Kesyirikan adalah bentuk kemunduran yang berdampak pada fitrah dan merupakan penyakit yang menyerang hati. Ia merupakan penyakit yang paling ditakuti dan dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjangkiti kita, para umatnya. Beliau bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ؟ قَالَ الرِّياَءُ
“Sesungguhnya yang paling kutakutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah syirik kecil tersebut wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’.” (HR. Ahmad no. 23630 dan Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman no. 6831)
Jika riya’ yang mana termasuk ke dalam syirik kecil dan hanya membatalkan amalan tertentu saja, beliau takutkan. Maka, bagaimana dengan syirik besar yang akan membatalkan seluruh amal??
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa kesyirikan akan kembali menyebar dan merebak di akhir zaman.
لَا تَقُوم السَّاعَة حَتَّى تَضْطَرِب أَلَيَات نِسَاء دَوْس حَوْل ذِي الْخَلَصَة ، وَكَانَتْ صَنَمًا تَعْبُدهَا دَوْس فِي الْجَاهِلِيَّة بِتَبَالَة
“Kiamat tidak akan terjadi hingga wanita-wanita Daus tawaf mengelilingi Dzul Khalashah. Yaitu, berhala yang disembah oleh Daus di masa Jahiliyah di Tabalah.“ (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak dapat dipungkiri, kita hidup di zaman di mana kesyirikan sangat lazim kita jumpai, baik itu di dalam kehidupan nyata maupun di dunia maya. Kesyirikan (sayangnya) seringkali dijadikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Saat panen hasil laut, mereka melarung sesajen ke tengah lautan. Kata mereka hal ini sebagai bentuk syukur atas hasil laut yang diperoleh selama setahun serta harapan agar memperoleh hasil yang baik tanpa halangan dan musibah.
Sungguh miris, sampai-sampai di dunia maya sekalipun kesyirikan kerap kita jumpai, baik itu iklan ramalan nasib, meyakini sesuatu sebagai sebab atas terjadinya sesuatu yang bukan pada tempatnya hingga sajian video dan konten yang menampilkan praktik perdukunan dan kesyirikan.
Saudaraku, layaknya penyakit-penyakit lainnya yang menyerang tubuh manusia, kesyirikan juga memiliki sebab-sebab yang berpotensi besar menjerumuskam manusia ke dalamnya. Sebab-sebab yang wajib kita waspadai dan kita hindari.
Berikut ini adalah sebab-sebab utama terjerumusnya manusia ke dalam kesyirikan.
Kekaguman dan pengagungan yang berlebihan terhadap sesuatu
Jiwa kita dilahirkan untuk mengagumi sesuatu yang memiliki kelebihan dan keunggulan dari yang lainnya. Namun, penyimpangan syirik ini muncul justru salah satunya karena pemuliaan dan pengagungan yang berlebihan terhadap sesuatu.
Sampai-sampai, jika seseorang telah berlebihan di dalam mengagungkan dan mengkultuskan seseorang, ia akan memalingkan sesuatu yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala kepada yang diagungkan dan dikaguminya tersebut. Ia sucikan sosok yang dikaguminya tersebut dan ia anggap bahwa sosok tersebut tidak memiliki dosa dan kesalahan. Padahal, pengkultusan dan penyucian itu hanyalah milik Allah semata. Rasa kagum yang ia lakukan tersebut pada akhirnya membuatnya terjatuh ke dalam jurang kesyirikan.
Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya kesyirikan pertama di muka bumi ini. Allah Ta’ala mengisahkan di dalam surah Nuh,
قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاَّ خَسَارًا * وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا * وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya, dan mereka melakukan tipu daya yang sangat besar.” Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa‘, Yagus, Ya‘uq dan Nasr.” (QS. Nuh: 21-23)
Kelima orang tersebut adalah orang-orang saleh dari kaum Nuh ‘alaihis salam. Berawal dari rasa takjub dan kagum yang berlebih-lebihan terhadap kesalehan mereka, hingga kemudian saat mereka telah meninggal dunia, rasa kagum tersebut berubah menjadi pengagungan dan pembuatan patung-patung mereka. Setelah berselang beberapa waktu, akhirnya kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam mengkultuskan dan menyembah mereka.
