acoy tinggal di daerah kumuh dekat pasar kembang Rawa Belong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sehari-hari Acoy bekerja sebagai pemulung. Namun Acoy tidak hanya memulung, dengan kemampuannya, Acoy mengubah triplek bekas menjadi miniatur rumah dan kendaraan. “Kami memang kurang tapi pantang mengemis. Saya berusaha hidup lebih baik untuk anak-anak,” ujarnya.
Keterbatasan ini tak menghalanginya,setiap menerima Bantuan Langsung Tunai Yu Timah selalu menyimpan uang itu di bank. Uang itu dia kumpulkan sedikit demi sedikit hingga mencapai Rp 600 ribu. Suatu kali Yu Timah yang merasa uangnya sudah cukup, pun lekas ke bank untuk menggambil uang.
“Saya mau beli kambing kurban, Pak! Kalau 600 ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.” ujar dia kepada pegawai bank seperti yang dikutip dari laman dompet dhuafa, Jumat (3/10).
Sayang, saat itu bank telah tutup. Pegawai pun iseng bertanya untuk apa uang itu. Dengan malu, Yu Timah mengatakan hendak berkurban.
“Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar 600 ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?” tanya pegawai tersebut.
Lantas dengan wajah berseri, Yu Timah mengatakan, “Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.”
“Alhamduillah, kulo tiyang mboten gadah, tesih saget kurban (Saya orang miskin masih bisa kurban),” kata Bambang, saat ditemui di rumahnya, Senin (14/10/2013) siang.
Bahkan hasil dari menarik becak ini pun tak seberapa, biasanya dia mendapat hasil sebanyak Rp 20.000-Rp 50.000. Namun dengan kesungguhan uang untuk membeli hewan kurban pun kesampaian.
Kegembiraan juga turut dirasakan tetangga Banbang. Beramai-ramai tetangga Bambang mengarak sapi yang dibeli Bambang dari menarik becak.