Isra Mi’raj Adalah Dalil Sifat Al ‘Uluw Bagi Allah

Isra Mi’raj adalah salah satu dalil bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi berada di atas langit.

Allah Ta’ala memiliki sifat Al ‘Uluw yaitu Maha Tinggi, dan dengan ke-Maha Tinggi-an-Nya Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy. Istiwa artinya ‘alaa was taqarra, tinggi dan menetap. Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy artinya Allah Maha Tinggi menetap di atas ‘Arsy. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Ar Rahman (Allah) ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5).

Dan peristiwa Isra Mi’raj adalah salah satu dalil bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi berada di atas langit. Mengapa demikian? Simak penjelasannya.

Dalil-dalil Sifat Al ‘Uluw bagi Allah

Dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah Ta’ala itu Maha Tinggi dan Ia ber-istiwa di atas Arsy sangatlah banyak, baik dari Al Qur’an, Al Hadits dan ijma salaf.

Dalil-dalil dari Al Qur’an mengenai hal ini bisa dibagi menjadi lima jenis:

Pertama: Dalil-dalil yang menyebutkan bahwa Allah menamai diri-Nya dengan Al Aliy (العلي) dan Al A’la (الأعلى) dan diantara kaidah ahlussunnah dalam al asma was shifat Allah adalah:

أسماء الله أعلام وأوصاف

“nama-nama Allah Ta’ala itu mengandung nama sekaligus sifat Allah”

Kedua: Dalil-dalil yang menyebutkan bahwa Allah menyatakan diri-Nya ber-istiwa di atas Arsy. Sedikitnya ada 7 tempat dalam Al Qur’an yang menyebutkan hal ini. Diantaranya Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Ar Rahman (Allah) ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5).

Ketiga: Dalil-dalil yang menyebutkan sifat fauqiyah, yaitu bahwa Allah ada di atas. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman tentang Malaikat:

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ

Para Malaikat itu takut kepada Rabb mereka yang ada di atas mereka” (QS. An Nahl: 50).

Keempat: Allah Ta’ala menegaskan bahwa kalimat thayyibah akan naik kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. Fathir: 10).

Kelima: Dalil-dalil yang menyebutkan tentang adanya hal-hal yang diangkat kepada Allah. Diantaranya firman Allah Ta’ala tentang Isa ‘alaihissalam:

بَل رَّفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ

Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya” (QS. An Nisa: 158).

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ

(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku”” (QS. Ali Imran: 55).

Adapun dalil-dalil dari hadits sangatlah banyak sekali hingga tak terhitung.

Ibnul Qayyim mengatakan:

إن الآيات والأخبار الدالة على علو الرب على خلقه ,واستوائه على عرشه تقارب الألوف

“Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, itu semua mencapai ribuan” (Mukhtashar Ash Shawaiqul Mursalah, 1/386).

Para ulama ijma bahwa Allah Maha Tinggi ber-istiwa di atas Arsy

Penetapan bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi, berada di atas langit dan ber-istiwa di atas Arsy adalah ijma (konsensus) salaf serta ijma para ulama yang mengikuti jejak mereka. Bahkan nukilan ijma mengenai hal ini sangatlah banyak, jelas dan valid. Dalam kitab Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, Imam Adz Dzahabi menukil perkataan Ishaq bin Rahuwaih:

قال الله تعالى {الرحمن على العرش استوى} إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة

“Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Ar Rahman ber-istiwa di atas Arsy’, ini adalah ijma para ulama yaitu bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, dan Allah mengetahui segala sesuatu hingga di bawah bumi yang ke tujuh” (Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, 179).

Imam Ibnu Bathah mengatakan:

أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين، وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه، فوق سماواته بائن من خلقه، وعلمه محيط بجميع خلقه، لا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية

“Kaum Muslimin dari kalangan sahabat Nabi dan tabi’in serta para ulama kaum Mu’minin bersepakat bahwasanya Allah Tabaraka wa Ta’ala berada di atas Arsy, di atas langit-langit dan terbedakan dengan makhluknya. Adapun ilmu Allah meliputi seluruh makhluk. Tidak ada yang menolak dan mengingkari keyakinan ini kecuali orang-orang yang terpengaruh madzhab hululiyyah” (Al Ibanah Al Kubra, 7/136).

Mulianya Sifat Maha Tinggi dan Istiwa Allah di Atas Arsy

Tentunya sifat Maha Tinggi dan istiwa Allah di atas Arsy ini sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak sebagaimana sifat tinggi dan sifat istiwa pada makhluk. Sebagaimana Allah juga punya sifat mendengar dan melihat, sedangkan manusia juga mendengar dan melihat. Namun sifat mendengar dan melihat pada Allah tidak sama seperti sifat mendengar dan melihat pada manusia. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy-Syura: 11).

