Berjemaah 40 Hari Terbebas Neraka dan Sifat Munafik?

ADA yang bertanya seputar hadis yang intinya bahwa seorang yang secara rutin 40 hari terus menerus salatnya berjemaah, akan bebas dari neraka dan sifat munafik?

Dinyatakan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Siapa yang salat jemaah selama 40 hari dengan mendapatkan takbiratul ihram, maka dia dijamin bebas dari dua hal, terbebas dari neraka dan terbebas dari kemunafikan.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad 12583, Turmudzi 241, dan yang lainnya. Ulama berbeda pendapat tentang keabsahannya. Sebagian menghasankan dan sebagian menilainya dhaif. Dalam Fatawa Islam dinyatakan,

Hadis ini dinilai dhaif oleh beberapa ulama masa silam dan mereka beralasan statusnya mursal. Dan dihasankan oleh sebagian ulama mutaakhirin. Simak Talkhis al-Habir, 2/27. (Fatawa Islam, no. 34605).

Kemudian, terdapat dalam riwayat lain dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Apabila kalian melihat ada orang yang terbiasa pulang pergi ke masjid, saksikanlah bahwa dia orang mukmin. Allah berfirman,

“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah.” (at-Taubah: 18). (HR. Ahmad 11725, Turmudzi 2617, Ibn Majah 802 dan dinilai dhaif oleh al-Albani).

Hadis yang berbicara masalah ini, statusnya memang bermasalah. Hanya saja, tingkatan dhaifnya ringan. Dan sebagian ulama membolehkan berdalil dengan hadis dhaif dalam masalah fadhilah amal, yang di sana tidak ada unsur hukum.

Dalam Fatawa Islam dinyatakan,

Tidak diragukan bahwa semangat untuk mendapatkan takbiratul ihram, selama rentang masa ini merupakan tanda betapa dia adalah orang yang kuat agama. Selama hadis tersebut ada kemungkinan shahih, maka diharapkan bagi orang yang semangat mengamalkannya, dia akan dicatat mendapatkan keutamaan yang besar itu. Minimal yang diperoleh seseorang dengan melakukan hal itu, dia bisa mendidik dirinya untuk menjaga syiar islam yang besar ini. (Fatawa Islam, no. 34605).

INILAH MOZAIK

Apakah Shalat Jama’ah Wajib di Masjid?

Telah kita ketahui bersama bahwa shalat berjama’ah hukumnya wajib ‘ain bagi kaum lelaki. Namun apakah shalat berjama’ah wajib dilaksanakan di masjid? Ataukah sudah gugur kewajiban shalat jama’ah walaupun tidak dilakukan dimasjid?

Dalil Wajibnya Shalat Berjamaah di Masjid

Yang rajih, shalat berjama’ah wajib dilaksanakan di masjid kecuali jika ada udzur untuk tidak melasanakannya di masjid. Wajbnya shalat jama’ah di masjid ditunjukkan oleh banyak dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Diantaranya:

Dalil 1

Allah Ta’ala berfirman:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS. An Nur: 36 – 37).

Dalil 2

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat” (QS. At Taubah: 18).

Syaikh Shalih Al Fauzan ketika menyebut dua ayat di atas beliau mengatakan, “Dalam dua ayat yang mulia ini terdapat penekanan untuk ibadah di masjid dan memakmurkannya. Dan Allah menjanjikan orang yang melakukannya dengan pahala besar. Maka terdapat celaan bagi orang yang tidak menghadiri masjid untuk shalat di sana” (Al Mulakhas Al Fiqhi, 103).

Dalil 3

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لقد هممت أن آمر بالصلاة فتقام ثم آمر رجلا فيصلي بالناس ثم أنطلق معي برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة فأحرق عليهم بيوتهم بالنار

“Sungguh aku benar-benar berniat untuk memerintahkan orang-orang shalat di masjid, kemudian memerintahkan seseorang untuk menjadi imam, lalu aku bersama beberapa orang pergi membawa kayu bakar menuju rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah lalu aku bakar rumahnya” (HR. Bukhari no. 7224, Muslim no. 651).

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengancam orang yang tidak menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Maka menunjukkan bahwa shalat berjama’ah wajib dilakukan di masjid. Telah kita sampaikan hadits ini dan alasan mengapa beliau tidak melakukannya.

Dalil 4

Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن سَمِعَ النِّداءَ فلَم يأتِ فلا صَلاةَ لَه إلَّا مِن عُذرٍ

Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur” (HR. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793, dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]).

