Lima Karakteristik Muslim Sejati [2]

Sambungan artikel PERTAMA

 

Dalam soal pernikahan biasanya kaum Muslimin telah melaksanakannya sesuai dalam peraturan islam, tetapi resepsi, walimah, atau pesta perkawinan, justru sangat bertentangan dari ajaran islam, mulai dari gaun dan penampilan pengantin yang tidak mencerminkan nilai-nilai islam, pencampur bauran antara pria dan wanita, hingga kepada hiburan yang mengandung dan mengakibatkan timbulnya kemaksiatan.

Ketiga, selalu dalam shibghah atau terwarnai dengan nilai-nilai Ilahi, sehingga seorang Muslim akan selalu berusaha untuk menjalani hidup dengan ketentuan-ketentuan Allah Subhanahu Wata’alaSubhanahu Wata’aladan Rasulnya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

صِبۡغَةَ ٱللَّهِ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ صِبۡغَةٗۖ وَنَحۡنُ لَهُۥ عَٰبِدُونَ ١٣٨
”shibghah Allah. Dan diapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah.” (Al-Baqarah:138)

Keempat, istiqomah atau teguh dalam pendirian. Sikap ini amat penting untuk dimiliki, mengingat menjadi Muslim yang sebenar-benarnya memang bukan urusan mudah. Amat banyak tantangan dan godaan yang harus dihadapi. Semua itu hanya dapat dihadapi dengan istiqomah. Dengan sikap istiqomah seseorang tidak hanya berani dalam menghadapi kemungkinan mendapatkan resiko dari keimanan dan keislamannya, melainkan juga tidak akan berduka cita atau tidak akan menyesal sebagai Muslim jika resiko itu benar-benar menimpa dirinya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ١٣

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan,’ Tuhan kami ialah Allah,’ kemudian mereka tetap istiqomah maka tidak ada kekuatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (QS Al-Ahqaaf:13)

Kelima, bersikap tawazzun (keseimbangan hidup). Islam mentransfer kesadaran bahwa implementasi nilai ukhrawi yang kita kejar, selayaknya tidak menjadikan kita lupa untuk memperbaiki kualitas kehidupan dunia, karena prestasi ibadah dunia mata rantai bagi kehidupan akhirat. Islam tidak pernah mendikotomikan dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, akliyah dan ruhiyah, lahir dan batin.

Seperti pembelajaran yang kita dapatkan dari firman Allah Subhanahu Wata’alaSubhanahu Wata’alasebagai berikut:

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah Subhanahu Wata’alaSubhanahu Wata’alakepadamu (kebahagiaan) negri akhirat, dan jangalah kamu melupakan bahagiamu dari kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain) sebagaimana Allah Subhanahu Wata’alaSubhanahu Wata’alatelah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’alaSubhanahu Wata’alatidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS: Al-Qashash:77).

Keseimbangan hidup merupakan sesuatu yang amat penting. Manakala seorang Muslim tidak berlaku tawazzun maka akan terjadi ketimpangan hidup yang tidak terkendali daan berdampak pada kerusakan di muka bumi ini, baik kerusakan lingkungan hidup maupun kerusakan moral sebagaimana yang kita saksikan bahkan kita rasakan akibatnya selama ini.

Akhirnya, semua terpulang kepada kita sebagai Muslim. Apakah kita akan terus berusaha untuk memperkukuh keislaman kita atau tidak. Kita memang merasakan betapa sulitnya menjadi seorang Muslim yang sejati selama ini, namun kitapun harus menyadari bahwa sesulit apapun, upaya menjadi Muslim yang sejati itu bukan berarti tidak bisa sama sekali. Oleh karena itu, kesungguhan kita dalam memperjuangkan nilai-nilai keislam sangat diperlukan.semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberkahi kita semua.*

 

Oleh: Shalih Hayim

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus Jawa Tengah