Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa Khulafaur Rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspedesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali scbagai amirul mukminin.
Bahkan sumber-sumber literatur China menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.
Dalam kitab sejarah China yang berjudul Chiu T’hang Sim disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.
Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’? menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.
Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di China saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Tengah, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini adalah rute pelayaran paling panjang yang pernah ada sebelum abad 16.
Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para peziarah Budha China yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada era yang lebih belakangan, pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Batutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Batutah daerah-daerah mana saja yang pemah ia kunjungi.
Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke China. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri China. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Tidak hanya ke negeri China perjalanan dilakukan. Beberapa catatan juga menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke China tanpa melawat terlebih dahulu ke Sriwijaya.
Sebuah literatur kuno Arab berjudul “Aja’ib Al Hind” yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1.000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam karyanya menyebutkan ada korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang masyhur karena adilnya itu.
“Dari Raja di Raja (Malik al Amlak) yang adalah seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan.
Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.”
Begitulah bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hubungan diplomatik tersebut diperkirakan berlangsung pada tahun 918 masehi. Tak dapat diketahui apakah Raja memeluk Islam atau tidak setelah itu. Tapi hubungan Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi babak baru Islam di Nusantara. [@paramuda/ BersamaDakwah]
Sumber: Nusantara Berkisah oleh Herry Nurdi