Isra Mi’raj adalah salah satu dalil sifat Al ‘Uluw bagi Allah

Diantara dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah Ta’ala Maha Tinggi, Ia berada di langit ber-istiwa di atas Arsy, adalah peristiwa Isra Mi’raj. Lebih tepatnya pada peristiwa Mi’raj, ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperjalankan ke langit dan bertemu dengan Allah Ta’ala menerima perintah shalat lima waktu.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu beliau berkata:

لمَّا أُسْريَ برسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ انتُهيَ بِهِ إلى سدرةِ المنتَهَى ، وَهيَ في السَّماءِ السَّادسةِ ، إليها ينتَهي ما يعرجُ بِهِ منَ الأرضِ ، فيقبِضُ منها ، وإليها ينتَهي ما يُهْبِطُ بِهِ مِن فوقِها فيقبِضُ منها ، قالَ : إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى [ 53 / النجم / الآية – 16 ] قالَ : فِراشٌ من ذَهَبٍ ، قالَ : فأُعْطيَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ ثلاثًا : أُعْطيَ الصَّلواتِ الخمسَ ، وأُعْطيَ خواتيمَ سورةِ البقرةِ ، وغُفِرَ لمن لم يشرِكْ باللَّهِ من أمَّتِهِ شيئًا ، المُقْحِماتُ

Ketika Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam diperjalankan hingga ke Sidaratul Muntaha, yaitu di langit ke enam. Di sanalah terhenti segala sesuatu yang naik dari bumi, lalu diputuskan di sana. Dan di sana pula terhenti segala sesuatu yang turun dari atasnya, lalu diputuskan di sana. “Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya” (QS. An Najm: 16). Ibnu Mas’ud mengatakan: “yaitu tempat tidur yang terbuat dari emas”. Beliau lalu mengatakan: Lalu Rasulullah diberikan tiga hal di sana: diberikan perintah shalat lima waktu, diberikan ayat-ayat terakhir surat Al Baqarah, dan diampuni orang-orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun dari umatnya walaupun ia berbuat dosa besar” (HR. Muslim no. 173).

Imam Ibnu Mandah dalam Kitabut Tauhid membuat bab:

ذكر الايات المتلوة و الاخبار المأثورة بنقل الرواة المقبولة التي تدل على أن الله تعالى فوق سمواته و عرشه و خلقه قاهرا سميعا عليما

“Penyebutan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits dengan periwayatan yang diterima yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala ada di atas langit dan di atas Arsy-nya serta di atas para makhluk-Nya, dalam keadaan Ia Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (Kitabut Tauhid libni Mandah, hal. 761, cetakan Dar Hadyun Nabawi Mesir).

Dan diantara hadits-hadits yang beliau bawakan dalam bab tersebut adalah hadits Ibnu Mas’ud riwayat Muslim di atas. Mengisyaratkan bahwa beliau berdalil dengan hadits mengenai Isra Mi’raj, yaitu diperjalankannya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam diperjalankan ke langit, untuk menunjukkan bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi berada di atas langit, di atas Arsy dan di atas para makhluk-Nya.

Imam Adz Dzahabi dalam kitab Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar juga membawakan hadits panjang dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim mengenai kisah Isra dan Mi’raj (Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, no. 17). Dan kitab tersebut seluruhnya berisi dalil-dalil mengenai sifat Al ‘Uluw sebagaimana judulnya.

Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi juga menyatakan:

وَفِي حَدِيثِ الْمِعْرَاجِ دَلِيلٌ عَلَى ثُبُوتِ صِفَةِ الْعُلُوِّ لِلَّهِ تَعَالَى مِنْ وُجُوهٍ، لِمَنْ تَدَبَّرَهُ

“Dan dalam hadits mengenai Mi’raj terdapat dalil ditetapkannya sifat Al ‘Uluw bagi Allah Ta’ala dari banyak sisi pandang, bagi orang yang mentadabburinya”(Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyyah, 1/226).

Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi menjelaskan:

أما الفوائد الأخرى العامة المستنبطة من حديث الإسراء والمعراج ففيه أولا إثبات العلو لله عز وجل من وجوه: حيث إن الرسول -عليه الصلاة والسلام- عرج به إلى ربه عز وجل ثم جاوز السبع الطباق ثم لما كان يتردد بين ربه وبين موسى في كل مرة يعلو به جبرائيل إلى الجبار -تبارك وتعالى- فيه الرد على من أنكر العلو من الجهمية والمعتزلة والأشاعرة وغيرهم

“Faidah umum lainnya yang bisa kita petik dari hadits isra mi’raj adalah: pertama, penetapan sifat Al ‘Uluw bagi Allah ‘Azza wa Jalla dari berbagai sisinya. Karena Rasulullah ‘alaihis shalatu wassalam diangkat naik menghadap Allah ‘Azza wa Jalla hingga langit yang ke-7. Kemudian beliau bolak-balik antara menghadap Allah dan bicara dengan Nabi Musa. Setiap kali setelah bicara dengan Musa, Jibril membawanya naik kembali menghadap Allah Tabaraka wa Ta’ala. Hadits ini adalah bantahan bagi orang yang mengingkari sifat Al ‘Uluw, seperti kaum Jahmiyah, Mu’tazilah, Asya’irah dan selainnya” (Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyyah, 1/152).

Aneh jika merayakan Isra Mi’raj, namun mengingkari sifat Al ‘Uluw

Sebagian orang mereka mengadakan acara peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun di sisi lain mereka mengingkari bahwa Allah Maha Tinggi ber-istiwa di atas Arsy. Mereka malah mengatakan Allah ada dimana-mana, ada di hari kita, atau perkataan bahwa “Allah tidak di atas, tidak di bawah, tidak di dalam dunia dan tidak di luar dunia”, atau perkataan “Allah ada tanpa tempat”, atau sikap tawaqquf seperti mengatakan “hanya Allah yang tahu Ia dimana”, “kita serahkan maknanya kepada Allah” dan perkataan-perkataan semisalnya yang pada hakikatnya ingin mengingkari bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi ber-istiwa di atas Arsy sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil.

Ini menjadi aneh karena mereka justru membuat perayaan Isra Mi’raj (yang tidak ada tuntunan untuk merayakannya) namun mereka tidak menerima muqtadha (konsekuensi) dari peristiwa Isra Mi’raj tersebut yaitu penetapan sifat Al ‘Uluw bagi Allah. Syaikh Salim bin Sa’ad Ath Thawil mengatakan:

إن مناهج وعقائد أهل البدع متناقضة غاية التناقض!! وذلك لأنها من عند غير الله تعالى. فتجدهم يثبتون المعراج لرسول الله صلى الله عليه وسلم ويحتفلون بذكراه مع أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يحتفل فيه ولم يرشد إلى ذلك، كما أنهم يثبتون معراج النبي صلى الله عليه وسلم إلى السماوات العلا وينكرون أو يشكون أو يتوقفون في علو الله تبارك وتعالى

“Diantara manhaj ahlul bid’ah adalah berlaku kontradiktif hingga tingkatan kontradiksi yang paling puncak. Itu karena keyakinan mereka itu bukan berasal dari Allah Ta’ala. Anda bisa melihat mereka membenarkan peristiwa Mi’raj-nya Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, dan bahkan membuat perayaan untuk mengenangnya, padahal Nabi Shallallahu’alahi Wasallam tidak pernah merayakannya dan tidak pernah menuntunkannya. Mereka juga membenarkan bahwa Nabi Shallallahu’alahi Wasallam diangkat ke langit. Namun mereka mengingkari atau meragukan atau bersikap tawaqquf tentang sifat Al ‘Uluw bagi Allah Tabaraka wa Ta’ala

Beliau juga mengatakan:

إذا لم نقل بأن الله تعالى فوق السماء فإلى من عرج النبي صلى الله عليه وسلم؟ ومن فرض عليه الصلاة في السماوات العلا

“Jika kita tidak mengatakan bahwa Allah Ta’ala berada di atas langit, maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika Mi’raj ke langit itu menghadap siapa? Dan siapa yang memberi perintah wajibnya shalat lima waktu di sana?” (Ayyuhal Muhtafilun bil Isra wal Mi’raj Afala Ta’qilun

Sikap Kita Terhadap Peristiwa Isra Mi’raj

Dengan demikian, sudah sepatutnya jika kita membenarkan dan beriman kepada peristiwa Mi’raj-nya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ke langit, kita juga membenarkan dan beriman bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat Al ‘Uluw, Ia Maha Tinggi di atas para makhluk-Nya, berada di atas langit, ber-istiwa di atas Arsy sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil dan ijma salaf serta para ulama.

Wabillahi at taufiq was sadaad.

