Ada sebagian perintah ataupun larangan yang bersifat ta’abbudi (transendental) dan ada pula yang dikategorikan sebagai ta’lili (bisa dirasionalisasikan). Baik yang bersumber dari Kalam Allah SWT maupun hadis yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. Namun, tak semua pesan yang tersimpan di balik kedua hal tersebut mampu ditangkap oleh akal manusia.
Berangkat dari fakta ini, muncul sejumlah karya yang mencoba menguak hikmah dari sebuah perintah atau larangan. Salah satunya datang dari Al Hakim at-Tirmidzi (Bukan pakar hadis, Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi (279 H).
Melalui karyanya yang berjudul Al-Manhiyyat, tokoh yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Basyar al-Hakim at-Tirmidzi itu, berusaha menguraikan pesan yang terkandung di balik larangan ataupun anjuran-anjuran yang pernah disampaikan oleh Rasulullah.
Ia membatasi ulasannya hanya pada hadis-hadis Rasulullah dengan derajat kesahihan yang beragam. Uraiannya itu diperkuat dengan argumentasi yang berasal dari Alquran, riwayat hadis lainnya, dan pendapat para ulama. Penjelasannya sangat sederhana. Sebab, pembahasan kitab yang salah satu naskah manuskripnya masih tersimpan di Dar al-Kutub, Kairo, Mesir, itu mudah dibaca dan tak terlalu sulit memahaminya.
Namun, analisis dan pembacaan pesan yang tersimpan dalam hadis Rasulullah oleh tokoh yang berasal dari Tirmidz, sebuah daerah yang kini berada di wilayah Uzbekistan dan sebagian barat Kazakhtan, tersebut tergolong mendalam.
Hal ini tak terlepas dari latar belakang tasawuf dan ilmu olah spiritual yang ia dalami. Kedalamannya itu juga tampak di beberapa karyanya. Sebut saja, Ilal al-Ubudiyyah, Syarh as-Shalat wa Maqashiduha, Alhajju wa Asraruhu, dan tentunya mahakaryanya yang terkenal, Khatm al- Awliya.’
Dalam pembukaan kitabnya, tokoh yang hidup hingga 320 H tersebut, menegaskan satu poin penting. Bahwasanya, semua larangan yang diberlakukan oleh Rasulullah kepada umatnya, memiliki tujuan positif dan benar.
Bila peringatan dan larangan itu diikuti, yang bersangkutan akan tetap berada dalam kebenaran. Sebaliknya, bila dilanggar, ia telah tergelincir dari hidayah-Nya.
Fakta tentang hadis larangan memiliki motif dan tujuan ini tak terbantahkan. Namun, barangkali tidak kasat mata oleh kebanyakan orang. Kesimpulannya itu sangat berasalan. Hal ini terlihat jelas pada upayanya menyibak tabir di 170 hadis tentang etika hidup sehari-hari yang ia kutip dalam kitab Al-Manhiyyat. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59] : 7)
Menurut dia, larangan-larangan yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya memiliki tingkatan yang berbeda. Dalam pandangan sosok yang dibesarkan oleh iklim intelektualitas yang heterogen di Khurasan kala itu, larangan-larangan Rasulullah yang tersebar di berbagai riwayat dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama, yaitu larangan untuk alasan etika (nahy adab) dan larangan karena ada unsur haram (nahy tahrim).
Yang dimaksud dengan nahy adab ialah perkara yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan. Tingkatan larangannya tidak terlalu kuat. Indikasinya bisa ditangkap dari teks itu sendiri. Misalnya, larangan untuk bertanya tentang hal-hal yang rumit kepada Rasulullah.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu. (QS al-Maidah [6]: 101).
Sedangkan pengertian nahy tahrim, ialah larangan yang bersifat pasti dan mutlak. Sebagaimana kategori sebelumnya, larangan ini bisa diketahui dari teks.
Misalnya, larangan mengonsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah [394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul. (QS al-Maidah [5] : 3).
