Inklusivitas kebenaran meniscayakan tidak ada kebenaran tunggal di dunia ini. Absolutisme kebenaran hanya boleh dilakukan oleh Sang Pencipta, bukan makhluk. Karena itu, Islam menyerukan kepada pemeluknya untuk berpikiran terbuka (open minded) agar mampu menerima kebenaran dari siapa saja datangnya. Sebab, eksklusivitas pemikiran hanya akan menimbulkan perpecahan dan disharmoni sosial.
Surah Albaqarah ayat 147 mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran yang mutlak ada pada sisi Allah Swt. Dalam Q.S. Albaqarah [2]: 147 tertera:
اَلْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ ࣖ
“Kebenaran itu dari Tuhanmu. Maka, janganlah sekali-kali engkau (Nabi Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 147)
Mayoritas mufasir menafsirkan makna kebenaran tertuju kepada arah kiblat, yaitu Kakbah di Mekah (istiqbalil ka’bah). Sedangkan mufasir yang lain, kebenaran yang dimaksud adalah wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya.
Tidak jauh berbeda, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menafsirkannya bahwa bagi setiap umat ada kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya, sesuai dengan kecenderungan atau keyakinan masing-masing. Kalaulah mereka dengan mengarah ke kiblat masing-masing bertujuan untuk mencapai rida Allah, dan melakukan kebajikan, maka umat Islam mestinya berlomba-lomba dengan umat lain dalam berbuat aneka kebaikan (fastabiqul khairat).
Selain itu, al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsirkan makna kebenaran dengan “pengajaran Allah kepada Nabi saw. bukan apa yang dikatakan orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada Nabi.” Dari mayoritas penafsiran, menunjukkan bahwa kebenaran itu datangnya dari Allah. Manusia hanya bisa meraba-raba dengan menggunakan seperangkat akal, indera, dan ilmu yang dimiliki. Itupun tidak sepenuhnya dapat menafsirkan kebenaran di sisi Allah.
Mengarifi hal tersebut, Gus Baha, Ulama Kenamaan Indonesia, mengatakan bahwa kebenaran sejati itu, salah satu tandanya, adalah boleh diuji di mana saja. Dia melandaskan pernyataannya ini dengan merujuk pada Alquran Surah Alanbiya ayat 18:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهٗ فَاِذَا هُوَ زَاهِقٌۗ
“Sebaliknya, Kami melemparkan yang hak (kebenaran) kepada yang batil (tidak benar) lalu (yang hak) itu menghancurkannya. Maka, seketika itu ia (yang batil) lenyap.” (Q.S. al-Anbiya [21]: 18)
Menurut penafsiran Gus Baha, ayat di atas menunjukkan ketangguhan kebenaran yang sejati (baca: di sisi Allah) yang dapat di uji di mana saja dan oleh siapa saja. Artinya, kebenaran itu sama sekali tidak bercampur sedikitpun dengan kebatilan. Ia jelas, terang-benderang. Ulama terdahulu, Ibn Asyur, misalnya, dalam al-Tahrir wa al-Tanwir memaknai kata fayadmaguhu itu layaknya penghancuran benda keras yang isinya kosong-melompong.
Makna ini mengisyaratkan bahwa kebatilan walau sepintas terlihat kokoh, namun ia kosong, tidak berisi. Apa yang dikemukakan Gus Baha tersebut senada dengan Quraish Shihab, bahwa Allah Swt. membatalkan kebatilan dengan jalan melontarkan kebenaran, yakni Yang Maha Kuasa itu menjelaskan kebenaran melalui para nabi dan rasul dan orang-orang yang dipilih-Nya serta menganugerahkan akal dan pemahaman kepada manusia, sehingga kebatilan yang m enyelubungi pikiran dan hati mereka dapat sirna.
Lebih dari itu, Allah juga menganugerahkan kekuatan lahir dan batin kepada hamba-hamba-Nya, sehingga mereka mampu untuk menumpas kebatilan. Di sisi lain, Allah menciptakan dan melengkapi haq dengan kekuatan tersendiri sehingga ia tidak mungkin punah, atau tertumpas. Sebaliknya, kebatilan memiliki kelemahan-kelemahannya yang menjadikannya tidak dapat bertahan lama, kendati sesekali ia terlihat begitu perkasa.
Dari Orkestrasi Perbedaan ke Harmoni Kebenaran
Perbedaan pendapat (juga kritik) semestinya tidak menimbulkan kebencian, justru merekatkan persaudaraan. Keterbukaan seseorang akan diversitas kebenaran menjadi peluang untuk menambah cakrawala baru dan mengakodomasi sesuatu dari perspektif yang lain. Acapkali kita terjebak pada penjumudan mazhab atau satu kelompok tertentu sehingga menegasikan alternatif perspektif.
Mengutip Husein Muhammad dalam Islam Tradisional, dia menuturkan bahwa keterbukaan pemikiran semacam ini bukanlah berarti semau-maunya atau menghalalkan segala cara untuk sebuah tujuan yang dikehendaki. Hal ini karena dalam moralitas kemanusiaan Islam (akhlaqul karimah) terkandung secara inheren pengertian penghargaan terhadap pemikiran orang lain dan penghormatan terhadap semua nilai-nilai moral yang luhur, seperti nilai persaudaraan, kebersamaan, keadilan, toleransi, kasih sayang, kejujuran, dan lain sebagainya.