Sebagian manusia yang lain terjatuh ke dalam kesyirikan karena pengkultusan dan pengagungan mereka terhadap benda-benda langit tertentu. Sebagaimana kisah kaum Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang menyembah bintang, matahari, dan bulan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fussilat: 37)
Tentu saja, hal inipun berlaku bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Banyak sekali dari mereka yang mengaku muslim, akan tetapi beribadah kepada kuburan dan mayit yang sudah tidak bisa lagi memberi manfaat. Tidak mengherankan juga jika sebagian manusia yang lainnya ada yang mengkultuskan dan mengagungkan sapi hingga monyet. Semuanya itu tidak lain dan tidak bukan karena kekaguman dan rasa takjub mereka yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu.
Kecondongan hanya mengimani dan mempercayai yang nampak dan berwujud saja serta luput dan lalai dari sesuatu yang tidak nampak
Fitrah dan akal sehat manusia rentan terhadap penyakit. Jika dia tidak konsisten di dalam merawat dan melindunginya dari penyakit-penyakit yang akan menjangkitinya, hingga kemudian dia kehilangan ketertarikan terhadap hal-hal yang tidak berwujud dan tidak nampak serta sedikit demi sedikit membatasi perhatiannya hanya pada lingkup yang nyata dan nampak saja, maka kelalaiannya tersebut akan meluas sampai dia benar-benar membuang panca inderanya dari hal-hal yang tidak nampak oleh dirinya.
Hal inilah yang terjadi pada Bani Israil ketika mereka mengatakan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam,
لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى نَرَى اللّٰهَ جَهْرَةً
“Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas.” (QS. Al-Baqarah: 55)
Di ayat yang lain Allah Ta’ala mengisahkan kisah mereka,
قَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ
Mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”(QS. Al-A’raf: 138)
Kelalaian yang ekstrim inilah yang berujung pada pengingkaran sama sekali terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, Allah Ta’ala. Kepercayaan bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya tanpa adanya kuasa Allah Ta’ala di dalamnya, hanya mempercayai sains dan penelitian serta beragam kepercayaan lainnya yang meniadakan kuasa dan keberadaan Allah Ta’ala inilah yang disebut dengan Atheisme, di mana mirisnya hal ini telah melanda sebagian besar masyarakat di era sekarang.
Kebodohan
Tidak dapat dipungkiri, kebodohan merupakan sebab utama ketidakpatuhan kebanyakan umat kepada Nabi mereka dan penolakan mereka dari beribadah dan menyembah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖٓ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۗ قَالَ اَعُوْذُ بِاللّٰهِ اَنْ اَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-Baqarah: 67)
Nabi Musa ‘alaihis salam berlindung kepada Allah Ta’ala agar tidak menjadikannya sebagai salah satu bagian dari kaumnya yang bodoh, yang dengan kebodohannya tersebut pada akhirnya menuduh Nabi Musa menyampaikan dan mendakwahkan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menceritakan bagaimana perdebatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kaumnya dalam masalah tauhid dan syirik,
قُلْ اَفَغَيْرَ اللّٰهِ تَأْمُرُوْۤنِّيْٓ اَعْبُدُ اَيُّهَا الْجٰهِلُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, wahai orang-orang yang bodoh?” (QS. Az-Zumar: 64)
Sekiranya mereka yang mengajak berdebat tersebut tidak bodoh dan mempunyai ilmu pengetahuan bahwasanya Allah Yang Mahasempurna dari segala sisi-Nya adalah yang berhak untuk diibadahi dan bukan yang selain-Nya yang lemah dari segala sisinya, tentu permintaan semacam ini tidak akan keluar dari lisan mereka. Karena mereka tahu bahwa menyembah selain Allah Ta’ala termasuk kesyirikan yang dapat menghapus semua amal-amal kebaikan dan tidak akan diampuni oleh Allah, kecuali jika bertobat dengan sebenar-benarnya tobat.
Sungguh kebodohan akan menutup pintu hidayah dan taufik kepada kebenaran. Menjadikan seorang manusia kolot dan keras kepala, sulit menerima kebenaran, lalu kemudiaan tidak mau mengakuinya. Naudzubillahi min dzalika kullihi.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak seperti setan), berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya (orang), dan berbuat bodoh atau dibodohi.”
Wallahu A’lam bisshawab.
Lanjut ke bagian 2: (Insyaallah Bersambung)
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88001-inilah-sebab-sebab-terjatuh-ke-dalam-kesyirikan-bag-1.html