Dalam artikel ini, akan diulas kisah mengenai kerendahan hati dan pesan bijak yang diwariskan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq, seorang tokoh yang selalu menunjukkan rendah hati dan tidak pernah membanggakan latar belakang keturunannya. Nama lengkapnya adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. Kelahirannya terjadi di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriah, dan beliau wafat pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriah.
Kisah kerendahan hati Imam Ja’far Ash-Shadiq yang telah diabadikan oleh Syekh Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya’ Juz 1, halaman 36, mengisahkan tentang momen berharga yang melibatkan beliau sebagai berikut:
Pada suatu hari, Syekh Daud At-Tha’i mendatangi Imam Ja’far Ash-Shadiq dan berkata, “Wahai putra keturunan Rasulullah, saya datang untuk meminta nasihat dari Anda”. Tanggapan Imam Ja’far Ash-Shadiq sungguh mengesankan, “Wahai Daud At-Tha’i, Anda sebenarnya tidak memerlukan nasihat dari saya, karena Anda adalah sosok yang terkenal karena kesederhanaannya di masa ini”.
Syekh Daud At-Tha’i melanjutkan, “Wahai putra keturunan Rasulullah, Anda memiliki derajat yang tinggi di mata banyak orang, doa Anda diijabah dengan cepat, dan Anda tetap kokoh dalam perbuatan baik”. Imam Ja’far Ash-Shadiq merespons dengan penuh kerendahan hati, “Wahai Daud At-Tha’i, saya khawatir bahwa saya tidak akan mampu meniru akhlak kakek saya”. Syekh Daud At-Tha’i menjawab, “Lalu siapa yang sebaiknya kita teladani dan jadikan teladan?”. Imam Ja’far Ash-Shadiq menjawab:
هذا ما يتم بالنسب الصحيح بل انما يتم بحسن المعاملة
Artinya: Urusan ini bukan disempurnakan dengan nasab yang shohih, akan tetapi urusan ini hanya bisa menjadi sempurna dengan muamalah yang baik.
Mendengar kata-kata bijak dari Imam Ja’far Ash-Shadiq, Syekh Daud At-Tha’i meneteskan air mata sambil berkata, “Wahai Tuhan, ini adalah suatu keajaiban. Meskipun beliau memiliki hubungan dengan Nabi, beliau adalah seorang ahli argumen, cucu Rasulullah, dan keturunan dari Fatimah Az-Zahra. Siapakah saya? Saya tidak pantas untuk membanggakan amal saya”.
Syekh Fariduddin Attar menambahkan bahwa suatu kali Imam Ja’far Ash-Shadiq berkumpul bersama teman-teman dan budak-budaknya. Salah satu dari mereka berkomentar, “Wahai keturunan Rasulullah, kami akan membutuhkan syafaatmu di hari kemudian, karena saudaramu akan memberikan syafaat di hari Kiamat”. Imam Ja’far Ash-Shadiq menjawab:
إني لأستحي من جدي أن أنظر اليه يوم القيامة مع هذه الأعمال
Artinya: Sesungguhnya aku sangat malu pada kakekku (Rosulullah) jika aku melihat beliau nanti dihari kiamat, sedangkan amalku masih seperti ini.
Hikmah yang dapat kita petik dari ucapan bijak Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah bahwa kita tidak seharusnya membanggakan latar belakang keturunan kita. Kedepannya, yang mampu menyelamatkan kita adalah amal perbuatan kita, bukan asal-usul keturunan kita. Mereka yang terlalu memperhatikan keturunan cenderung lamban dalam beramal dan berbuat kebaikan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pesan moral dari Imam Ja’far Ash-Shadiq mengajarkan bahwa kemuliaan tidaklah terletak pada asal-usul keturunan. Wallahu A’lam Bissawab.”