PADA pokoknya, tidak ada anak yang nakal. Kitalah yang salah didik sehingga mereka menjadi nakal. Tak ada anak yang lahir dalam keadaan nakal. Tetapi kita tak boleh menutup mata atau menyangkal bahwa kenakalan itu ada. Sesungguhnya, eufimisme hanya menyulitkan kita menemukan akar masalahnya. Memahami setiap sebab kenakalan akan memudahkan kita menentukan langkah yang tepat sesuai dengan sebab kenakalannya. Langkah terstruktur.
Menyangkal adanya kenakalan dapat membuat kita terkejut. Tiba-tiba saja ada berita kriminalitas anak. Bukan lagi sekedar kenakalan. Ungkapan sebagian trainer bahwa kenakalan hanyalah soal cara pandang, atau kenakalan adalah kreativitas terpendam, memang menghibur. Tetapi ungkapan ini sangat menjerumuskan. Menganggap biasa tiap kenakalan, memandangnya wajar sehingga tak ada tindakan, akibatnya sangat fatal. Kita menganggap kenakalan itu tidak pernah ada, tapi tiba-tiba saja dikejutkan oleh berita anak SD membunuh. Apakah ini bukan kenakalan? Bukan. Ini sudah kriminalitas. Jauh lebih berat daripada kenakalan.
Ketika ada yang gaduh di kelas, sebagian guru dengan ringan berkata “mereka anak kinestetik”. Tapi tak menjelaskan beda kinestetik dan liar. Teringat kisah seorang kawan di Melbourne. Suatu saat anaknya mengantuk di kelas. Catat: mengantuk. Itu pun sebentar. Tapi guru langsung koordinasi. Mereka ingin mengetahui sebab (ini mempengaruhi penanganan) mengantuknya anak. Karena kehilangan motivasi, terlambat tidur atau lainnya.
Point pentingnya adalah, masalah kecil pun perlu segera ditangani agar tak berkembang lebih parah atau justru jadi masalah kolektif.
Terdapat banyak literatur yang khusus membahas kenakalan anak, mengenali tanda dan sebabnya serta cara menangani. Ini menunjukkan bahwa kenakalan itu ada dan perlu langkah-langkah yang tepat untuk menanganinya. Bukan menafikan.
Jika setiap yang tak sesuai kita anggap biasa, maka ketika anak sudah berperilaku sangat menyimpang pun, kita sudah tak peka lagi. Kita menganggap biasa apa yang sebenarnya tak biasa tanpa mencoba memahami sebabnya dan akhirnya gagap ketika persoalan berkembang serius.
Ini sama dengan belajar anak. Kita perlu bedakan antara kemampuan dan kemauan. Jika anak goblog karena malas, jangan cari pembenaran. Berbakat tapi tak bersemangat akan kalah dibanding tak berbakat tapi gigih. Awalnya sulit, sesudah itu mereka akan menemukan kemudahan.
Sama halnya capek dan lelah. Capek (tired) bersifat fisik, lelah (fatigue) bersifat mental. Capek karena belajar seharian itu wajar.
Cukup beri kesempatan istirahat, dia akan segar kembali. Tapi lelah setelah belajar, full day atau pun half day, itu yang perlu diatasi. Dan itu tidak terkait dengan panjang pendeknya durasi belajar. Di sekolah yang durasi belajarnya pendek pun bisa saja banyak yang kelelahan.’
Jika anak kelewat bersemangat sehingga kecapekan belajar, paling-paling cuma badannya yang sakit. Bisa flu, bisa demam. Paling seminggu. Tapi sangat berbeda dengan kelelahan. Jika dibiarkan, anak dapat kehilangan motivasi belajar, apatis, gangguan perilaku atau kenakalan. Anak juga dapat menjadi trouble maker alias biang kerok. Ini jika anak tidak memperoleh stimulasi media. Nah, apalagi kalau media merusak dan memperparah.*
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku “Mencapai Ketenangan di Tengah Kesibukan”, twitter: @kupinang