Kapan Boleh Memukul Anak Menurut Islam

Dalam Islam, pukulan kepada anak dilakukan saat menginjak usia 10 tahun dan berkenaan dengan shalat, itupun tidak boleh sampai melukai 

Hidayatullah.com | SETAHUN belakangan di banyak media sering diberitakan orang tua atau para pendidik memukul anak hingga menyebabkan luka berat. Dengan menyebut nama Allah Swt, sesungguhnya agama Islam amatlah lengkap memberikan pedoman dalam masalah ini, termasuk masalah ‘pukulan’ kepada anak.

Dianjurkan bagi seorang hamba apabila disebutkan nama Allah di hadapannya untuk bersikap khusyu’, tunduk, malu, dan menyurutkan diri. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah ﷺ telah bersabda:

إذا ضرب أحدكم خادمه فذكر الله فارفعوا أيديكم

“Apabila seseorang di antara kalian memukul pelayannya, lalu pelayannya menyebut nama Allah, maka tahanlah tangan kalian (dari memukulnya).” (HR. Tirmidzi, dalam Kitabul Birri wash Shilah 1873).

Apabila hal ini dianjurkan, meskipun terhadap pelayan, maka terlebih lagi terhadap anak kecil. Dalam hal ini tidak bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan apa yang dikatakan oleh ahli debat yang menyebutkan bahwa anak yang bersangkutan bisa saja menjadikan hal ini sebagai kilah dan jalan keluar agar terbebas dari hukuman setiap kali dikenai hukuman.

Demikian karena sesungguhnya berkah, taufiq, dan hidayah, semuanya hanya ada pada ketaatan kepada Nabi. Allah telah berfirman:

وإن تطيعوه تهتدوأوماعلى الرسول إلا البلاغ المبين

“Dan jika kamu taat kepada-Nya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS: An-Nuur (24): 54).

Memang benar bisa jadi ada sebagian anak yang berkilah dengan memakai cara ini, tetapi siapakah yang disalahkan bila anak-anak didik ada yang berani berbuat demikian dan memaksa mereka untuk menggunakan kilah dan tipu muslihat seperti ini?

Untuk itu, pihak pendidik dan orang tua harus melakukan introspeksi ke dalam, mengevaluasi segala kekeliruan, dan mulai lagi berangkat dari kaidah yang diakui oleh syari’at dalam masalah pendidikan secara ilmiah lagi benar, agar tidak terjadi ketimpangan dan kontradiksi dalam penerapannya.

Untuk itu, kembali saya katakan bahwa sesungguhnya tidak layak memperbanyak hukuman, karena pengaruhnya sangat buruk bagi anak didik. Kękerasan secara erus-menerus yang dilakukan terhadap anak didik dapat membahayakan tubuh, akhlaq, sosial, dan perasaan mereka.

Untuk itu, harus dicari cara lain yang bijak seperti yang dikatakan oleh pepatah: “Sedia payung sebelum hujan.”

Seorang pendidik yang bijaksana adalah orang yang menjauhkan anak didiknya dari lingkungan yang dapat menjerumuskannya ke dalam berbagai kekeliruan. (Al-Aulad wa Tarbiyatuhun fi Dhauil Islam hlm. 164, menukil dari Ath-Thil fisy Syari’atil Islamiah, karya Muhammad Shalih).

Larangan Memukul di Bagian Sensitif  Saat Emosi

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang menghukum anaknya, sedang dia dalam keadaan marah, mnaka hukuman yang ditimpakannya akan berakibat:

1. Tidak bermanfaat,

2. Menimbulkan rasa antipati dan kebencian dalam diri anak,

3. Pukulan yang ditimpakan saat itu bukan untuk tujuan mendidik, melainkan untuk memuaskan diri dan menyalurkan kemarahan yang bergejolak dalam dada terhadap anak didik yang patut dikasihani.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda:

إذا ضرب أحدكم فليتق الوجة

“Apabila seseorang di antara kalian memukul, maka hindarilah bagian wajah.” (Muslim, Kitabul Birri wash Shilah 4729, Abu Dawud, Kitabul Hudud 3859, Ahmad, lanjutan Musnadul Mukstirin 10314 dengan teks sebagai berikut: “Apabila seseorang di antara kalian memukul saudaranya, hindarilah bagian wajah, karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam keadaan utuh menurut rupa aslinya).

Berangkat dari pengertian ini, kita dapat mengetahui rahasia yang terkandung di balik pesan berulang Nabi ﷺ kepada seorang lelaki Badui saat mengatakan kepadanya: “Berpesanlah kepadaku!” Nabi menjawab:

لا تغضب

“Janganlak Kamu suka marah!”

Lelaki itu berkata: “Setelah kurenungkan apa yang dipesankan oleh Nabi ﷺ, ternyata kujumpai bahwa sikap marah menghimpun semua keburukan.” (Bukhari, Kitabul Adab 5651, Ahmad, lanjutan Musnadul Anshar 22088. Teks hadits ini menurut apa yang ada pada Ahmad.)

