NU dan Muhammadiyah telah sepakat. Politik identitas harus dijauhi. Kesepakatan ini disampaikan oleh kedua Ketua Umum. Tepatnya saat pertemuan di Kantor PBNU, 25 Mei 2023. KH. Yahya Cholil Staquf menyatakan bahwa politik identitas hanya menyandarkan penggalangan dukungan berdasarkan identitas-identitas primordial tanpa ada kompetisi yang lebih rasional menyangkut hal-hal yang lebih visioner. Tidak jauh berbeda, Prof. Haedar Nashir, menegaskan bahwa politik identitas identik dengan sentimen atas nama agama, ras, suku, golongan yang akhirnya membawa ke arah polarissi dan perpecahan di kalangan masyarakat.
Kesepakatan dua Ormas Keagaman yang menopang lahir dan berdirinya Republik Indonesia ini tentu bukan pepesan kosong. Tetapi berdasarkan keprihatinan yang mendalam. Merasakan imbas buruk hajatan politik yang menggunakan simbol-simbol identitas, salah satunya identitas agama. Simbol agamanya hanya digunakan sebagai strategi meraup kemenangan. Meraih kekuasaan sementara. Padahal, di akar rumput, dampat polarisasinya tidak mudah disembuhkan. Tentu, Islam tidak mengajarkan perpecahan. Apalagi permusuhan.
Sebagai contoh sederhana, hasil penelitian Merit PPIM UIN Jakarta, 2020, merilis bahwa di tahun-tahun politik, narasi politis yang menggunakan simbol-simbol agama di kanal Twitter mengalami peningkatan signifikan. Identitas agama digunakan untuk saling menjatuhkan dan mendelegitimasi lawan.
Lebih dari itu, menguatkan solidaritas kelompok pendukungnya semata. Data yang dikumpulkan sepanjang tahun 2009-2019 menunjukan bahwa penggunaan simbol dan diksi keagamaan dan politik naik berlipat ganda di tahun 2014 dan 2019. Data ini seakan mengiyakan keprihatinan NU dan Muhammadiyah di atas. Jika ini dibiarkan, tentu masyarakat akan terbelah, terpecah belah, dan terkotak-kotak dalam sekat sempit perebutan kekuasaan yang tidak sehat.
Islam Tidak Mengajarkan Perpecahan
Karena itu, penting kiranya kita menengok kembali ajaran-ajaran mulia Islam yang mengedapankan cinta persatuan. Agama telah memberikan panduan hidup untuk mengelola perbedaan di muka bumi ini. Bahkan jelas ditegaskan bahwa perbedaan itu merupakan sunnatullah. Perbedaan warna kulit, bahasa, suku, dan agama adalah ketentuan Allah ta’ala.
Dalam surat al-Rum ayat 22, Allah berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (الروم: 22)
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S: al-Rum: 22)
Dalam kitab Tafsir al-Wajiz, Syaikh Wahbah al-Zuhaili (1932-2015) menjelaskan bahwa orang yang berakal dan berilmu akan dapat memahami bahwa keragaman bahasa dan warna kulit adalah niscaya. Keragaman ini merupakan tanda kemahakuasaan Allah. Beragam sistem bahasa dengan kerumitan dan kekhasannya masing-masing tidak mungkin ada tanpa adanya kekuasaan Allah ta’ala.
Demikian halnya, penciptaan langit dan bumi. Tanpa kekuasaan Allah, langit tidak mungkin dapat berdiri kokoh, meskipun tanpa tiang penyangga. Semua ini tidak lain sudah dikehendaki oleh-Nya. Perbedaan tidak dapat dimungkiri. Serta tidak mungkin diseragamkan.
Di dalam ayat lain, dijelaskan bahwa seandainya Allah swt menjadikan manusia seisi bumi ini beriman, tentunya mudah saja. Akan tetapi hal ini tidak menjadi kehendak-Nya. Terbukti, hingga kini, peradaban manusia memiliki keragaman bahasa, budaya, agama, dan kepercayaan. Karena itu, tidak perlu kiranya dalam kehidupan sehari-hari kita menjadikan perbedaan warna kulit dan kepercayaan sebagai bahan untuk saling mengejek dan merendahkan. Sebaliknya, kita berupaya menemukan hikmah dan pelajaran di balik keragaman tersebut.