Dalil 5

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,

أن رجلاً أعمى قال يا رسول الله: ليس لي قائد يقودني إلى المسجد، فهل لي من رخصة أن أصلي في بيتي، فقال له صلى الله عليه وسلم: هل تسمع النداء بالصلاة؟ قال: نعم، قال: فأجب

“Ada seorang buta menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid. Apakah ada keringanan bagiku untuk shalat di rumah?“. Maka Rasulullah pun bertanya kepadanya, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (azan)?”. Laki-laki itu menjawab, “Ya”. Beliau bersabda, “Kalau begitu penuhilah panggilan tersebut (hadiri shalat berjamaah)” (HR. Muslim no. 653).

Dalil 6

Bahkan di zaman Nabi, orang yang tidak shalat jama’ah di masjid, sudah kentara sebagai orang munafik. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata:

من سره أن يلقى الله غداً مسلماً فليحافظ على هؤلاء الصلوات حيث ينادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم سنن الهدى وإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم، ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم ولقد رأيتنا وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق أو مريض، ولقد كان الرجل يؤتى به يهادى بين الرجلين حتى يقام في الصف

“Barangsiapa yang ingin ketika berjumpa dengan Allah esok dalam keadaan sebagai seorang Muslim, maka hendaknya dia menjaga shalat 5 waktu di tempat dikumandangkan adzan (yaitu di masjid). Karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian jalan-jalan petunjuk. Dan shalat 5 waktu di masjid adalah salah satu di antara jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang tidak ikut shalat berjamaah ini, ia shalat di rumahnya, maka sungguh kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, maka sungguh kalian akan tersesat. Dan sungguh aku melihat dahulu kami para sahabat, tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dan sungguh dahulu ada sahabat yang dibopong ke masjid dan ditopang di antara dua lelaki agar bisa berdiri untuk shalat di shaf” (HR. Muslim no.654).

Udzur Tidak Shalat Berjamaah di Masjid

Maka jelaslah dari dalil-dalil di atas bahwa shalat berjama’ah wajib dilaksanakan di masjid, kecuali jika ada udzur. Ibnul Qayyim menjelaskan: 

ومن تأمل السنة حق التأمل تبين له أن فعلها في المساجد فرض على الأعيان ، إلا لعارض يجوز معه ترك الجمعة والجماعة ، فترك حضور المسجد لغير عذر : كترك أصل الجماعة لغير عذر، وبهذا تتفق جميع الأحاديث والآثار….

“Barangsiapa yang mentadabburi As Sunnah dengan sebenar-benarnya, akan jelas baginya bahwa melaksanakan shalat jama’ah di masjid itu hukumnya fardhu ‘ain. Kecuali ada penghalang yang menghalangi untuk membolehkan untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat Jama’ah. Maka meninggalkan hadir shalat di masjid tanpa udzur seperti meninggalkan shalat jama’ah tanpa udzur. Dengan pendapat inilah akan bersesuaian semua hadits dan atsar” (Kitabus Shalah, 416).

Udzur yang membolehkan orang untuk tidak menghadiri shalat berjama’ah diantaranya: sakit yang menyulitkan untuk hadir di masjid, hujan, cuaca sangat dingin, dan semua kondisi yang menimbulkan masyaqqah pada seseorang untuk hadir di masjid. dibolehkan bagi lelaki untuk tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah (kesulitan) seperti sakit, hujan, adanya angin, udara sangat dingin atau semacamnya.

Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma:

كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ‏‏: ” أَلَا صَلُّوا فِي ‏‏الرِّحَالِ ‏” فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ

“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau hujan dalam safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

خرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في سفرٍ . فمُطِرْنا . فقال ” ليُصلِّ من شاء منكم في رَحْلِه “

“Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan. Beliau besabda: ‘bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan‘” (HR. Muslim no. 698).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

صلوا في بيوتكم إذا كان فيه مشقة على الناس من جهة المطر أو الزلق في الأسواق

“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah (kesulitan) yang dirasakan orang-orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.” (https://www.binbaz.org.sa/noor/5631)

Dan kondisi sakit terkadang  menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat di masjid, padahal beliau yang biasa mengimami orang-orang. Beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menggantikan posisi beliau sebagai imam. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:

أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال في مرَضِه : ( مُروا أبا بكرٍ يصلِّي بالناسِ )

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan Abu Bakar untuk shalat (mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ

“Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (HR. Muslim no. 654).

Jika Kesulitan Mendatangi Masjid

Demikian juga boleh bagi para pekerja, para pelajar dan semisalnya untuk mendirikan shalat di tempat mereka beraktifitas jika sulit untuk datang ke masjid. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: “Namun jika ada kebutuhan untuk mendirikan shalat jama’ah di luar masjid, seperti para karyawan yang akan shalat di tempat mereka bekerja karena jika mereka shalat di tempat kerja mereka itu akan lebih menunjang pekerjaan mereka, dan akan lebih mudah untuk mewajibkan para karyawan untuk mendirikan shalat berjama’ah, dan selama tidak membuat masjid-masjid yang ada di sekitarnya menjadi terlantar, semoga dalam keadaan seperti tidak mengapa mereka (para karyawan) shalat di tempat kerjanya” (Al Mulakhas Al Fiqhi, 104).

