Tetap Tenang Meski Diejek, Siapakah Dia?

Sekembalinya dari Isra Mikraj, Rasulullah SAW pergi ke Masjidil Haram. Ketika Abu Jahall melintas di hadapannya, Rasulullah SAW langsung menceritakan kepadanya bahwa tadi malam dirinya diperjalankan ke Masjidil Aqsa. Kemudian Abu Jahal tersenyum mengejek.

Ia berkata, “Engkau mengatakan bahwa engkau telah pergi ke Baitulmakdis tadi malam, lalu pagi-pagi sudah berada kembali di tengah-tengah kami?” Rasulullah menjawab mantap, “Benar”.

Dikisahkan dari Ensiklopedia Alquran bahwa Abu Jahal seolah-olah memperoleh kesempatan berharga untuk menanamkan keraguan kepada orang lain perihal kebenaran kenabian Muhammad SAW. Sekaligus untuk menegaskan kebenaran tentang yang pernah mereka (kaum kafir Quraisy) dakwahkan bahwa  Muhammad SAW kehilangan keseimbangan akalnya dan sudah sinting

Namun demikian, Abu Jahal khawatir jika Rasulullah SAW dapat menyangkal dari fitnahnya. Karena itu ia berkata, “Apakah engkau juga memberitahukan kaummu apa yang engkau katakan padaku sekarang?” Beliau menjawab, “Ya”. Lalu Abu Jahal meninggalkan beliau dan berteriak lantang, “Wahai segenap Bani Ka’ab bin Lu’ay, kemarilah, kemarilah!”

Ketika mereka sudah berkumpul di sekelilingnya, Abu Jahal segera menceritakan kepada mereka apa yang telah didengarnya dari Rasulullah SAW. Akibatnya, sebagian orang keluar dari Islam. Kemudian sebagian kaum musyrik segera mendatangi Abu Bakar ash-Shiddiq untuk memberitahukan apa yang dikatakan Nabi Muhammad SAW. Mereka berharap Abu Bakar juga keluar dari Islam.

Abu Bakar dengan tenang mendengar celotehan mereka, lalu berkata, “Jika Muhammad berkata demikian, ia benar. Ia adalah orang yang benar lagi terpercaya, yang sama sekali tak pernah berdusta. Aku bahkan membenarkan kabar yang lebih dari itu. aku membenarkan setiap kabar dari langit yang disampaikannya baik pagi maupun petang.”

Serombongan kaum musyrik mendatangi Rasulullah SAW di antara mereka terdapat sejumlah orang yang sebelumnya pernah perhi ke Baitulmakdis dan melihat Masjidil Aqsa. Mereka berkata, “Jika engkau benar-benar pernah pergi ke Baitulmaqdis,  gambarkan Masjidil Aqsa pada kami!”

Rasulullah SAW menjawab, “Pada awalnya, sulit bagiku untuk menggambarkannya. Lalu masjid itu didatangkan padaku dan aku melihatnya sehingga dapat menggambarkannya.” Artinya Allah SWT menjadikan Masjidil Aqsa terpampang di pelupuk mata Rasulullah SAW. Dengan demikian, Deliau dapat menerangkan masjid tersebut secara rinci kepada kaum musyrik.

Kaum musyrik tahu sepanjang hidup Rasulullah SAW belum pernah pergi ke Baitulmaqdis. Meskipun demikian mereka tetap tidak merasa puas. Rasulullah SAW berharap, dapat memuaskan mereka agar mau memeluk Islam. Beliau lalu menyebutkan kepada mereka sejumlah bukit yang kebenarannya tak terbantahkan.

Beliau berkata, “Aku melewati unta bani fulan di Rauha’. Mereka sedang mencari untanya yang hilang. Aku mengambil segelas air di sana lalu meminumnya. Tanyakanlah kepada mereka tentang itu.” Rasulullah SAW menambahkan, “Aku juga melewati unta-unta di Tan’un, dan unta yang paling depan berwarna abu-abu, di atasnya terdapat dua buah karung yang terikat. Ia akan datang kepada kalian saat matahari terbit.”

Meskipun yang dikatakan Rasulullah SAW itu benar adanya, mereka tetap enggan memeluk Islam. Bahkan, mereka mengatakan, “Ini adalah sihir yang nyata!” Namun demikian, cahaya Islam mampu menembus gelapnya kebodohan dan kekufuran di Semenanjung Arabia.

 

REPUBLIKA

Sejarah Awal Mulanya Puasa Asyura

HARI Asyura, hari yang sangat istimewa. Hingga Rasullullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan banyak perhatian pada hari itu untuk berpuasa. Dari Ibnu Abbbas Radhiyallahu anhuma, beliau mengatakan, “Saya belum pernah melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memberikan perhatian terhadap puasa di satu hari yang beliau istimewakan, melebihi hari asyura, dan puasa di bulan ini, yaitu Ramadhan.” (HR. Ahmad 3539 & Bukhari 2006)

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga menjanjikan, puasa di hari Asyura, bisa menjadi kaffarah (penebus dosa) setahun yang lalu. Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa di hari Asyura. Jawab beliau, “Bisa menjadi kaffarah setahun yang lalu.” (HR. Ahmad 23200 dan Muslim 2804)

Berdasarkan beberapa hadis di atas, ulama sepakat bahwa puasa pada hari Asyura tidak wajib, dan mayoritas ulama mengatakan hukumnya anjuran. Al-Hafidz Ibn Rajab menyebutkan tahapan perjalanan puasa Asyura. Tahapan pertama, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukan puasa Asyura bersama orang musyrikin Mekah.

Aisyah Radhiyallahu anhu menceritakan, “Hari Asyura adalah hari puasanya orang quraisy di masa Jahiliyah. Dan dulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga berpuasa Asyura. Ketika beliau tiba di Madinah, beliau melakukan puasa itu, dan menyuruh para sahabat untuk melakukan puasa Asyura.” (HR. Bukhari 2002 dan Muslim 2693)

Tahapan kedua, ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang yahudi melakukan puasa Asyura, akhirnya beliaupun berpuasa dan menyuruh para sahabat untuk berpuasa. Dari Ibn Abbas radliallahu anhuma, beliau mengatakan: Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Firaun. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak untuk bangga terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Bukhari 4680).

Dan ketika itu, puasa Asyura menjadi puasa wajib bagi kaum muslimin. Dari Rubayyi binti Muawwidz radliallahu anha, beliau mengatakan: Suatu ketika, di pagi hari Asyura, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Bukhari 1960)

Tahapan ketiga, ketika ramadhan diwajibkan, hukum puasa Asyura menjadi anjuran dan tidak wajib. Aisyah mengatakan, Dulu hari Asyura dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura. Siapa yang ingin puasa Asyura boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura boleh tidak puasa. (HR. Bukhari2002 dan Muslim 2693)

Tahapan Keempat, di akhir hayat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau memerintahkan sahabat untuk melakukan puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharam, untuk membedakan dengan orang yahudi. Dari Ibn Abbas radliallahu anhuma, beliau menceritakan: Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Muslim 2722)

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

MOZAIK

Menjadi Muslimah Ahli Ibadah

kalidoskopMuadzah binti Abdullah al-Adawiah al-Bashariah Ummu ash-Shahba adalah perempuan yang pandai. Dia adalah istri seorang pemimpin teladan, Shilah bin asyim. Keduanya adalah penghamba Allah SWT dan ahli ibadah.