Perbedaan pemikiran, lanjut Muhammad, tidak seharusnya menafikan persaudaraan dan kebersamaan antarumat manusia. Ia juga tidak boleh menjadi dasar bagi tindakan ketidakadilan terhadap siapa saja dan kelompok mana saja, baik besar maupun kecil.
Dalam khazanah intelektual Islam klasik, Imam Syafi’i, misalnya, pernah mengatakan, “Apabila argumen-argumenku kurang tepat menurut kalian, maka kalian tidak boleh menerimanya karena akal pikiran tidak bisa dipaksa untuk menerima kebenaran seseorang” (Husein Muhammad dalam Islam Tradisional, hlm. 296-297). Pada saat yang lain, dia mengatakan, “Pemikiranku benar meski mungkin keliru, dan pemikiran orang lain keliru meski mungkin benar”.
Lebih jauh, Imam Abu Hanifah juga mengemukakan hal yang sama. Imam Abu Hanifah, seorang pendiri aliran fikih Rasional (Imam ahlu ra’yi) adalah seorang yang jujur, tulus dan memiliki toleransi yang tinggi dalam menyampaikan pandangan dan pendapatnya. Beliau tidak pernah mengklaim pendapat dirinya yang paling benar, dan pendapat yang lain salah. Sebagaimana dikutip Husein Muhammad, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan:
قَوْلُنَا هَذَا رَأْيِ، وَهُوَ أَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ، فَمَنْ جَاءَنَا بِأَحْسَنِ مِنْ قَوْلِنَا فَهُوَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنَّا
“Apa yang aku sampaikan ini adalah sekedar pendapat. Ini yang dapat aku usahakan semampuku. Jika ada pendapat yang lebih baik dari ini, ia lebih patut diambil.”
Ketika Imam al-Ghazali dikritik kaum fundamentalis bahwa pemikiran-pemikirannya terpengaruh oleh kaum filsuf awal (falasifatul qudama), yakni para filsuf Yunani, ia menjawab,
إِذَا كَانَ الْكَلاَمُ مَعْقُوْلًا فِىْ نَفْسِهِ مُؤَيَّدًا بِالْبُرْهَانِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَى مُخَالِفَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَلَمْ يَنْبَغِى اَنْ يَهْجُرَ وَيَتْرُكَ
“Jika ucapan itu benar dan didukung oleh argumen yang rasional serta tidak bertentangan dengan Alquran dan hadits nabi, mengapa ia harus dibuang atau ditolak?”. (Imam al-Ghazali dalam Al-Munqdiz min al-Dlalal)
Selain itu, Ibn Rusyd juga mengatakan,
فَمَا كَانَ مِنْهَا مُوَافَقًا لِلْحَقِّ قَبْلِنَا مِنْهُمْ وَسُرُرُنَا بِهِ وَشُكْرُنَاهُمْ عَلَيْهِ. وَمَا كَانَ مِنْهَا غَيْرَ مُوَافِقٌ لِلْحَقِّ نَبَّهَنَا عَلَيْهِ وَحَذَّرَنَا مِنْهُ وَعَذَرَنَاهُمْ
“Jika kita menemukan kebenaran dari mereka yang berbeda dari agama kita, mestinya kita menerima dengan gembira dan menghargainya. Tetapi jika kita menemukan kesalahan dari mereka, kita patut mengingatkan, memperingatkan, dan menerima maafnya”. (Ibn Rusyd, Fashlul Maqal sebagaimana dikutip Husein Muhammad dalam Islam Tradisional, hlm. 296-297).
Sebagai penutup, kami ingin mengutip pernyaatan al-Kindi, seorang filosof Arab pertama dalam Islam. Dalam Rasail al-Kindi al-Falsafiyyah, al-Kindi menyatakan,
وينبغي لنا ألا نستحيى من الحق واقتناء، الحق من أين أتى، وإن أتى من الأجناس القاصية عنا والأمم المباينة لنا، فإنه لا شيئ. أولى بطالب الحق من الحق وليس ينبغي بخسن الحق ولا تصغير بقائله ولا بالآتى به، ولا أحد بخسن بالحق، بل كل يشرفه الحق, ويعبر الكندي عن شكره ولكل من جاء بشيئ من الحق مهما كان يسيرا، لأن معرفة الحقيقة ثمرة لنضا من الأجيال الإنسانية في عصور متطاولة، كل جيل يضيف إلى التراث الإنسانى ثمرة فكره ويمهد السبيل لمن يجىء بعده
“Kita hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan mengambilnya dari manapun dia berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat sang pencari kebenaran, melainkan justru menjadikannya terhormat dan mulia, serta membuka jalan bagi mereka yang datang setelahnya” (Al-Kindi dalam Rasail al-Kindi, hlm. 50-51). Wallahu a’lam.