Mantan JI : Berbohong adalah Strategi Jamaah Islamiyah

Pada tahun 2005 Mantan tokoh penting Jamaah Islamiyah (JI) pernah membuka gerakan radikal teror paling berpengaruh di Asia Tenggara ini dalam sebuah buku Membongkar Jamaah Islamiyah. Banyak hal yang ia ceritakan tentang gerakan ini. Salah satunya yang sangat menggelitik adalah perihal strategi kebohongan.

Kebohongan bagi anggota JI adalah kelaziman untuk dilakukan. Sebagai gerakan rahasia (Tanzim sirri) menuntut kelompok ini untuk melakukan manuver kebohongan. Seolah tampak berbeda dengan hati yang dirasakan dan seolah tampak baik dengan perbuatan yang telah dilakukan.

Dalam buku itu ia menarasikan dengan lugas :  Hampir semua anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah rnengambil sikap berbohong dan menghindar dengan berbagai alasan untuk tidak mengaku sebagai anggota organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah.

Kalimat ini cukup jelas untuk menggambarkan bahwa anggota JI tentu tidak akan mengaku secara vulgar dirinya terkait dengan organisasi yang sudah dianggap organisasi teror. Dengan berbohong anggota JI bisa memasuki ruang kehidupan masyarakat di berbagai sektor. Anggota JI bisa menyusup ke lembaga manapun.

Praktek Tanzim Sirri betul-betul dijaga oleh anggota JI sebagai bagian dari strategi. Tidak mengherankan jika ada seseorang yang kemudian mendadak tertangkap karena terafiliasi dengan JI dan orang dekat pun bahkan keluarganya tidak mengetahui bahwa orang itu bagian dari JI. Atau ketika ada penangkapan di tengah masyarakat, tetangganya pun tidak akan pernah sadar ia bagian dari JI.

Mungkin saja para anggota JI mengamalkan salah satu hadist kebolehan berbohong yang diterapkan secara salah. Ibnu Syihab berkata (dalam riwayat lain) dan aku belum pernah mendengar Nabi mentolerir kebohongan kecuali dalam tiga kondisi; pada saat perang, mendamaikan dua orang, dan perkataan suami kepada istri, atau sebaliknya.

Kebohongan yang dimaksudkan sebenarnya bertuju pada kebaikan, termasuk dalam perang sekalipun. JI menganggap kondisi dan situasi selalu berada dalam kondisi perang sehingga kebohongan adalah absah dilakukan. Padahal sejatinya kebohongan dan keimanan sesuatu yang saling bertolak belakang.

Dalam Syarh Shahih Muslim Imam An Nawawi menjelaskan sejatinya toleransi kebohongan yang terkandung dalam hadist di atas semata bertujuan untuk kemashlahatan dan tidak mengandung mudharat.  Pertanyaan, kemashlahatan apa yang ingin diraih dengan kebohongan para anggota JI? Bukankah mudharat besar telah timbul dari kebohongan tersebut?

Sungguh ini harus menjadi perhatian bersama bagaimana bohong adalah bagian dari strategi JI yang patut diwaspadai oleh masyarakat. Dalam penutup buku itu Nasir Abbas menulis dengan cukup lugas :

Mereka (anggota JI) sebenarnya bukan hanya berbohong kepada polisi, bukan kepada jaksa dan juga bukan kepada hakim, tetapi mereka berbohong kepada umat Islam. Umat Islam disesatkan dengan semua kebohongan tersebut, mereka berlindung di balik kebohongannya karena tidak berani bertanggungjawab dengan apa yang diperjuangkan. Berjuang membela Islam dengan kebohongan itulah kenyataan yang diperlihatkan mereka. Apakah mereka tidak ingat dengan ancaman Rasulullah SAW terhadap orang yang berbohong? Sampai-sampai Rasulullah SAW tidak mengakui sebagai umatnya jika berbohong.

ISLAM KAFFAH