Angka kematian jamaah haji asal Indonesia sejauh ini bisa ditekan lebih rendah dari tahun sebelumnya. Selain kerja petugas haji Indonesia, Kerajaan Arab Saudi ternyata juga menerapkan strategi khusus terkait hal itu.
“Masya Allah, tabarakallah, karena kebaikan Allah untuk tahun ini terutama di Masyair (waktu wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, serta melontar jumrah), dan Makkah bisa kita turunkan angka kematiannya,” kata Kepala Pelayanan Kesehatan Komite Haji Arab Saudi untuk Asia Tenggara, Ehsan A Bouges di Jeddah, Rabu (5/9).
Ehsan mengepalai badan yang menjalankan operasional pelayanan kesehatan di Makkah, Arafah, dan Masyair. Dia melayani sekitar 300 ribu jemaah Asia Tenggara dan Cina. Sebanyak 120 petugas ia komandoi guna menjalankan ambulans serta menangani operasional klinik kesehatan di wilayah tersebut.
Pria keturunan Bugis-Sunda itu menuturkan, sepanjang fase wukuf dan mabit di Muzdalifah dan Mina serta melontar jumrah dan penempatan jamaah di Makkah, angka kematian jemaah Indonesia sejauh ini tercatat sebanyak 234 orang. Jumlah itu tak sampai separuh dari angka kematian tahun lalu yang mencapai 600 orang lebih.
Ehsan menuturkan, sebelum musim haji dimulai, mula-mula mereka memetakan dahulu sejumlah faktor-faktor terkait kesehatan jemaah. Di antaranya, jumlah jemaah Indonesia yang 60 persennya berusia di atas 60 tahun. Selain itu, berangkat juga sebanyak 147 ribu jemaah berisiko tinggi terkena penyakit di Tanah Suci. Kebiasaan-kebiasaan jemaah Indonesia juga mereka petakan.
Setelah itu, insinyur teknik industri dari Universitas King Abdulaziz Jeddah itu bersama koleganya merancang sistem pelayanan di Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Makkah.
“Jadi kami melakukan restrukturisasi dan reorganisasi tahun ini belajar dari pengalaman sebelumnya,” kata dia.
Diantara terobosan tahun ini adalah penempatan klinik yang lebih banyak dengan sistem pendingin ruangan yang lebih baik di lokasi-lokasi tersebut. Tak kalah penting, Arab Saudi mengoperasikan 28 ambulans yang dibagi di tiga wilayah berbeda.
Hal itu memungkinkan penjemputan jemaah sakit di klinik-klinik yang perlu dirujuk lebih cepat. Ia juga menempatkan perwakilan di rumah sakit untuk mempercepat pengurusan perawatan jemaah.
Pengerahan sumber daya manusia juga disesuaikan dengan kepadatan lokasi. Pada saat wukuf, tenaga pelayanan kesehatan dikonsentrasikan di Arafah, kemudian dipindahkan ke Muzdalifah, Mina, dan Makkah berturut-turut sesuai waktu-waktu padat masing-masing lokasi.
“Jadi pusing kepalanya berpindah-pindah,” kata dia berkelakar.
Tak hanya soal pelayanan kesehatan, Ehsan mengatakan, pelayanan katering juga punya peran krusial menyokong kesehatan jemaah. Menurutnya, Saudi setuju menyesuaikan cita rasa makanan dengan lidah jemaah Indonesia agar jemaah banyak makan dan terjaga kesehatannya.
Faktor lain, kata Ehsan, adalah anggapan keliru jemaah mereka harus berumrah tujuh kali sebelum wukuf. Menurut dia, hal ini menguras tenaga jemaah higga akhirnya mereka kelelahan di Arafah dan saat melempar jamarat. Ia mengatakan, pengelola haji dari Cina, Thailand, dan Malaysia sudah melarang sama sekali praktik tersebut.
Sementara Indonesia mulai juga menyerukan imbauan itu. Upaya-upaya tersebut, didukung kerja sama yang baik Arab Saudi dengan petugas Indonesia ia harapkan mampu lebih menjaga keselamatan jemaah.
Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama Sri Ilhami Lubis sebelumnya mengakui peningkatan pelayanan Arab Saudi. Menurutnya, ada peningkatan kerja sama antara pihak Saudi dan Indonesia yang berujung pada peningkatan pelayanan tahun ini. (fz/ab).
Ditulis oleh Abdul Basyir