Penyusun: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29826-isra-miraj-adalah-dalil-sifat-al-uluw-bagi-allah.html

Pelajaran dari Isra dan Miraj Nabi SAW

Nabi SAW membawa oleh-oleh berupa perintah shalat lima waktu bagi umatnya

Setiap bulan Rajab kaum Muslimin selalu memperingati peristiwa perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Isra adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram (di Makkah) ke Masjidil Aqsha (di al-Quds, Palestina). Mi’raj adalah kenaikan Nabi menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluk. Semua itu ditempuh dalam semalam.

Jumhur sepakat bahwa perjalanan ini dilakukan oleh Nabi SAW dengan jasad dan ruh. Oleh karena itu, ia merupakan salah satu mukjizatnya yang mengagumkan yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya.

Peristiwa Isra Mi’raj terjadi pada tahun ke 10 dari Nubuwah, ini pendapat al-Manshurfury. Menurut riwayat Ibnu Sa’d di dalam Thabaqat-nya, peristiwa ini terjadi 18 bulan sebelum hijrah. Dengan tujuan untuk menentramkan perasaan Nabi, sebagai nikmat besar yang dilimpahkan kepadanya.

Agar Nabi merasakan langsung adanya perlindungan dari-Nya, yang sebelumnya, Nabi mengalami kesulitan dan penderitaan selama menjalankan dakwah dan kehilangan orang yang dicintai, Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid; untuk menunjukkan pada dunia bahwa Nabi merupakan Nabi teristimewa; untuk menunjukkan keagungan-Nya (QS al-Isra’ [17]: 1, QS al-An’am [6]: 75, dan QS Thaha [20]: 23); dan untuk menguji keimanan umat manusia.

Mengapa perjalanan Isra Mi’raj dimulai dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha? Peristiwa ini memberikan isyarat, kaum Muslimin di setiap tempat dan waktu harus menjaga dan melindungi Rumah Suci (Baitul Maqdis) dari keserakahan musuh Islam. Hal ini juga mengingatkan kaum Muslimin zaman sekarang agar tidak takut dan menyerah menghadapi kaum Yahudi yang selalu menodai dan merampas Rumah Suci.

Dalam perjalanan Isra Mi’raj, Nabi dipertemukan dengan para nabi terdahulu, hal ini merupakan bukti nyata adanya ikatan yang kuat antara Nabi SAW dengan nabi-nabi terdahulu. Sabda Nabi SAW, “Perumpamaan aku dengan nabi sebelumku adalah seperti seorang laki-laki yang membangun sebuah bangunan, lalu ia memperindah dan mempercantik bangunan itu, kecuali satu tempat batu bata di salah satu sudutnya. Ketika orang-orang mengitarinya, mereka kagum dan berkata, “Amboi indahnya, jika batu batu ini diletakkan?” Akulah batu bata itu, dan aku adalah penutup para nabi.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis shahih diriwayatkan, Nabi SAW mengimami para nabi dan rasul terdahulu dalam shalat jamaah dua rakaat di Masjidil Aqsha. Kisah ini menunjukkan pengakuan bahwa Islam adalah agama Allah terakhir yang diamanatkan kepada manusia. Agama yang mencapai kesempurnaannya di tangan Nabi SAW.

Pilihan Nabi SAW terhadap minuman susu, ketika Jibril menawarkan dua jenis minuman, susu dan khamr, merupakan isyarat secara simbolik bahwa Islam adalah agama fitrah. Yakni, agama yang akidah dan seluruh hukumnya sesuai dengan tuntunan fitrah manusia. Tidak ada sesuatu pun yang bertentangan dengan tabiat manusia.

Oleh-Oleh Isra Mi’raj

Sekembalinya seseorang dari menempuh perjalanan jauh selalu membawa oleh-oleh untuk keluarga, sanak famili, dan tetangganya. Pun dengan perjalanan Isra Mi’raj Nabi SAW.

Nabi SAW membawa oleh-oleh untuk umatnya. Setiap oleh-oleh yang dibawa Nabi pasti memiliki manfaat bagi manusia. Oleh-oleh yang dimaksud adalah perintah shalat lima waktu.

Sungguh merugi orang yang shalat, namun ia tidak dapat merasakan manfaatnya. “Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS al-Maa’un [107]: 4-5).

Di antara manfaat shalat itu, pertama, sebagai pembuka pintu surga. Nabi bersabda, “Kunci surga adalah shalat dan kunci shalat adalah wudhu.” (HR Tirmidzi).

Kedua, sebagai penerang hati. Shalat mendidik jiwa, menajamkan nurani, dan menerangi hati melalui lentera kebesaran dan keagungan. Nabi bersabda, “Shalat itu adalah cahaya penerang bagi seorang Mukmin.” (HR Ibnu Majah).