Ada cerita menarik dan menyentuh dalam sejarah pernikahan antara Muadzah dan Shilah. Ketika dia diserahkan kepada suaminya, keponakan Shilah mempersilakan Muadzah ke kamar mandi. Ia kemudian memasukkannya ke dalam rumah pengantin yang indah. Di dalam rumah tersebut tercium aroma wangi yang memancarkan sebaik-baik minyak wangi.

Suami istri itu berada dalam satu rumah. Shilah mengucapkan salam kepada Muadzah. Kemudian, dia mendirikan shalat. Muadzah berdiri di belakangnya dan mengikuti ibadah yang dilakukan suaminya. Hingga fajar menyingsing, keduanya larut dalam shalat. Mereka lupa bahwa itu malam pengantin.

Keesokan harinya, keponakan Shilah datang untuk menengok mereka. Keponakannya berkata, “Wahai pamanku, putri pamanmu telah diserahkan padamu tadi malam. Lalu engkau melakukan shalat dan membiarkannya?”

Dia menjawab, “Wahai keponakanku, sesungguhnya engkau telah memasukkan aku ke dalam rumah (ke kamar mandi). Keadaan tersebut mengingatkanku pada neraka. Lalu engkau memasukkan aku ke dalam rumah (ke kamar pengantin) pada sore hari. Keadaan itu mengingatkan aku pada surga. Dalam pikiranku hanya terdapat surga dan neraka hingga fajar menyingsing.”

Setelah menikah, Muadzah menghidupkan semua malamnya untuk beribadah. Sifat bijaksana mengalir dari lisannya. Dia berkata, “Aku heran kepada mata yang tidur, padahal dia mengetahui betapa lamanya terpuruk dalam kegelapan kubur.”

Ketika suami dan anaknya gugur dalam medan peperangan, para perempuan berkumpul di rumah Muadzah. Dia bukan melihat kepergian permata hatinya sebagai kabar duka, melainkan buah perjuangan yang dijanjikan surga. Ia berkata, “Selamat datang jika kalian ingin mengucapkan selamat, tetapi jika kalian ingin (mengucapkan) selain itu, pulanglah.”

Muadzah juga berkata, “Demi Allah, aku hanya ingin hidup untuk senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berbagai wasilah. Semoga saja aku bisa berkumpul dengan suami dan anakku di surga.”

Ketika menjelang ajal, Muadzah tampak menangis, lalu ia tertawa. Dia pun ditanya mengenai hal tersebut. “Apa yang membuat engkau menangis lalu tertawa?”

Dia menjawab, “Aku menangis sebab aku mengingat akan meninggalkan puasa, shalat, dan zikir. Adapun aku tertawa sebab aku melihat Abu ash-Shahba (suaminya) menyambut di depan rumah dengan membawa nampan berisi dua sutra hijau dan aku tidak akan memiliki kewajiban apa pun setelah wafat nanti.”

Itulah firasat seorang ahli ibadah seperti Muadzah. Dia wafat sebelum masuk waktu shalat. Selama hidupnya, Muadzah meriwayatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib, Aisyah, dan Hisyam bin Amir.

Adapun orang yang meriwayatkan darinya adalah Abu Qulabah al-Jarami, Yazid ar-Risyk, Ashim al-Ahwal, Umar bin Dzar, Ishaq bin Sarid, Ayub as-Sakhtiani, dan
lainnya. Hadis yang diriwayatkannya shahih. Yahya bin Amin menyatakan, Muadzah adalah orang terpercaya. Ia wafat tahun 83 Hijriyah

 

REPUBLIKA

Kisah Pengangkatan Umar bin Abdul Aziz Menjadi Khalifah

Di antara kebaikan-kebaikan Sulaimana bin Abdul Malik adalah bahwa dia berkenan menerima nasihat dari seorang ulama ahli fikih, Raja’ bin Haiwah al-Kindi, yang mengusulkan ketika Sulaiman dalam keadaan sakit dan akhirnya wafat, agar mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai penerusnya. Akhirnya Sulaiman menetapkan surat wasiat yang tidak memberi celah bagi setan sedikit pun (Ashr ad-Daulatain al-Umawiyah wa al-Abbasiyah, Hal: 37). Ibnu Sirin mengatakan, “Semoga Allah merahmati Sulaiman, dia mengawali kekhalifahannya dengan menghidupkan shalat dan mengakhirinya dengan menunjuk Umar bin Abdul Azizsebagai penerusnya.”

Khalifah Sulaiman wafat tahun 99H, Umar bin Abdul Aziz menshalatkan jenazahnya, tertulis dalam stempelnya, “Aku beriman kepada Allah dengan ikhlas.” (Siyar A’lam Nubala, 5: 11-12).

Ada beberapa riwayat tentang pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah yang dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat dari Suhail bin Abu Suhail, dia berkata, Aku mendengar Raja’ bin Haiwah berkata, “Di hari Jumat, Sulaiman bin Abdul Malik memakai baju berwarna hijau dari wol, dia bercermin dan berkata, ‘Aku adalah raja muda’. Lalu dia keluar untuk menunaikan shalat Jumat bersama rakyat, dia langsung sakit begitu pulang, manakala sakitnya semakin keras dia menulis wasiat untuk anaknya Ayyub. Ayyub adalah anak yang belum dewasa, aku berkata kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin? Di antara kebaikan seseorang yang mengalir ke kuburnya adalah bahwa dia mengangkat orang shaleh sesudahnya’. Sulaiman berkata, ‘Surat wasiat ini, aku masih beristikharah kepada Allah, masih mempertimbangkan, dan belum memutuskan dengan pasti.’