Terkait hal ini, Allah ta’ala berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (يونس: 99)
Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Q.S. Yunus: 99)
Imam Ibnu Katsir (700-774 H) dalam kitab Tafsir Ibni Katsir menjelaskan bahwa ketentuan ini tidak lepas dari adanya hikmah dan keadilan Allah ta’ala. Manusia di muka bumi ada yang beriman, ada pula yang tidak. Para Rasul hanya diperintahkan untuk mengajak, sedangkan hidayah adalah milik Allah ta’ala. Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk memaksakan dan menyeragamkan kepercayaan. Demikian halnya, perbedaan dan keragaman Indonesia tidak semestinya dijadikan sebagai benih perpecahan dan saling memaksakan.
Dari titik ini, dapat kita pahami bahwa keragaman dan perbedaan warna kulit, suku, dan agama tidak lain adalah sunnatullah. Tinggal bagaimana kita dapat mengelola keragaman ini menjadi titik tolak untuk saling berlomba dalam kebaikan. Perbedaan menjadi media untuk saling mengenal dan bekerja sama. Bukan untuk saling mencela dan merendahkan. Indonesia tidak akan dapat menjadi negara maju jika tanpa didasari dengan semangat persatuan. Maka dari itu, sesama anak bangsa harus mengedepankan rasa saling menghormati dan menghargai. Termasuk menghargai pilihan dan sikap politik.
3 Ukhuwah yang Harus Dijaga
Islam melalui keteladanan Rasulullah saw menekankan urgensi hubungan kasih sayang dengan sesama manusia. Karena itu, ukhuwah merupakan salah satu ajaran sentral dalam Islam. Secara garis besar, persaudaraan terbagi ke dalam tiga cakupan. Ketiganya ialah ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariah.
Istilah ukhuwah islamiyah menunjukkan makna persaudaraan antar sesama Muslim, tanpa melihat perbedaan warna kulit, bahasa, suku, bangsa dan kewarganegaraan. Pengikat persaudaraan ini adalah kesamaan keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Setiap Muslim wajib menjaga dan mewujudkan ukhuwah islamiyah dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan pendapat, organisasi, bahkan pilihan politik antar sesama Muslim tidak sewajarnya jika harus mengorbankan tali silaturahmi. Atau bahkan saling bermusuhan dan merendahkan.
Dalam surat al-Hujurat ayat 11 dan 12 dijelaskan enam sikap dan perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Larangan ini erat kaitannya dengan hakikat makna ukhuwah islamiyah. Mulai dari larangan memperolok-olok orang lain, mencaci orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan dan menghina, memanggil orang lain dengan sebutan yang tidak disukai, berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan saling menggunjing.
Sedangkan ukhuwah wathaniyah dapat terlihat dari cara atau upaya yang dilakukan Rasulullah ketika menyatukan karakteristik masyarakat Madinah yang heterogen. Rasulullah saw membuat konstitusi berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang disusun oleh Rasulullah saw itu dikenal dengan Piagam Madinah. Yakni undang-undang dasar yang mengikat anggota masyarakat Madinah. Perbedaan suku, golongan, agama dan kepercayaan tidak menjadi penghalang untuk bekerja sama menjaga keamanan bersama.
Mengenai ukhuwah basyariah, al-Qur’an menyatakan bahwa semua manusia berasal dari satu keturunan, yaitu Adam dan Hawa. Dengan demikian, semua manusia adalah bersaudara, karena mereka memiliki asal-usul yang sama. Hingga kini, meskipun manusia mendiami lima benua yang berbeda, tetapi hakikatnya mereka adalah saudara. Sama-sama sebagai keturunan Adam dan Hawa. Karena faktor lingkungan hidup yang berbeda, mereka memiliki warna kulit, bahasa, dan budaya yang berbeda.
Dalam surat al-Nisa ayat 1, Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (النساء: 1)
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari pandanya, Allah menciptakan istrinya. Dan dari keduanya, Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan jagalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. al-Nisa’: 1)
Dari titik ini, dapat kita garis bawahi bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan persatuan dan persaudaraan. Perbedaan identitas bukanlah alat untuk berebut kekuasaan. Di balik keragaman yang menjadi sunnatullah, semangat persatuan dan persaudaraan harus senantiasa dikedepankan.
Jika hal ini dapat disadari dan dipraktikkan dengan baik oleh umat Islam, niscaya Islam akan mengejawantah menjadi rahmat bagi alam semesta. Demikian halnya, dengan semangat persatuan dan persaudaran ini, bangsa Indonesia akan semakin maju dan bermartabat. Termasuk dalam ranah membangun tata kelola politik dan demokrasi. Semoga.
Demikian penjelasan terkait Islam tidak mengajarkan politik identitas. Semoga bermanfaat.