Adapun hadits:

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

“Aku diberi lima perkara oleh Allah, yang tidak diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku. [1] Aku ditolong (oleh Allah) berupa rasa takut pada hati musuh (sebelum mereka datang) sejauh perjalanan satu bulan, [2] bumi dijadikan untukku sebagai tempat shalat dan alat bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, hendaklah dia shalat [3] ghanimah dihalalkan untukku, dan itu tidaklah halal untuk seorangpun sebelumku, [4] Aku diberi syafa’at, [5] dan Nabi-Nabi terdahulu diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia” (HR. Bukhari no.335).

Disebutkan dalam hadits ini bahwa setiap bagian dari bumi dapat digunakan untuk shalat. Maka ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang mengatakan tidak wajibnya shalat berjama’ah di masjid. Namun yang tepat, maksud hadits ini adalah bagi orang yang tidak wajib shalat berjama’ah di masjid atau ada udzur yang membolehkan ia tidak shalat berjama’ah di masjid. Seperti orang yang sedang safar, orang yang sakit atau jauh dari masjid. Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani ketika membawakan hadits di atas beliau memberikan penjelasan: “Namun jika tidak mudah untuk pergi ke masjid, atau masjid terlalu jauh sehingga tidak terdengar adzan, atau shalat jama’ah dilakukan ketika safar, maka shalat jama’ah tetap wajib bagi mereka yang mampu melakukannya dan boleh bagi mereka untuk shalat di tempat mana saja yang suci” (Al Masajid, 57). Dengan demikian semua dalil saling sejalan dan cocok.

Maka kesimpulannya, shalat berjama’ah wajib dilaksanakan di masjid kecuali jika ada udzur untuk tidak melasanakannya di masjid. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52194-shalat-jamaah-wajib-di-masjid.html

Yuk Berjalan Kaki ke Masjid!

SETELAH berwudhu, menyucikan diri dari segala najis dan kotoran secara sempurna sehingga tubuh dan jiwa kita siap untuk melaksanakan salat berjemaah. Semua ulama bersepakat mengenai anjuran salat berjemaah, bahkan sebagaian ulama mewajibkannya.

Kita sebagai umat Islam, diharuskan untuk berkumpul di masjid untuk mendirikan salat berjemaah dalam barisan yang rapi. Selain pahala besar yang dijanjikan Allah, berjalan menuju masjid untuk mendirikan salat juga mengandung faedah luar biasa bagi kesehatan.

Rasulullah saw sering kali menganjurkan umatnya untuk berjalan kaki menuju masjid atau tempat salat. Anjuran tersebut beliau sampaikan dalam beberapa hadis. Dan, Allah juga akan memberikan pahala yang sangat besar bagi orang yang berjalan menuju tempat salat.

Orang yang paling jauh jaraknya menuju masjid niscaya akan mendapat pahala yang paling besar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Maukah kalian ditunjukkan kepada suatu amal yang dengannya Allah menghapus dosa dan meninggikan derajat?”

Lalu, para sahabat menjawab, “Tentu saja, Rasulullah.”

“Menyempurnakan wudhu dan menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai, memerbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu waktu salat dengan mendirikan salat. Itulah keutamaan. Itulah keutamaan.” (HR.Muslim)

Abu Musa ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang yang mendapat pahala salat yang paling besar adalah yang paling jauh jarak perjalanannya ke masjid.” (HR.Muslim)

Hadis ini dan hadis sebelumnya menegaskan keutamaan rumah yang jauh dari masjid sehingga butuh banyak langkah untuk sampai ke sana. Pahala yang didapatkannya pun lebih banyak dibandingkan dengan orang lain. Semakin jauh rumah seseorang dari masjid, makin besar pahala salatnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang bersuci di rumahnya kemudian berjalan menuju salah satu rumah Allah untuk melaksanakan kewajiban dari Allah, niscaya langkahnya itu akan menghapus dosanya dan mengangkat derajatnya.” (HR.Muslim)

Semua hadis di atas menegaskan anjuran kepada kita, umat muslim untuk berjalan kaki menuju masjid sekuat tenaga, tidak diatas kendaraan apapun meskipun rumahnya jauh dari masjid, selama tidak ada uzur atau hambatan yang menghalangi perjalanannya. Ingat, pulang juga dianjurkan dengan berjalan kaki. [Chairunnisa Dhiee]

INILAH MOZAIK