Satu atau dua hari setelah itu Sulaiman membakar surat tersebut, kemudian dia mengundangku. Dia bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang Dawud bin Sulaiman?’ Aku menjawab, ‘Dia berada di Konstantinopel, Anda sendiri tidak tahu dia masih hidup atau telah mati’. Sulaiman bertanya, ‘Siapa menurutmu wahai Raja’?’ Aku menjawab, ‘Terserah Anda wahai Amirul Mukminin’. Aku berkata demikian karena aku sendiri masih mempertimbangkan. Sulaiman berkata, ‘Bagaimana menurutmu Umar bin Abdul Aziz?’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, yang aku tahu bahwa dia adalah laki-laki yang utama, muslim pilihan’. Sulaiman berkata, ‘Benar, dialah orangnya, tetapi jika aku mengangkatnya dan tidak mengangkat seorang pun dari anak-anak Abdul Malik, maka hal itu bisa memicu perpecahan, mereka tidak akan membiarkannya memimpin selama-lamanya, kecuali jika aku menetapkan seseorang dari mereka setelah Umar. Aku akan mengangkat Yazid bin Abdul Malik sesudah Umar. –Pada saat itu Yazid sedang tidak berada di tempat, dia menjadi Amirul Haj- Hal itu akan membuat anak-anak Abdul Malik tenang dan menerima’. Aku berkata, ‘Terserah Anda’.

Sulaiman bin Abdul Malik menulis surat tangannya, ‘Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat wasiat Sulaiman bin Abdul Malik, Amirul Mukminin, untuk Umar bin Abdul Aziz. Sesungguhnya aku menyerahkan khilafah kepadanya sesudahku dan sesudahnya kepada Yazid bin Abdul Malik, dengarkanlah dan taatilah, bertakwalah kepada Allah, janganlah berselisih, karena musuh-musuh kalian akan berharap mengalahkan kalian’. Lalu Sulaiman menstempel surat tersebut.

Sulaiman kemudian meminta Ka’ab bin Hamid, kepala pasukan pengawal khalifah, agar mengumpulkan keluarganya. Ka’ab melaksanakan dan mengumpulkan mereka. Setelah mereka berkumpul, Sulaiman berkata kepada Raja’, bawalah surat wasiatku kepada mereka, katakan kepada mereka bahwa itulah surat wasiatku, minta mereka untuk membaiat orang yang aku tunjuk’. Raja’ melaksanakannya, ketika Raja menyampaikan hal itu, mereka berkata, ‘Kami mendengarkan dan menaati siapa yang tercantum di dalamnya’. Mereka berkata, ‘Bolehkah kami menemui Amirul Mukminin untuk mengucapkan salam?’ Raja’ menjawab, ‘Silahkan’. Mereka pun masuk, Sulaiman berkata kepada mereka, ‘Itu adalah wasiatku, -Sulaiman menunjuk kepada surat yang ada di tangan Raja’ dan mereka melihat surat tersebut- Itu adalah pesan terakhirku, dengarkanlah, taatilah dan baiatlah orang yang aku sebutkan namanya dalam surat wasiat tersebut’. Raja’ berkata, ‘Maka mereka membaiatnya satu per satu’. Kemudian Raja’ membawa surat yang berstempel itu keluar’.”

Raja’ berkata, “Manakala mereka telah meninggalkan tempat itu, Umar datang kepadaku, dia berkata, ‘Wahai Abu al-Miqdam, sesungguhnya Sulaiman sangat menghormati dan menyayangiku, dia bersikap lembut dan baik, aku khawatir dia menyerahkan sebagian perkara ini kepadaku, maka aku meminta kepadamu dengan nama Allah kemudian dengan kehormatan dan kasih sayangku, agar engkau memberitahuku jika perkaranya demikian, sehingga aku bisa mengundurkan diri saat ini sebelum datangnya suatu keadaan dimana aku tidak mampu merubahnya lagi’. Raja’ menjawab, ‘Tidak demi Allah, aku tidak akan mengabarkan satu huruf pun kepadamu’. Maka Umar pergi dengan kesal.”

Raja’ berkata, “Maka Hisyam bin Abdul Malik menemuiku dan berkata, ‘Sesungguhnya antara diriku dengan dirimu terdapat hubungan baik dan kasih sayang lama, aku pun tahu berterima kasih, katakan kepadaku apakah aku orang yang disebut dalam surat tersebut? Jika aku adalah orangnya, maka aku tahu. Jika orang lain, maka aku akan berbicara, orang sepertiku tidak patut dipandang sebelah mata, perkara seperti ini tidak pantas dijauhkan dari orang sepertiku, katakan kepadaku. Aku berjanji dengan nama Allah kepadamu tidak akan menyebutkan namamu selama-lamanya’.”

Raja’ berkata, “Aku menolak permintaan Hisyam, aku berkata, ‘Tidak demi Allah, aku tidak akan membuka satu huruf pun kepadamu dari apa yang telah dirahasiakan Sulaiman kepadaku’. Hisyam pun pergi sambil menepukkan satu tangannya ke tangan yang lain, dia berkata, ‘Kepada siapa perkara ini diserahkan jika tidak kepadaku, apakah kami ini dianggap bukan anak Abdul Malik? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah putra Bani Abdul Malik yang sebenarnya’.”

Raja’ berkata, “Aku menemui Sulaiman bin Abdul Malik, ternyata dia sudah wafat, namun aku masih mendapati saat-saat sakratul mautnya, setiap kali dia menghadapinya, maka aku menghadapkannya ke arah kiblat, Sulaiman mengucapkan dengan tersendat-sendat, ‘Wahai Raja’, saatnya belum tiba sekarang’. Sampai aku mengulangnya dua kali, pada kali ketiga Sulaiman berkata, ‘Sekarang wahai Raja’, jika kamu ingin sesuatu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya’.”

Raja’ berkata, “Maka aku menghadapkannya ke arah kiblat, dan Sulaiman wafat. Aku memejamkan kedua matanya, aku menyelimutinya dengan sebuah kain hijau, aku menutup pintu, istrinya mengutus seorang utusan untuk meminta izin melihat keadaannya, aku berkata kepadanya, ‘Dia telah tidur dan berselimut’. Utusan itu telah melihat Sulaiman yang telah berselimut kain, dia pulang menyampaikannya kepada istrinya, istrinya tenang karena dia mengira bahwa Sulaiman tidur.”

Raja’ berkata, “Aku meminta seseorang yang kupercayai untuk berdiri di pintu, aku berpesan kepadanya untuk tidak beranjak sampai aku sendiri yang datang kepadanya dan tidak memperkenankan siapa pun untuk masuk menemui khalifah. Lalu aku memanggil Ka’ab bin Hamid al-Ansi, aku memintanya untuk mengumpulkan keluarga Amirul Mukminin, mereka pun berkumpul di masjid Dabiq, aku berkata kepada mereka, ‘Berbaiatlah kalian’. Mereka menjawab, ‘Kami telah berbaiat, sekarang berbaiat lagi?’ Aku berkata, ‘Ini adalah pesan Amirul Mukminin, berbaiatlah untuk mematuhi perintahnya, mengakui siapa yang disebutkan namanya dalam surat wasiat yang distempel ini’. Mereka pun satu per satu membaiat untuk kedua kalinya.”