Ketiga, meraih ketenangan dan kebahagiaan. Seseorang yang mendirikan shalat berarti sedang menghadap Allah secara langsung tanpa perantara. Dengan keadaan seperti itu, perasaan dekat kepada-Nya menyelimuti jiwa, kebersamaan dengan-Nya memenuhi dada yang diiringi rasa tenteram, percaya diri, dan penuh keyakinan.

Kondisi itu pula yang mengantarkan seseorang untuk sujud dan rukuk dengan penuh khusyuk, seraya memohon pertolongan-Nya. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS al-Mukminun [23]: 1-2).

Keempat, menghapus dosa. Setiap manusia tidak luput dari salah dan dosa. Salah satu sarana untuk menghapus dosa adalah dengan menjaga shalat lima waktu. Nabi bersabda, ”Begitulah seperti halnya shalat lima waktu yang menghapuskan dosa-dosa.” (HR Muslim).

Kelima, mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dengan kata lain, menjalankan shalat dengan benar dapat mencegah berbagai bentuk kemungkaran. Hal ini menunjukkan, shalat dapat mempercantik perilaku dan memperindah diri dengan akhlak mulia. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45).

Dalam hadis Nabi disebutkan, ”Barang siapa yang mendirikan shalat tetapi dirinya tidak terhindar dari perbuatan keji dan munkar maka hakikatnya dia tidak melaksanakan shalat.” (HR Thabrani).

Keenam, menjadi pembeda antara Mukmin dengan kafir. Nabi bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dan kemusyikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Dalam hadis lain, “Kesepakatan yang mengikat kita dengan mereka adalah shalat. Barang siapa yang meninggalkan shalat berarti telah kafir.” (HR Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Oleh karena itu, kewajiban shalat tidak akan pernah lepas dari seorang Muslim. Ia tidak dapat gugur hanya karena sakit atau bepergian. Di mana pun seorang Muslim berada, ia tetap berkewajiban mendirikan shalat.

“Dan, bumi ini dijadikan untukku baik dan suci sebagai tempat bersujud. Jika waktu shalat datang pada setiap umatku, hendaknya ia mendirikannya di manapun ia berada.” (HR Bukhari dan Muslim)

Nilai-Nilai Shalat 

Peringatan Isra dan Mi’raj merupakan momentum bagi kaum Muslimin untuk mengevaluasi kualitas dan untuk mengambil pelajaran dari nilai-nilai shalat. Sehingga, shalat yang dilakukan dapat mengubah seseorang menjadi lebih bermakna dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Pertama, shalat mendidik kaum Muslimin untuk mensucikan diri dari sifat-sifat buruk. Hal ini dijelaskan melalui firman Allah SWT, ”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45).

Kedua, shalat mendidik kesatuan dan persatuan umat. Orang yang melaksanakan shalat menghadap ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah. Hal ini menunjukkan pentingnya mewujudkan persatuan dan kesatuan umat. Perasaan persatuan ini akan menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi antar sesama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ketiga, shalat mendidik disiplin waktu. Setiap yang shalat selalu memeriksa masuknya waktu shalat, dan menjaga serta berusaha untuk menunaikannya tepat pada waktunya, sesuai ketentuan syara, dan menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan duniawi yang melalaikan .

Keempat, shalat mendidik tertib organisasi. Menyangkut tertibnya jamaah shalat yang baris lurus di belakang imam dengan tanpa adanya celah kosong (antara yang satu dengan jamaah di kanan kirinya) mengembalikan kaum Muslimin pada perlunya nidzam (tertib organisasi). Dalam falsafat organisasi dikatakan, kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan dengan kebatilan yang terorganisir.

Kelima, shalat mendidik ketaatan kepada pemimpin. Mengikuti gerakan imam, tidak mendahuluinya walau sesaat, menunjukkan adanya ketaatan dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintahnya, selama perintah tersebut tidak untuk bermaksiat. Nabi SAW bersabda, ”Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR Ahmad).

Keenam, shalat mendidik keberanian untuk mengingatkan pimpinan. Jika imam lalai, diharuskan bagi makmum untuk mengingatkannya (dengan membaca subhanallah), hal ini menunjukkan keharusan rakyat untuk menegur atau mengingatkan pemimpinnya jika lalai atau melakukan kesalahan.

Ketujuh, shalat mendidik persamaan hak. Pada shalat berjamaah, dalam mengisi shaf tidak didasarkan pada status sosial jamaah, tidak pula memandang kekayaan atau pangkat, walau dalam shaf terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak tanpa memperdulikan tinggi kedudukan maupun tuanya umurnya.