Inilah patokan kebolehan menjatuhkan hukuman pukulan:

  1. Pukulan tidak boleh dilakukan sebelum sang anak menginjak usia 10 tahun. Hal inipun hanya berkenaan dengan masalah meninggalkan shalat. Karena shalat adalah rukun Islam paling besar sesudah membaca dua kalimah syahadat.
  2. Berupaya keras mengurangi hukuman pukulan dan menjadikannya seperti garan dalam masakan. Sedikit tetapi membuatnya bertambah lezat dan bila kebanyakan justru akan merusak rasanya. Begitu pula dengan pukulan, semakin banyak dilakukan, akan mengurangi keampuhan dan efektivitasya, bahkan membuat sang anak didik akan terbiasa dengannya, kemudian akan membuatnya bertambah bodoh.

Rasulullah ﷺ telah bersabda:

لا يجلد فوق عشر جلدات إلا في حد من حدود الله

“Tidak boleh melakukan hukuman cambuk lebih dari 10 kali dera, kecuali hanya dalam kasus pelanggaran yang ada hukuman hadnya.” (Bukhari, Kitabul Hudud 5342, Tirmidzi, Kitabul Hudud 1383, Abu Dawud, Kitabul Hudud 3849, dan Ahmad, Musnadul Madaniyyin 15894).

Berdasarkan hadits ini, dapat disimpulkan bahwa hukuman pukulan hanya diperbolehkan maksimal 10 kali pukulan dan hal ini pun hanya dilakukan terhadap orang mukallaf yang sudah baligh.

Bagaimanakah sikap kita terhadap anak yang belum mencapai usia taklif? Sudah barang tentu kita tidak boleh memukulnya sebelum mencapai usia 10 tahun.

Disebutkan bahwa dahulu Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengirim surat kepada semua gubernurnya yang ada di berbagai kota besar yang isinya antar lain mengatakan bahwa seorang mu’allim (guru) tidak boleh memukul lebih dari 3 kali secara berturut-turut, karena sesungguhnya cara ini akan menakutkan anak didik. (Ibnu Abud Dun-ya, Kitabul Iyal 1/531).

Yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah bertujuan mendidik, bukan menghukum. Sebagai dalilnya ialah pesan Rasulullah ﷺ kepada Mu’adz bin Jabal yang mengatakan:

ولا ترفع عنهم عصاك أدبا وأخفهم في الله

“Janganlah mengangkat tongkatmu terhadap mereka untuk mendidik, tetapi perlakutilah mereka dengan Allah.” (Ahmad, 21060)

Al-Qadhi Syuraih berpendapat bahwa anak didik tidak boleh dipukul karena melakukan kesalahan dalam membaca Al-Qur’an, kecuali hanya sebanyak tiga kali. Sebagaimana Jibril menyekap Nabi Muhammad sebanyak tiga kali.

3. Ulama tafsir mengatakan bahwa pukulan memakai cambuk dianjurkan hanya mengenai bagian kulit semata dan tidak boleh melampauinya sampai menembus daging.

Setiap pukulan yang melukai bagian daging atau merobek kulit hingga menembus daging dan melukainya bertentangan dengan hukum Al-Qur’an. Yang dimaksud adalah apa yang disebutkan dalam firman-Nya: “Fajlíduu” yang artinya deralah bagian luar kulit tubuh manusia yang dikenainya. (Tafsir Surat An-Nuur karya Al-Maududi).

4. Sarana yang dipakai untuk memukul tidak boleh berupa cambuk yang keras atau cambuk yang ada pintalannya, karena ada larangan mengenai hal tersebut.

Zaid bin Aslam telah meriwayatkan bahwa dahulu pada masa Rasulullah  ﷺ pernah ada seorang lelaki mengakui dirinya telah berbuat zina. Rasulullah ﷺ pun meminta cambuk, lalu didatangkanlah kepadanya sebuah cambuk yang telah terurai ujungnya, maka beliau bersabda: “Di atas ini!” Lalu didatangkanlah sebuah cambuk baru yang masih ada pintalannya pada bagian ujungnya, maka beliau bersabda: “Di bawah ini!” Akhirnya, didatangkanlah kepadanya sebuah cambuk yang telah digunakan dan agak lunak ujungnya, kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan agar lelaki itu didera dengan cambuk tersebut.

Sesudah itu Rasulullah bersabda:

أيها الناس قد أن لكــم أن تنتهوا عن حدود اللـه من أصـاب من هذه القاذورات شيئا فليستتر بستر الله فإنه من يبدي لنا صفحته نقم عليه كتاب الله

“Hai sekalian manusia, sekarang sudah saatnya bagi kalian untuk menghentikan hukuman had Allah; barangsiapa yang melakukan sesuatu dari perbuatan yang keji ini, hendaklah ia menutupi dirinya dengan tirai Allah, karena sesungguhnya barang siapa yang mengakui perbuatannya terhadap kani, niscaya kami akan menegakkan terhadapnya hukum Allah.” (Muwaththa Imam Malik, Kitabul Hudud 2 199)

5. Seseorang yang menimpakan pukulan tidak boleh mengangkat tinggi ketiaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Unar terhadap juru pukulnya: “Janganlah kamu angkat ketiakmnu!” Makna yang dimaksud ialah agar pukulan yang ditimpakan tidak melukai, yakni tidak terlalu keras dan kuat, karena ada larangan dari Nabi mengenai hal ini sebagaimana yang akan diterangkan kemudian.* (diambil dari Terjemahan Athfaalul Muslimin Kaifa Rabbahumun Nabiyyul Amin, Jamal Abdul Rahman).

HIDAUYATULLAH