Raja’ berkata, “Ketika mereka bersedia membaiat untuk kedua kalinya, maka aku yakin telah menata urusan ini sebaik mungkin, aku mengucapkan, ‘Jenguklah Khalifah Sulaiman, karena beliau telah wafat’. Mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Kemudian aku membacakan isi surat wasiat Sulaiman, ketika aku menyebut nama Umar bin Abdul Aziz, Hisyam berkata, ‘Kami tidak akan membaiatnya selama-lamanya’. Raja’ mengatakan, ‘Demi Allah, aku akan memenggal lehermu, berdiri dan berbaiatlah’. Lalu Hisyam berdiri dengan “menyeret” kedua kakinya.

Raja’ melanjutkan, “Aku memegang pundak Umar bin Abdul Aziz, aku mendudukkannya di atas mimbar, sementara Umar bin Abdul Aziz mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Ia menyesali apa yang didapatkannya. Sementara Hisyam juga mengucapkan ucapan yang sama karena bukan dia yang ditunjuk oleh Sulaiman bin Abdul Malik sebagai penggantinya. Hisyam bertemu Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena kekhalifahan telah berpindah tangan dari anak-anak Abdul Malik kepada Umar bin Abdul Aziz. Maka Umar menjawab, ‘Ya, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena perkara itu sampai ke tangannya padahal dia tidak menyukainya.” (Tarikh ath-Thabari, 7: 445).

Abu al-Hasan an-Nadawi berkata tentang sikap Raja’, “Raja’ telah melakukan sebuah jasa besar yang tidak akan dilupakan oleh Islam. Aku tidak mengetahui seorang laki-laki dari kalangan sahabat raja dan orang-orangnya, yang bisa memberi manfaat (dengan kedekatan dan kedudukannya) seperti manfaat yang diberikan oleh Raja’. (Rijal al-Fikr wa ad-Da’wah, 1: 40).

Umar naik mimbar, dan dalam tatap muka pertama dengan rakyat, dia mengatakan, “Jamaah sekalian, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini, tanpa dimintai pendapat, tidak pernah ditanya dan tidak pula ada musyawarah dengan kaum muslimin. Aku telah membatalkan baiat untukku, sekarang pilihlah seseorang untuk memimpin kalian.” Orang-orang serentak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kami telah memilihmu, kami menerimamu, silahkan pimpin kami dengan kebaikan dan keberkahan.”

Di saat itulah Umar merasa bahwa dirinya tidak mungkin menghindar dari tanggung jawa khalifah, maka Umar menambahkan kata-katanya untuk menjelaskan kebijakan-kebijakannya dalam menata umat Islam (Umar bin Abdul Aziz wa Siyasatuhu fi Radd al-Mazhalim, Hal: 102), “Amma ba’du, tidak ada lagi nabi setelah nabi kalian, tidak ada kitab selain kitab yang diturunkan kepadanya. Ketahuilah bahwa apa yang Allah halalkan adalah halal sampai hari kiamat. Aku bukanlah seorang hakim, aku hanyalah pelaksana, dan aku bukanlah pelaku bid’ah melainkan aku adalah pengikut sunnah. Tidak ada hak bagi siapapun untuk ditaati dalam kemaksiatan. Ketahuilah! Aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian, aku hanyalah seorang laki-laki bagian dari kalian, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku beban yang lebih berat dibanding kalian.

Kaum muslimin, siapa yang mendekat kepadaku, hendaknya dia mendekat dengan lima perkara, jika tidak, maka janganlah mendekat: Pertama, mengadukan hajat orang yang tidak kuasa untuk mengadukannya, kedua, membantuku dalam kebaikan sebatas kemampuannya, ketiga, menunjukkan jalan kebaikan kepadaku sebagaimana aku dituntut untuk meniti jalan tersebut, keempat, tidak melakukan ghibah terhadap rakyat, dan kelima, tidak menyangkalku dalam urusan yang bukan urusannya.

Aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allah, karena takwa kepada Allah memberikan akibat yang baik dalam setiap hal, dan tidak ada kebaikan apabila tidak ada takwa. Beramallah untuk akhirat kalian, karena barangsiapa beramal untuk akhirat, niscaya Allah akan mencukupkan dunianya. Perbaikilah (jaga) rahasia (yang ada pada diri kalian), semoga Allah memperbaiki apa yang terlihat dari (amal perbuatan) kalian. Perbanyaklah mengingat kematian, bersiaplah dengan baik sebelum kematian itu menghampiri kalian, karena kematian adalah penghancur kenikmatan. Sesungguhnya umat ini tidak berselisih tentang Tuhannya, tidak tentang Nabinya, tidak tentang Kitabnya, akan tetapi umat ini berselisih karena dinar dan dirham. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan memberikan yang batil kepada seseorang dan tidak akan menghalangi hak seseorang.”

Kemudian Umar meninggikan suaranya agar orang-orang mendengar, “Jamaah sekalian, barangsiapa yang menaati Allah, maka dia wajib ditaati dan barangsiapa mendurhakai Allah, maka tidak wajib taat kepadanya dalam permasalahan tersebut. Taatilah aku selama aku (memerintahkan untuk) menaati Allah, namun jika (perintahku) mendurhakai-Nya, maka kalian tidak boleh taat dalam hal itu…” kemudian Umar turun dari mimbar.

Begitulah prosesi pengangkatan Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah umat Islam, salah seorang khalifah Daulah Umawiyah. Ia diangkat pada hari Jumat, 11 Shafar 99 H (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 667).

 

Sumber: Perjalanan Hidup Khalifah Yang Agung, Umar bin Abdul Aziz

KISAH MUSLIM

Berkumpul di Jabal Rahmah (2-Habis)

Pemerintah Arab Saudi sering mengeluarkan larangan untuk menaiki Jabal Rahmah. Alasannya adalah aspek keselamatan karena mendaki Jabal Rahmah melewati medan yang terjal dan berbatu. Mendaki Jabal Rahmah juga tidak menjadi syarat maupun rukun wukuf bagi jamaah haji. Tidak ada sunah yang mengkhususkan berwukuf di Jabal Rahmah. Pemerintah Saudi juga ingin mematahkan kepercayan masyarakat yang meletakkan nama-nama sebagai jimat di Jabal Rahmah.

Di tugu dan sekitar Jabal Rahmah banyak ditemui coretan-coretan dan tulisan-tulisan dari kertas kecil. Pada kertas tersebut tertulis nama-nama. Ada coretan dari huruf latin maupun huruf Arab. Banyak pula nama-nama khas Indonesia yang beberapa di antaranya bergambar hati. Mereka yang meletakkan kertas tersebut percaya, jika menuliskan namanya beserta pasangannya, maka mereka akan dikekalkan cintanya seperti Adam dan Hawa. Mitos inilah yang menjadikan Jabal Rahmah kotor dengan sampah kertas dan coretan-coretan.

Ada pula para pengunjung Jabal Rahmah yang berdoa sambil memegang tugu atau menciumnya. Akibat berdesak-desakan memegang tugu tersebut, rentan terjadi kecelakaan. Imbauan untuk mematahkan mitos tersebut sering disuarakan Pemerintah Arab Saudi. Namun, sering kali imbauan tersebut tidak diindahkan para peziarah yang datang.

