Demi Karier, Anak Dititipkan ke Orangtua Itu Zalim

TAK sedikit para ibu yang memiliki pekerjaan di luar rumah menitipkan anaknya kepada orangtua. Kemudian memberikan orangtua uang bulanan, entah semata-mata memberi sebagai bentuk bakti atau serupa gaji karena anak dititipi.

Tak dapat dielakkan bahwa kewajiban mendidik anak menjadi tanggung jawab utama orangtua kandung, karena mereka adalah amanah yang dititipkan Allah pada kita dan tentunya menjadi investasi amal kebajikan di kemudian hari.

Namun, alih-alih memanfaatkan kesempatan menanamkan buah kebajikan pada anak, banyak orangtua yang mengalihkan sebagian besar waktu penjagaan kepada orang lain khususnya ibu sendiri atau ibu mertua. Salah satu alasannya ialah mengejar karir.

Dalam hal ini, kita dapat menanyakannya pada diri kita sendiri. Apakah perbuatan kita tersebut benar dan dapat dibenarkan secara syariat atau tidak.

Pertama, tanyakan pada hati kita, apa sebenarnya yang melandasi perbuatan tersebut? Apakah karena orangtua kita lebih baik dalam mendidik anak-anak kita? Atau hanya demi mengejar karier?

Kedua, pastikan apakah orangtua kita merasa terhibur dengan kehadiran cucu-cucunya setiap hari? Atau malah sebaliknya, orangtua kita dengan usianya yang semakin senja dan tubuh yang tidak seoptimal dahulu malah merasa kelelahan dan terbebani.

Apalagi jika kita tidak memberikan bakti berupa uang lagi setelah orangtua kita berhenti menjaga anak-anak kita. Tidakkah hal itu membuat orangtua semakin merasa hanya digaji karena menjaga anak-anak kita?

Perhatikanlah, bila niat kita hanya meraih jenjang karier yang tinggi serta orangtua terbebani maka perbuatan kita termasuk dosa. Dosa karena telah mengesampingkan kewajiban mendidik anak sekaligus menzalimi orangtua kita.

Wallahu A’lam. []

INILAH MOZAIK

Kakek Nenek yang Sangat Berbahagia

SEPASANG kakek nenek ini pantas dinobatkan sebagai pasangan paling tenang, damai dan bahagia. Tak terekam di wajahnya guratan sedih walau kehidupannya menurut kebanyakan mata layak menyebabkan sedih menderita.

Pekerjaan keduanya adalah pemulung sampah; dipisahkannya sampah basah dari sampah kering, yang plastik, kertas dan lainnya. Ditekuninya pekerjaan ini dan tak pernah berharap berpindah kerja karena tak memiliki ijazah dan keahlian khusus.

Namun, janganlah terburu-buru merendahkan mereka. Mereka memiliki keahlian menata hati, menata batin, dan menata rasa sehingga mampu menyesuaikan suara hati mereka dengan gelombang kehidupan. Dengan keahlian itu mereka tak pernah mengeluh dan selalu saja tersenyum. Sepulang kerja setelah shalat maghrib berjamaah mereka duduk-duduk didepan gubuknya menikmati nasi jagung jangan (sayur) kelor dan sambel terasi. Lalu mereka cekikikan sambil gantian saling pijat.

Seorang mahasiswa psikologi sempat mewawancarai mereka untuk mengetahui pandangan mereka tentang hidup bahagia. Kakek itu dengan santai berkata: “Hidup itu dijalani, jangan diprotes. Jangan banyak mengeluh dan jangan suka membandingkan nasib diri dengan nasib orang lain. Dengan prinsip inilah kami hidup mensyukuri apa yang ada.”

Nenek ikut menambahi: “Dengan menerima apa adanya maka yang tak punya banyak sama bahagianya dengan yang punya banyak. Bahkan yang tak punya apapun tetap tenang asal punya Allah dalam kehidupannya. Jumlah tak lagi memiliki kaitan dengan bahagia. Yang berkaitan dengan bahagia adalah hati.”

Mahasiswa itu penasaran dengan pandangan hidup mereka yang terasa lebih gamblang dari penjelasan dosennya sendiri. Sayang sekali harus terputus karena kakek nenek itu ingin cepat-cepat bertemu saya. Salam, AIM. [*]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2378061/kakek-nenek-yang-sangat-berbahagia#sthash.vx8kXx9o.dpuf