Kedelapan, shalat mendidik hidup sehat. Dalam shalat pun memberikan kesan kesehatan, yang diwujudkan dalam gerakan di setiap rakaat shalat, yang setiap harinya minimal 17 rekaat secara seimbang. Hal ini merupakan olah-raga fisik dalam waktu yang teratur dengan cara yang sangat sederhana dan mudah dalam gerakannya.

Jika pelajaran dari Isra dan Mi’raj Nabi SAW ini dapat diimplementasikan dalam kehidupan, maka tidak menutup kemungkinan perubahan dalam kehidupan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik dapat terwujud. Semoga.

Pengirim: Imam Nur Suharno, Kepala HRD dan Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

REPUBLIKA

Tiga Hal Penting dalam Isra dan Miraj Rasulullah

Isra Mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram di Makkah ke al-Aqsha di Yerusalem. Kemudian, Rasulullah melanjutkan perjalanannya menuju sidratul muntaha untuk menerima wahyu dari Allah SWT. Peristiwa ini terjadi pada tahun 621 M, dua tahun setelah wafatnya Siti Khadijah, istri Rasulullah.

Saat Isra Miraj terjadi, Rasulullah sedang menginap di rumah Ummu Hani, putri Abu Thalib. Ketika itu, Rasulullah dan keluarga Ummu Hani melaksanakan shalat berjamaah.

Pada malam hari Rasul mengunjungi Ka’bah. Karena mengantuk, Rasulullah tertidur di Hijir Ismail. Pada saat itulah, Malaikat Jibril mendatanginya hingga tiga kali dan mengajak sang Nabi pergi. Isra Mi’raj dimulai. Berikut adalah tiga hal terkait peristiwa itu.

Buraq

Nabi Muhammad bangkit dan berdiri di samping Jibril. Malaikat pembawa wahyu ini mengajaknya menuju pintu masjid. Di sana terlihat seekor buraq, hewan berwarna putih, seperti peranakan antara kuda dan keledai dengan sayap di sisi tempat menggerakkan kakinya. Langkahnya sejauh mata memandang. Rasulullah dan Jibril menunggangi buraq.

Masjid al-Aqsha

Bersama Jibril, Rasulullah melakukan perjalanan ke utara Yasrib dan Khaybar hingga ke Yerusalem tepatnya Masjid al-Aqsha. Kemudian, dia bertemu para nabi pendahulunya: Ibrahim, Musa, Isa, dan nabi-nabi lainnya. Ketika shalat di Baitul Maqdis, seluruh nabi menjadi makmum Rasulullah.

Sidratul Muntaha

Salah satu tafsir tertua berdasarkan hadis Nabi dikatakan, sidratul muntaha berakar pada singgasana (Arsy). Itu menandakan puncak pengetahuan setiap orang yang berpengetahuan baik, termasuk di dalamnya malaikat dan rasul. Segala sesuatu di atasnya adalah misteri yang tersembunyi, tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Allah semata. Di sidratul muntaha, Rasulullah menerima perintah shalat.

 

REPUBLIKA

Belajar dari Peristiwa Isra Mi’raj

Isra Mi’raj adalah peristiwa perjalanan Rasulullah Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, dan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dalam Isra Mi’raj itulah Rasulullah SAW pertama kali mendapat perintah melaksanakan salat lima waktu dari Allah SWT.

“Isra Mi’raj adalah suatu mukjizat untuk memberikan solusi ketika umat Islam dalam kondisi hidup yang sulit, ditindas, dan banyak hal berat yang dihadapi, maka sebenarnya Isra Mi’raj itu solusi. Apa solusinya? Ketika Rasulullah di Isra Mi’raj-kan, beliau diberi tugas bahwa untuk menyelesaikan masalah adalah hubungan erat dengan Allah, yaitu dengan melaksanakan shalat. Sebab hubungan dengan Allah yang erat akan menghasilkan berbagai macam solusi,” kata Ketua Ikatan Da’i Indonesia (Ikadi) Prof Ahmad Satori Ismail, Selasa (17/4).

Oleh sebab itu, lanjut Kiai Ahmad Satori, diperintahkan kepada umat islam untuk kembali dan meminta ke Allah SWT dalam setiap shalat lima waktu. Karena dalam salat itu, umat islam minimal 17 kali membaca “ iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in” yang artinya hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami meminta. Dan itu sudah dipraktekkan Rasulullah SAW dalam banyak hal.

Kiai Ahmad Satori mengungkapkan, dalam suatu hadis menyebutkan, Rasulullah SAW kalau menghadapi problematika besar maka dia langsung kembali pada Allah SWT dengan melakukan shalat. Begitu juga bila ada suatu bangsa yang menghadapi banyak masalah, seharusnya bangsa itu bukan malah ribut atau bahkan perah, tapi harus kembali ke Allah untuk meminta solusinya.