Di sekitar Jabal Rahmah banyak pula pedagang kaki lima dan asongan yang berjualan batu cincin, tasbih, gantungan kunci, dan aneka pajangan. Harga yang ditawarkan pun sangat mahal dan terkadang tidak rasional. Agar dagangannya laku, banyak yang mengiming-imingi dengan mitos dan kebohongan. Misalkan, mereka yang berjualan batu cincin dari akik, mereka akan berkoar-koar menyebutkan hadis, “Bercincinlah kalian dengan batu akik.” Padahal, hadis ini adalah palsu.

Namun, tak sedikit yang menziarahi Jabal Rahmah untuk menguatkan keyakinan atas kebesaran Allah SWT yang telah mempertemukan dua insan, sekaligus menerima tobat Nabi Adam AS

 

IHRAM

Berkumpul di Jabal Rahmah (1)

Jabal Rahmah merupakan bukit batu yang terletak 25 kilometer sebelah tenggara Kota Makkah. Jabal Rahmah berada di selatan Padang Arafah, tempat jamaah haji berwukuf tanggal 9 Dzulhijah.

Jabal dalam bahasa Arab berarti gunung atau bukit. Sedangkan, rahmah berarti kasih sayang. Bukit ini disebut kasih sayang karena di sanalah pertemuan Nabi Adam dan Hawa ketika diturunkan ke bumi secara terpisah. Kedua suami istri tersebut dipertemukan dan akhirnya bisa kembali merajut kasih sayang mereka.

Pemerintah Arab Saudi membangunkan sebuah tugu yang terbuat dari beton persegi empat dengan lebar 1,8 meter dan tingginya 8 meter. Tempat tugu tersebut dibangun dipercaya sebagai titik bertemunya Adam dan Hawa.

Jabal Rahmah hanya sebuah bukit kecil dengan ketinggian 70 meter. Bukit ini bisa didaki dengan melewati sekitar 160-an anak tangga. Mendaki Jabal Rahmah dari dasar hingga mencapai tugu Adam dan Hawa biasanya hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit saja. Dari puncak Jabal Rahmah, pemandangan Padang Arafah dapat terlihat jelas. Pegunungan tandus serta kemah-kemah jamaah haji yang berwukuf di sana.

Baik di musim haji maupun tidak, Jabal Rahmah tetap dipadati pengunjung. Ketika musim haji, mereka yang wukuf di Padang Arafah banyak yang memadati bukit ini. Sedangkan di luar musim haji, kebanyakan datang berziarah dan napak tilas pertemuan sepasang nenek moyang manusia itu.

Banyak yang percaya, berdoa agar dilancarkan jodoh sangat tepat dibacakan di Bukit Kasih Sayang tersebut. Ada juga yang berdoa agar dikekalkan jodoh bersama pasangannya, sebagaimana cinta antara Adam dan Hawa.

Jabal Rahmah juga menjadi tempat bersejarah turunnya wahyu terakhir ketika Rasulullah SAW menunaikan Haji Wada’ (haji terakhir). Dalam sebagian riwayat disebutkan, surat al-Maidah ayat 3 diturunkan di Jabal Rahmah ketika Rasulullah SAW berkhutbah Arafah.

Ayat tersebut berbunyi, “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Selain surah al-Maidah ayat 3 ini, terdapat pula riwayat lain tentang ayat yang terakhir turun yang menurut perhitungan Manna Khalil al-Qattan tidak kurang dari delapan pendapat, yaitu al-Baqarah: 278, al-Baqarah: 281, al-Baqarah: 282, an-Nisa’: 176, at-Taubah: 128-129, ali Imran: 195, an- Nisa’: 93, dan An-Nashr: 1-3.

 

IHRAM

Mengenal Ulumul Hadis

Abu Bakar Muhammad bin Syihad az-Zuhri (51-124 H) adalah peletak pertama kaidah dasar ilmu hadis. Ia adalah orang pertama yang mengumpulkan hadis Rasulullah SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Azis.

Hadis sebagai referensi otoritatif hukum Islam setelah Alquran memegang peranan penting dalam perkembangan Islam. Dari hadis lahirlah berbagai ilmu, termasuk ulumul hadis. Ilmu tentang hadis ini banyak dibahas para ulama dalam berbagai kitab ulumul hadis. Baik yang membahas hadis secara umum maupun pada aspek tertentu, seperti perawi dan matan.

Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan penulisan kitab ulumul hadis dimulai sejak awal abad ke-2 Hijriyah. Saat itu para ulama sudah mengklasifikasi hadis dalam beberapa derajat, seperti shahih, hasan, daif, maupun palsu.

Kondisi sosial politik saat itu membuat hadis palsu bertebaran. Sebabnya, para pangusaha sengaja mengeluarkan hadis palsu untuk mengukuhkan kekuasaannya. Maka diperlukan sebuah ilmu khusus untuk meneliti bagaimana derajat sebuah hadis.

Ilmu tentang hadis yang pertama kali muncul adalah al-jarh wa at-ta’dil (ilmu yang membahas dan meneliti secara khusus keadaan para perawi hadis). Abu Bakar Muhammad bin Syihad az-Zuhri (51-124 H) adalah peletak pertama kaidah dasar ilmu hadis. Ia adalah orang pertama yang mengumpulkan hadis Rasulullah SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Azis.

Saat itu penulisan hadis belum dipisahkan dalam kitab hadis tersendiri, namun terintegrasi dengan pembahasan tema lain. Misal, kitab Imam Syafi’i berjudul Risalah yang membahas tentang hadis sekaligus ushul fikih.

Baru pada abad ke-3 dan 4, ulumul hadis mencapai masa keemasannya. Penulisan hadis secara mendiri sudah dilakukan dengan intensif. Pada masa ini ulama-ulama hadis, seperti Imam Muslim, Imam Bukhari, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban banyak menghasilkan karya.

Pada akhir abad ke-3, Imam Abu Bakar Ahmad bin Harun bin Rauj al-Bardiji menyusun berbagai kitab mengenai ilmu hadis. Di antaranya Ma’rifah al-Muttasil min al-Hadis wa al-Mursal wa al-Maqtu, wa Bayan at-Turuq as-Sahihah, dan Ma’rifah Usul al-Hadis.

Penyusulan ilmu hadis secara lengkap dilakukan sejak pertengahan abad ke-4 sampai awal abad ke-7. Pada masa ini mulai muncul kitab-kitab yang meringkas serta memberi komentar dan penjelasan terhadap kitab-kitab hadis yang lebih dulu muncul. Di antara kitab hadis yang muncul pada masa ini adalah Al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al-Wa’i karya ar-Ramahurmuzi.

