Bolehkah Menahan Buang Angin Saat Sholat?

M Quraish Shihab merupakah salah seorang ulama ahli tafsir Indonesia yang menempuh pendidikannya di al Azhar Mesir Kairo. Selama hidupnya, ulama berusia 77 tahun ini menjawab berbagai persoalan keagamaan di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam hal ibadah sholat.

Salah satu pertanyaan yang dijawab M Quraish adalah tentang hukum menahan kentut di saat sedang mengerjakan sholat. Apakah sah shalat dalam keadaan seperti itu?

M Quraish menjelaskan bahwa syarat sahnya sholat adalah terpeliharanya wudhu. Sedangkan salah satu yang membatalkan wudhu adalah keluar angin atau kentut. Jika orang yang sedang sholat tersebut menahannya, maka sholatnya tidak sah.

“Jika yang bersangkutan menahan sehingga angin tidak keluar, maka wudhunya tetap sah. Dengan demikkian, upaya menahan itu sendiri tidak membatalkan sholat,” kata M Quraish dalam bukunya yang berjudul M. Quraish Shihab Menjawab (2014, Lentara Hati).

Dia pun kemudian mengutip beberapa dalil yang mendukung pendapatnya tersebut. Menurut dia, Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda, “Tidak (perlu mengulangi) wudhu kecuali karena ada suara (buang angin) atau mendengar bunyi angin.”

Imam Muslim, Abu Dawud, dan at-Tarmidzi juga meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian merasakan ada angin (ketika dia ada) dalam masjid, maka janganlah dia keluar (untuk berwudhu), kecuali bila dia mendengar suara atau menemukan angin.”

Memang, kata M Quraish, sholat seseorang yang menahan angin atau air kecil dan besar dinilai makruh oleh ulama, karena keadaan demikian pasti mengganggu konsentrasi dan kekhusyukannya. Akan tetapi, menurut dia, hal ini tidak sampai membatalkan sholatnya.

IHRAM

Dilarang Menertawakan Kentut

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Diantara adab dalam islam yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak menghina keadaan orang lain, yang dirinya sendiri juga melakukannya. Kentut adalah bagian dari rangkaian metabolisme tubuh manusia. Sehingga semua orang yang normal mengalaminya. Untuk itu, ketika kita mendengar ada orang yang kentut, kita dilarang menertawakannya. Karena kita sendiri pun pernah mengalaminya.

Dari sahabat Abdullah bin Zam’ah radhiyallahu ‘anhu,

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah. Beliau menceritakan tentang kisah onta Nabi Sholeh yang disembelih kaumnya yang membangkang. Beliau menafsirkan firman Allah di surat as-Syams. Kemudian beliau menasehati agar bersikap lembut dengan wanita, dan tidak boleh memukulnya.

Kemudian beliau menasehati sikap sahabat yang tertawa ketika mendengar ada yang kentut.

إِلَامَ يَضْحَكُ أَحَدُكُمْ مِمَّا يَفْعَلُ؟

“Mengapa kalian mentertawakan kentut yang kalian juga biasa mengalaminya.” (HR. Bukhari 4942 dan Muslim 2855).

Menertawakan Kentut Kebiasaan Jahiliyah

Dalam Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Sunan Turmudzi, Al-Mubarokfuri mengatakan,

وكانوا في الجاهلية إذا وقع ذلك من أحد منهم في مجلس يضحكون فنهاهم عن ذلك

“Dulu mereka (para sahabat) di masa jahiliyah, apabila ada salah satu peserta majlis yang kentut, mereka pada tertawa. Kemudian beliau melarang hal itu.” (Tuhfatul Ahwadzi, 9/189).

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,

الإنسان إنما يضحك ويتعجب من شيء لا يقع منه، أما ما يقع منه؛ فإنه لا ينبغي أن يضحك منه، ولهذا عاتب النبي صلى الله عليه وسلم من يضحكون من الضرطة؛ لأن هذا شيء يخرج منهم، وهو عادة عند كثير من الناس.

Umumnya orang akan menertawakan dan terheran dengan sesuatu yang tidak pernah terjadi pada dirinya. Sementara sesuatu yang juga dialami dirinya, tidak selayaknya dia menertawakannya. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang menertawakan kentut. Karena kentut juga mereka alami. Dan semacam ini (menertawakan kentut) termasuk adat banyak masyarakat. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/120).

Kemudian Imam Ibnu Utsaimin juga menyebutkan satu kaidah,

وفي هذا إشارة إلى أن الإنسان لا ينبغي له أن يعيب غيره فيما يفعله هو بنفسه

Ini merupakan isyarat bahwa tidak sepantasnya bagi manusia untuk mencela orang lain dengan sesuatu yang kita juga biasa mengalaminya. Maroji’ : syarh riyadlush sholihin, (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/120).

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Read more https://konsultasisyariah.com/20352-dilarang-menertawakan-kentut.html