Selain mukjizat perintah shalat kepada Rasulullah SAW, kata pimpinan Pondok Pesantren Modern Al Hassan Jatikramat Bekasi ini, banyak pelajaran dan hikmah lain yang bisa dipetik bangsa Indonesia dari peristiwa Isra Mi’raj. Pertama, kalau bangsa ini ingin aman tenteram, damai, harus benar-benar taat ajaran agama masing-masing, karena setiap agama itu menyuruh kebaikan, tidak yang menyuruh untuk membunuh orang lain, tapi agama menyuruh pada kebaikan.

Oleh sebab itu, umat islam yang mayoritas di Indonesia, harus aktif ke masjid, aktif salat jamaah, maka disitu akan terbentuk pribadi yang indah dan damai. Sebab dalam shalat itu, jamaah akan menuruti imam, juga banyak berdzikir mengingat Allah sehingga mereka betul-betul mendapat keberkahan hidup. Dengan meramaikan tempat ibadah, maka pribadi umat manusia pasti akan menjadi santun, damai, dan bermartabat. Sebaliknya, orang yang tidak pernah meramaikan tempat ibadah itu dinilai sebagai pribadi jahat.

“Untuk umat Islam, kalau rajin ke masjid dan beribadah, dia akan mendapatkan ilham dari Allah SWT, mendapatkan keindahan dalam hati, ketenangan jiwa, dan keberkahan dalam hidup,” tutur Kiai Ahmad Satori.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga mengingatkan kepada bangsa Indonesia, khususnya umat islam, untuk selalu waspada dengan ancaman perpecahan, radikalisme, terorisme, yang mengancam keutuhan NKRI. Ia menggarisbawahi kondisi di Timur Tengah yang masih dicekam dengan peperangan. Menurutnya perang di Timur Tengah itu terjadi karena skenario-skenario politik dari negera-negara lain, apakah itu Amerika Serikat, Rusia, bahkan juga Iran dan Cina.

Tetap Tenang Meski Diejek, Siapakah Dia?

Sekembalinya dari Isra Mikraj, Rasulullah SAW pergi ke Masjidil Haram. Ketika Abu Jahall melintas di hadapannya, Rasulullah SAW langsung menceritakan kepadanya bahwa tadi malam dirinya diperjalankan ke Masjidil Aqsa. Kemudian Abu Jahal tersenyum mengejek.

Ia berkata, “Engkau mengatakan bahwa engkau telah pergi ke Baitulmakdis tadi malam, lalu pagi-pagi sudah berada kembali di tengah-tengah kami?” Rasulullah menjawab mantap, “Benar”.

Dikisahkan dari Ensiklopedia Alquran bahwa Abu Jahal seolah-olah memperoleh kesempatan berharga untuk menanamkan keraguan kepada orang lain perihal kebenaran kenabian Muhammad SAW. Sekaligus untuk menegaskan kebenaran tentang yang pernah mereka (kaum kafir Quraisy) dakwahkan bahwa  Muhammad SAW kehilangan keseimbangan akalnya dan sudah sinting

Namun demikian, Abu Jahal khawatir jika Rasulullah SAW dapat menyangkal dari fitnahnya. Karena itu ia berkata, “Apakah engkau juga memberitahukan kaummu apa yang engkau katakan padaku sekarang?” Beliau menjawab, “Ya”. Lalu Abu Jahal meninggalkan beliau dan berteriak lantang, “Wahai segenap Bani Ka’ab bin Lu’ay, kemarilah, kemarilah!”

Ketika mereka sudah berkumpul di sekelilingnya, Abu Jahal segera menceritakan kepada mereka apa yang telah didengarnya dari Rasulullah SAW. Akibatnya, sebagian orang keluar dari Islam. Kemudian sebagian kaum musyrik segera mendatangi Abu Bakar ash-Shiddiq untuk memberitahukan apa yang dikatakan Nabi Muhammad SAW. Mereka berharap Abu Bakar juga keluar dari Islam.

Abu Bakar dengan tenang mendengar celotehan mereka, lalu berkata, “Jika Muhammad berkata demikian, ia benar. Ia adalah orang yang benar lagi terpercaya, yang sama sekali tak pernah berdusta. Aku bahkan membenarkan kabar yang lebih dari itu. aku membenarkan setiap kabar dari langit yang disampaikannya baik pagi maupun petang.”