Masa penyempurnaan ilmu hadis terjadi pada abad 7 hingga 10 H. Kitab-kitab yang muncul pada masa ini adalah al-Irsyad karya Imam Nawawi dan Tadrib ar-Rawi Syarh Taqrib an-Nawawi karya as-Suyuti. Masa kemunduran ilmu hadis terjadi pada abad 10 hingga 14 H. Tidak banyak karya ulama hadis yang lahir pada masa ini.

Masa abad ke-14 hingga saat ini disebut sebagai kebangkitan kembali ilmu hadis. Para ulama kontemporer juga menerbitkan kitab ulumul hadis, seperti al-Manhaj al-Hadis fi Ulum al-Hadis karya Syekh Muhammad as-Simahi dan Qawa’id at-Tahdis karya Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi. n ed: hafidz muftisany

 

REPUBLIKA

Syaikh Mahmud Khalil al-Hushari, Imam Dalam Qiraat

Bagi mereka yang pernah mengikuti kelas tahsin atau tajwid, tentu tidak asing dengan nama Syaikh Mahmud Khalil al-Hushari. Biasanya guru-guru tahsin merekomendasikan murottal beliau untuk didengar. Beliau termasuk qari’ (pelantun Alquran) yang paling terkenal. Tidak hanya di negeri asalnya, Mesir, di Indonesia, suara beliau cukup akrab di telinga masyarakat nusantara. Saat sore tiba, biasanya masjid-masjid memperdengarkan suara beliau sambil menunggu adzan maghrib. Meskipun orang tidak tahu siapa pemilik suara fasih dan indah itu.

Beliau disebut-sebut sebagai orang yang paling utama dan paling baik tajwidnya dalam mentartil kitabullah.

Mengenal Sang Alim

Syaikh Mahmud Khalil al-Hushari dilahirkan di Gaza tepatnya di Desa Syibran Namlah, pada bulan Dzul Hijjah 1335 H, bertepatan dengan 17 September 1917. Beliau berhasil menghafalkan 30 juz Alquran saat berusia 8 tahun.

Kemudian Syaikh menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo. Di universitas tertua itu beliau mengambil jurusan Alquran. Hingga berhasil memperoleh ijazah al-Qira-at al-‘Asyr (qiraat yang sepuluh). Pada tahun 1364 H/1944 M, Syaikh mulai rutin menjadi qari di siaran Alquran al-Karim di Mesir. Sejak saat itulah, suara indah dan fasihnya dikenal umat Islam di seluruh tempat.

Pada tahun 1957, ia dipilih menjadi penyeleksi para qari’ di Mesir. Dan tahun 1960, ia diberi amanah untuk mengoreksi cetakan-cetakan mush-haf Alquran yang ada di Al-Azhar. Beliau menjalankan tugas tersbut di bawah lembaga Alquran wa al-Hadits bi Jam’i al-Buhuts al-Islamiyah.

Pada tahun 1960 pula, ia diangkat pula menjadi guru besar para qari’ di Mesir. Di tahun yang sama, menteri wakaf Mesir, membuat kebijakan dan usaha luar biasa dalam menyebarkan ilmu-ilmu Alquran. Setahun berikutnya, Syaikh Mahmud Khalil al-Khushari menjadi orang pertama yang bacaan Alqurannya 30 juz direkam. Selama kurang lebih 10 tahun berikutnya, beliau menjadi satu-satunya orang yang memiliki rekaman bacaan Alquran. Tidak heran, masjid-masjid di dunia termasuk Indonesia sangat akrab dengan murottalnya. Setelah itu, beliau pun rekaman 30 juz Alquran dengan riwayat Warasy ‘an Nafi’. Kemudian Qalun ‘an Nafi’. Kemudian ad-Dauri ‘an Abi Amr. Hingga sekarang, kaum muslimin masih mendengarkan, mengambil manfaat dan pelajaran dari warisan kebaikan beliau.

Perjalanan Bersama Alquran

Syaikh Mahmud Khalil al-Hushari mendermakan sebagian usianya untuk berkunjung ke negeri-negeri Islam. Di sana, beliau memperdengarkan umat kalam Allah Ta’ala. Menyejukkan telinga-telinga kaum muslimin dengan mendengar ayat dan dzikir. Bisa saja kita katakan, tidak ada satu pun negeri Islam kecuali telah beliau kunjungi. Beliau berhasil memberikan kesan yang istimewa. Dan kenangan baik yang diingat. Selain itu, beliau juga mengunjungi beberapa negeri non Islam. Berdakwah dengan lantunan Alquran di sana.

Tahukah Anda muslim pertama yang melantunkan Alqurand I Kongres Amerika? Syaikh Mahmud lah orangnya. Beliau diizinkan menunaikan shalat di markas besar PBB. Beliau pula yang membacakan Alquran di hadapan para raja dan pemimpin dunia ketika beliau berkunjung ke Inggris. Beliau juga pernah berkunjung ke Indonesia, Filipina, China, India, Singapura, dll.

 

Puluhan orang di belahan dunia memeluk Islam melalui perantara beliau. Karena apa? Karena terpengaruh dengan bacaan Alquran yang beliau lantunkan. Saat Syaikh berkunjung ke Perancis tahun 1965, 10 orang Perancis menyatakan keislaman mereka di hadapan beliau. Dalam kunjugannya ke Amerika ada 18 orang yang bersyahadat. Dari kalangan pria dan wanita. Hal ini mengingatkan kita akan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ صَوْتًا بِالْقُرْآنِ الَّذِيْ إِذَا سَمِعْتُمُوْهُ يَقْرَأُ حَسِبْتُمُوْهُ يَخْشَى اللَّهَ

“Sesungguhnya di antara orang yang paling bagus suaranya dalam membaca Alquran adalah orang yang apabila kamu mendengarnya sedang membaca, maka kamu pasti mengiranya seorang yang takut kepada Allah.” (Hadits Shahih riwayat Ibnul Mubarak. Dimuat oleh Syaikh al-Albani dalam Sifat Shalat Nabi).

Syaikh Mahmud sering mengikuti pertemuan -dalam bidang qiraat Alquran- di Mesir, dunia Arab, dan dunia Islam secara umum. Sedangkan di bulan Ramadhan, perjalanan beliau bertambah sibuk dari bulan-bulan lainnya. Beliau safar ke negeri-negeri Afrika, Arab, dan Asia, untuk membaca Alquran di sana.

Di tengah-tengah kesibukan dan hafalannya kokoh, Syaikh Mahmud masih sering mengulang-ulangi hafalan Alqurannya. Baik dengan media mendengar murottal atau langsung membaca mush-haf Alquran.