Nahy tersebut bersifat mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Siapa pun yang melanggarnya terancam siksa. Berbeda dengan nahy adab, mereka yang melakukannya tidak disiksa.
Hadis adab
Dari total 170 hadis yang ia uraikan, tokoh yang memutuskan terjun di dunia tasawuf saat berusia 27 tahun itu, menitikberatkan pada hadis-hadis adab. Keseluruhan menyangkut etika dan norma-norma hidup sehari-hari.
Hadis yang pertama kali ia uraikan ialah menyangkut tata cara berbusana yang baik. Di antaranya, hadis riwayat Bukhari Muslim dan sejumlah imam hadis lainnya larangan memakai baju (jubah atau gamis–Red) dengan posisi duduk, sementara kedua pahanya terlihat. Cara seperti ini dilakukan dengan bajunya terlipat separuh.
Apa maskud di balik larangan itu? Menurut ulama yang belajar hadis di Nisaphur pada 285 H itu, mengenakan pakaian dengan cara demikian akan memudahkan aurat tampak. Apalagi, bila yang bersangkutan tidak memakai pakaian dalam. Ketika masa awal Islam hadir di tengah-tengah masyarakat jahiliah, mereka belum terbiasa menutup aurat. Bahkan, tatkala mereka melaksanakan tawaf di Ka’bah sekalipun. Aurat mereka terlihat.
Maka saat Islam datang, bangsa Arab diperintahkan untuk menutup aurat mereka sebisa mungkin dan menjaga pandangan agar tidak melihat aurat orang lain.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya’. (QS an-Nuur [24] 31). Larangan yang tersebut dalam hadis di atas, pada dasarnya ialah bentuk pendisiplinan kepada mereka.
Al-Hakim at-Tirmidzi juga menyebutkan pesan yang ada di balik larangan kencing dengan posisi berdiri. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, Rasulullah menegaskan hal itu. Menurut analisis al-Hakim, ada dua motif pelarangan tersebut. Yaitu alasan yang pertama, posisi berdiri saat kencing rawan terkena percikan air seni.
Sedangkan, najis yang diakibatkan oleh kelalaian saat buang air kecil tersebut, bisa berujung pada siksa di alam kubur. Riwayat lain yang dinukil oleh Thabrani dan dan Al Bazzar menjelaskan peringatan tersebut. Rasulullah bersabda, Pastikanlah kalian bersih dari (najis) air seni, karena sesungguhnya sebagian besar azab kubur akibat (najis) air seni. Oleh karena itu, Rasulullah di riwayat lainnya menganjurkan agar kencing sambil duduk.
Sedangkan, motif yang kedua dari larangan kencing berdiri ialah berkenaan dengan kesehatan yang bersangkutan. Menurut tokoh yang terusir dari Tirmidz lalu pindah ke Balkh lantaran menulis kitab yang dianggap kontroversial: Khatm al-Awliya’ dan ‘Ilal Asy Syari’at itu, posisi berdiri kurang mendukung bagi kelancaran membuang air seni.
Di saat berdiri, vena terus aktif dan jantung tetap memompa darah dengan kencang. Semuanya bermuara di jantung. Berbeda dengan posisi duduk. Dengan posisi ini, jantung akan perlahan mengalami rileksasi. Dengan duduk pula, saluran kencing akan mudah terbuka dan semakin melancarkan. Kesemuanya itu tidak didapatkan lewat posisi berdiri.
Dan, menutup karyanya tersebut, al-Hakim menjelaskan larangan mengadakan transaksi menggunakan emas ditukar dengan emas. Larangan itu berlaku selama nilai dan kadarnya tidak setara.
Bila jual beli dengan emas sementara nilainya berbeda, menurut sosok yang terinspirasi dan belajar agama dari sang ayah, Syekh Ali, praktik semacam ini dikategorikan riba. Dan riba adalah perbuatan yang tidak diperkenankan dalam agama. Selain itu, riba juga merugikan salah satu atau kedua belah pihak.