Serombongan kaum musyrik mendatangi Rasulullah SAW di antara mereka terdapat sejumlah orang yang sebelumnya pernah perhi ke Baitulmakdis dan melihat Masjidil Aqsa. Mereka berkata, “Jika engkau benar-benar pernah pergi ke Baitulmaqdis,  gambarkan Masjidil Aqsa pada kami!”

Rasulullah SAW menjawab, “Pada awalnya, sulit bagiku untuk menggambarkannya. Lalu masjid itu didatangkan padaku dan aku melihatnya sehingga dapat menggambarkannya.” Artinya Allah SWT menjadikan Masjidil Aqsa terpampang di pelupuk mata Rasulullah SAW. Dengan demikian, Deliau dapat menerangkan masjid tersebut secara rinci kepada kaum musyrik.

Kaum musyrik tahu sepanjang hidup Rasulullah SAW belum pernah pergi ke Baitulmaqdis. Meskipun demikian mereka tetap tidak merasa puas. Rasulullah SAW berharap, dapat memuaskan mereka agar mau memeluk Islam. Beliau lalu menyebutkan kepada mereka sejumlah bukit yang kebenarannya tak terbantahkan.

Beliau berkata, “Aku melewati unta bani fulan di Rauha’. Mereka sedang mencari untanya yang hilang. Aku mengambil segelas air di sana lalu meminumnya. Tanyakanlah kepada mereka tentang itu.” Rasulullah SAW menambahkan, “Aku juga melewati unta-unta di Tan’un, dan unta yang paling depan berwarna abu-abu, di atasnya terdapat dua buah karung yang terikat. Ia akan datang kepada kalian saat matahari terbit.”

Meskipun yang dikatakan Rasulullah SAW itu benar adanya, mereka tetap enggan memeluk Islam. Bahkan, mereka mengatakan, “Ini adalah sihir yang nyata!” Namun demikian, cahaya Islam mampu menembus gelapnya kebodohan dan kekufuran di Semenanjung Arabia.

 

REPUBLIKA

Sanksi dan Ganjaran yang Dilihat Rasulullah Saat Isra dan Mi’raj

Peristiwa Isra Mi’raj merupakan satu dari sekian mukjizat yang dianugerahkan Allah SWT kepada Muhammad SAW. Selama perjalanan tersebut, Rasul melihat banyak pemandangan aneh, sebagiannya positif dan sebagian lainnya negatif.

Syekh Mutawalli as-Sya’arawi dalam kitabnya al-Mu’jizat al-Kubra fi al-Isra’al-Mi’raj memaparkan perkara apa saja yang pernah dilihat langsung oleh Rasulullah selama perjalanan menuju langit ketujuh. Di antara kejadian itu adalah sebagai berikut:

  1. Rasul melihat sekelompok pria yang bercocok tanam lalu kemudian memanennya di lain hari. Tiap kali panen, tanaman itu kembali seperti semula. Rasul bertanya kepada Jibril, siapakah mereka?
  2. Jibril menjawab, “Mereka adalah para mujahid yang berjuang di jalan Allah, dan Dia mengganti apa yang telah mereka infakkan.”
  3. Rasul melihat pula seorang pria yang mengumpulkan kayu bakar yang besar, namun tak mampu membawanya dan terus menambah jumlah kayunya. Siapakah mereka, tanya Rasul. “Pria ini dari umatmu (Muhammad), ia mengemban amanat tapi tak ditunaikan, malah dia menambah terus amanat.”
  4. Pada perjalanan ini, Rasul juga melihat kuburan Masyitah, putri Fir’aun dan mendapati aroma yang wangi. Rasul penasaran aroma wangi apa gerangan? “Ini aroma Masyithah dan anak-anaknya,” kata Jibril.
  5. Rasul melihat sekelompok pria dan kaum, kepala mereka dipecahkan dengan bebatuan. Rasul pun menanyakan siapa mereka. “Mereka adalah yang semasa hidupnya bermalas-malasan shalat,” ujar Jibril.
  6. Rasul juga diperlihatkan ganjaran bagi mereka yang tidak membayar zakat. Dia melihat yang digiring layaknya binatang ternak, makanan mereka tanaman berduri. Syekh Mutawalli mengingatkan ganjaran ini sangat pantas, sebab bagaimana para orang kaya tersebut tega tak memberikan fakir miskin, seakan mereka tak punya nurani seperti binatang.
  7. Rasul juga melihat ganjaran bagi para pegosip dan peghibah, yakni mereka memiliki kuku panjang dari tembaga, lalu kuku tersebut mereka gunakan untuk mencabik-cabik wajah dan dada mereka sendiri.

 

REPUBLIKA ONLINE