Karya Tulis

Keahlian Syaikh Mahmud dalam bidang qiraat terbukti dengan karya-karyanya yang luar biasa. Di antara karya tulis yang beliau wariskan kepada umat ini adalah sebagai berikut:
1. Ahkamu Qira-atil Quranil Karim,
2. al-Qira-at al-Asyr min Syathibiyah wa ad-Dirrah,
3. Ma’alim al-Ihtida ila Ma’rifati al-Waqf wa al-Ibtida’,
4. al-Fathu al-Kabir fi al-Isti’adzah wa at-Takbir,
5. Ahsanu al-Atsar fi Tarikh al-Qira-at al-Arba’ah ‘Asyar,
6. Ma’a Alquran al-Karim,
7. Qira-at Warasy ‘an Nafi’ al-Madani,
8. Qira-at ad-Dauri ‘an Abi Amr al-Bashari,
9. Nur al-Qalbi fi Qira-at al-Imam Ya’qub,
10. as-Sabil al-Muyassar fi Qira-at al-Imam Abi Ja’far,
11. Husnu al-Musirrah fi al-Jam’ Bayna asy-Syatibiyah wa ad-Dirrah,
12. an-Nahju al-Jadid fi Ilmi at-Tajwid,
13. Rahilati fi al-Islam, dll.

 

Ayah Yang Perhatian di Tengah Kesibukan

Meskipun aktivitasnya sangat padat sebagai ‘duta Alquran’, Syaikh Mahmud Khalil al-Hushari tetap menyempatkan duduk bersama anak-anaknya. Menghabiskan waktu bersama mereka dengan Alquran. Membaca dan menulisnya.

Ia mendidik anaknya dengan mengajarkan agama, khususnya Alquran. Sehingga anak-anaknya pun berhasil menghafal Alquran pula. Salah seorang anaknya mengatakan, “Sungguh ayah adalah seorang bapak yang penyayang. Ia sangat-sangat perhatian dengan menghafal Alquran. Sehingga kami semua bisa menghafal Alquran, alhamdulillah. Setiap hari, ayah memberikan kami uang sebagai hadiah untuk setiap baris yang kami hafalkan.

Apabila ia menginginkan jumlah lebih dari yang ia targetkan, ia akan bertanya, “Apa lagi yang kau hafalkan?” Jika anak-anaknya menambahkan setoran, maka ia tambah pula pemberian. Ayah memiliki falsafah tersendiri dalam hal ini. Ia selalu menekankan untuk menghafal Alquran yang mulia. Sehingga kami termotivasi dengan berharap ridha Allah kemudian ridha kedua orang tua. Apa yang ayah lakukan telah membuat anak-anaknya teguh dalam menghafalkan Alquran.”

 

Akhir Yang Bahagia

Syaikh Mahmud Khalil al-Hushari telah membangun masyarakat agamis. Ia membangun Ma’had Azhar dan masjid di kampung halamannya, Syibran Namlah. Ia juga membangun masjid di Kairo. Dan sebelum wafat mewasiatkan agar sepertiga hartanya diwakafkan untuk khidmat kepada Alquran.

Syaikh mulai menderita sakit di awal tahun 1980. Saat itu, ia pulang dari Arab Saudi dalam keadaan sakit -sebagaimana cerita salah seorang anaknya-. Ternyata ia menderita penyakit liver. Sampai ia harus dirawat di rumah sakit. Kemudian pihak rumah sakit mengizinkannya pula, sampai kami -anak-anaknya- menyangka bahwa beliau sembuh total. Ternyata, pada hari Senin tanggal 24 November 1980, setelah shalat isya, beliau wafat.

Rahimahullah rahmatan wasi’atan. Semoga beliau termasuk orang yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا

“Dikatakan kepada orang yang membaca (menghafalkan) Alquran nanti: ‘Bacalah dan naiklah serta tartillah sebagaimana engkau di dunia mentartilnya. Karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca (hafal).” (HR. Abu Daud no. 1464 dan Tirmidzi no. 2914, shahih kata Syaikh Al Albani).

Yang dimaksudkan dengan ‘membaca’ dalam hadits ini adalah menghafalkan Alquran.

Semoga Allah menempatkan beliau di tempat terbaik di surga-Nya.

KISAH MUSLIM

Nasihat al-Hasan al-Bashri Kepada Umar bin Abdul Aziz

Berikut ini adalah nasihat al-Hasan al-Bashri kepada Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah yang shaleh dari Bani Umayyah. Al-Hasan menasihati beliau tentang hakikat dunia, karena bisa jadi seseorang yang shaleh pun tergelicir ketika memegang kekuasaan tertinggi dan dia membutuhkan nasihat yang mengingatkannya. Apalagi jabatan yang dipegang oleh Umar adalah jabatan yang sangat besar, karena ia adalah salah satu raja yang memegang wilayah terbesar di dunia. Godaan, ambisi, fitnah dunia, dan keinginan untuk menikmatinya bisa saja muncul kala itu.

Al-Hasan al-Bashri menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz, isi surat tersebut menjelaskan tentang hakikat dunia. Teks surat tersebut adalah sebagai berikut:

Amma ba’du.. Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dunia adalah rumah persinggahan dan perpindahan bukan rumah tinggal selamanya.

Adam diturunkan ke dunia dari surga sebagai hukuman atasnya, maka berhati-hatilah. Sesungguhnya orang yang berhasrat kepada dunia akan meninggalkannya, orang yang kaya di dunia adalah orang yang miskin (dibanding akhirat), penduduk dunia yang berbahagia adalah orang yang tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Jika orang yang berakal lagi cerdik mencermatinya, maka dia melihatnya menghinakan orang yang memuliakannya, mencerai-beraikan orang yang mengumpulkannya. Dunia layaknya racun, siapa yang tidak mengetahuinya akan memakannya, siapa yang tidak mengetahuinya akan berambisi kepadanya, padahal, demi Allah itulah letak kebinasaannya.

Wahai Amirul Mukminin, jadilah seperti orang yang tengah mengobati lukanya, dia menahan pedih sesaat karena dia tidak ingin memikul penderitaan panjang. Bersabar di atas penderitaan dunia lebih ringan daripada memikul ujiannya. Orang yang cerdas adalah orang yang berhati-hati terhadap godaan dunia. Dunia seperti pengantin, mata-mata melihat kepadanya, hati terjerat dengannya, pada dia, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan kebenaran, adalah pembunuh bagi siapa yang menikahinya.

Wahai Amirul Mukminin, berhati-hatilah terhadap perangkap kebinasaannya, waspadailah keburukannya. Kemakmurannya bersambung dengan kesengsaraan dan penderitaan, kelanggengan membawa kepada kebinasaan dan kefanaan. Ketahuilah wahai Amirul Mukminin, bahwa angan-angannya palsu, harapannya batil, kejernihannya keruh, kehidupannya penderitaan, orang yang meninggalkannya adalah orang yang dibimbing taufik, dan orang yang berpegang padanya adalaah celaka lago tenggelam. Orang yang cerdik lagi pandai adalah orang yang takut kepada apa yang dijadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menimbulkan rasa takut, mewaspadai apa yang Allah telah peringatkan, berlari meninggalkan rumah fana kepada rumah yang abadi, keyakinan ini akan sangat terasa ketika kematian menjelang.

Dunia wahai Amirul Mukminin, adalah rumah hukuman, siapa yag tidak berakal mengumpulkan untuknya, siapa yang tidak berilmu tentangnya akan terkecoh, sementara orang yang tegas lagi berakal adalah orang yang hidup di dunia seperti orang yang mengobati sakitnya, dia menahan diri dari pahitnya obat karena dia berharap kesembuhan, dia takut kepada buruknya akibat di akhirat.

Dunia wahai Amirul Mukminin, demi Allah hanya mimpi, sedangkan akhirat adalah nyata, di antara keduanya adalah kematian. Para hamba berada dalam mimpi yang melenakan, sesungguhnya aku berkata kepadamu wahai Amirul Mukminin apa yang dikatakan oleh seorang laki-laki bijak,

‘Jika kamu selamat, maka kamu selamat dari huru-hara besar itu. Jika tidak, maka aku tidak mengira dirimu akan selamat’.

Ketika surat al-Hasan al-Bashri ini sampai ke tangan Umar bin Abdul Aziz, beliau menangis sesenggukan sehingga orang-orang yang ada di sekitarnya merasa kasihan kepadanya. Umar mengatakan, “Semoga Allah merahmati al-Hasan al-Bashri, beliau terus membangunkan kami dari tidur dan mengingatkan kami dari kelalaian. Sungguh sangat mengagumkan, beliau adalah laki-laki yang penuh kasih terhadap kami (pemimpin), beliau begitu tulus kepada kami. Beliau adalah seorang pemberi nasihat yang sangat jujur dan sangat fasih bahasanya.”

Umar bin Abdul Aziz membalas surat al-Hasan dengan mengatakan:

“Nasihat-nasihat Anda yang berharga telah sampai kepadaku, aku pun mengobati diriku dengan nasihat tersebut. Anda menjelaskan dunia dengan sifat-sifatnya yang hakiki, orang yang pintar adalah orang yang selalu berhati-hati terhadap dunia, seolah-olah penduduknya yang telah ditetapkan kematian sudah mati. Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.”

Ketika balasan Umar sampai di tangan al-Hasan, beliau berkata, “Amirul Mukminin benar-benar mengagumkan, seorang laki-laki yang berkata benar dan menerima nasihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengagungkan nikmat dengan kepemimpinannya, merahmati umat dengan kekuasaannya, menjadikannya rahmat dan berkah.”

Al-Hasan al-Bashri menulis sedikit lagi pesan kepada Umar bin Abdul Aziz dengan mengatakan:

“Amma ba’du, sesungguhnya ketakutan besar dan perkara yang dicari ada di depanmu, dan engkau pasti akan menyaksikannya, selamat atau celak.” (Az-Zuhd, al-Hasan al-Bashri, Hal.169).

Sumber: Perjalanan Hidup Khalifah Yang Agung, Umar bin Abdul Aziz, Ulama dan Pemimpin Yang Adil ditulis oleh DR. Ali Muhammad ash-Shalabi. Diterbitkan oleh Darul Haq.

KISAH MUSLIM

3 Peperangan Penting di Yordania

Yordania merupakan negara yang kaya sejarah. Beragam peradaban silih berganti mewarnai catatan sejarah di negara beribukotakan Amman itu. Ada beberapa kerajaan yang pernah berjaya di Yordania, di antaranya Kerajaan Edom, Moab, Ammon, dan Kerajaan Nabath dengan warisan peninggalan yang masih bertengger hingga saat ini yaitu, Petra.

Negara ini pada masa awal Islam juga memiliki posisi strategis. Negara yang berbatasan dengan Palestina itu menjadi jalur bagi penaklukan wilayah Suriah dan Yerusalem. Sejumlah peperangan penting pernah terjadi di Yordania dan sekitarnya selama periode Islam, di antaranya sebagai berikut.

Mu’tah

Perang yang berkecamuk pada Agustus 630 M/ 8 Hijriyah ini berlangsung di sebelah barat daya Yordania. Pasukan Roma didukung dengan 200 ribu personel tentara, sedangkan pasukan Islam hanya 3.000 orang. Angka tersebut merupakan jumlah kekuatan perang terbesar Islam, sebelum terjadinya Perang Khandaq.

Perang ini disebabkan kelancangan Syurhabil bin Amr, antek Romawi yang membunuh al-Harits bin Amir al-Azdi, utusan Rasulullah SAW yang bertugas menyampaikan surat untuk Kaisar Romawi. Jumlah korban syahid dalam perang tersebut sebanyak 13 sahabat. Sedangkan, di pihak Romawi tak kurang dari 3.350 pasukan tewas. Lokasi perang itu hingga kini ramai oleh wisatawan.

Yarmuk

Sungai Yarmuk, sebelah utara Yordania, menjadi saksi biksu perang yang dimenangkan oleh umat Islam. Padahal, pasukan Muslim hanya diperkuat oleh 36 ribu personel, sedangkankekuatan pasukan Bizantium tujuh kali lipat lebih besar, yaitu 240 ribu serdadu.

Perang yang berlangsung pada 634 M/13 H ini termasuk peperangan terpenting lantaran menorehkan kemenangan pertama umat Islam di luar wilayah Hijaz pascawafatnya Rasulullah.

Di bawah intruksi Abu Bakar AS, motif awal dari perang ini, yaitu penaklukan Syam. Tetapi di tengah perjalanan, pasukan yang semula dipecah ke dalam empat batalion akhirnya memutuskan bersatu di bawah komando Khalid bin al-Walid setelah mendapati ribuan pasukan Romawi. Perang Yarmuk menunjukkan kepiawaian berperang Khalid bin Walid yang memaksimalkan pasukan berkuda.

Hithin 

Di bawah komando Shalahudin al-Ayyubi, perang yang terjadi pada 583 H/ 1187 M ini tercatat sebagai perang tersukses yang melibatkan pasukan gabungan warga Mesir, Turki, dan Kurdi. Perang yang berlokasi di Hitthin Palestina tersebut dipicu oleh peristiwa perampokan dan penawanan anggota keluarga Shalahudin oleh Raynald de Chatillon. Insiden ini dianggap mencederai genjatan senjata antara tentara Islam dan Pasukan Salib pada 1180.

Permintaan ganti rugi dan pembebasan tawanan yang diajukan oleh Shalahudin ditolak. Perang pun tak terhindarkan. Jumlah pasukan Islam meski tak sebanding, yaitu 25 ribu personel, sedangkan di pihak lawan ada 63 ribu, tetapi  hasil akhir dimenangkan oleh pasukan Islam. Kota Yerusalem berhasil direbut kembali. Sebanyak 30 ribu pasukan musuh tewas, termasuk komandan mereka, Raynald de Chatillon,   

 

REPUBLIKA