Allah Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian puasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata,
“Melalui ayat ini, Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman. Allah memerintahkan mereka untuk berpuasa, yaitu menahan diri dari menikmati makanan, minuman, dan hubungan badan, dengan niat yang ikhlas untuk Allah ‘azza wa jalla. Sebab, di dalam ibadah puasa itu terkandung penyucian jiwa, pembersihan dan penjernihannya dari segala kotoran dosa dan akhlak yang rendah. Allah menyebutkan bahwa Allah mewajibkan puasa kepada mereka sebagaimana Allah juga mewajibkannya kepada orang-orang sebelum mereka. Sehingga mereka memiliki teladan dalam hal itu. Oleh sebab itu hendaknya mereka bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban ini lebih sempurna daripada yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/277] cet. Maktabah at-Taufiqiyah).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah berkata, “Di dalam ayat “Sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian.” terkandung beberapa faidah.
Pertama: pentingnya puasa, dimana Allah ‘azza wa jalla juga mewajibkannya kepada umat-umat sebelum kita. Hal ini menunjukkan kecintaan Allah ‘azza wa jalla terhadapnya, dan bahwasanya ibadah ini wajib bagi setiap umat.
Kedua: meringankan beban umat ini, dimana mereka tidak sendirian dalam pembebanan ibadah puasa ini yang terkadang bisa menimbulkan kesulitan bagi jiwa (perasaan) dan badan.
Ketiga: isyarat yang menunjukkan bahwasanya Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama bagi umat ini tatkala Allah sempurnakan untuk mereka berbagai keutamaan yang pernah ada pada umat-umat sebelum mereka” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hlm. 52).
Syaikh As-Sa’di Rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya puasa merupakan salah satu sebab paling utama untuk meraih ketakwaan. Karena di dalamnya terkandung penunaian perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Selain itu, kandungan takwa yang terdapat di dalam ibadah ini adalah: seorang yang berpuasa meninggalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah kepadanya yaitu makan, minum, jima’, dan lain sebagainya yang hawa nafsunya cenderung kepadanya. Dia melakukan hal itu demi mendekatkan diri kepada Allah. Dia mengharapkan pahala dari-Nya tatkala meninggalkan itu semua. Maka ini adalah termasuk bentuk ketakwaan.
Selain itu, kandungan takwa yang terdapat di dalam ibadah ini adalah: seorang yang berpuasa menggembleng dirinya untuk merasa senantiasa diawasi oleh Allah Ta’ala, sehingga dia akan meninggalkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya walaupun sebenarnya dia mampu untuk melakukannya karena dia mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang dilakukannya.
Selain itu, dengan puasa akan menyempitkan jalan-jalan setan, karena sesungguhnya setan itu mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana peredaran darah. Dengan puasa niscaya akan melemah kekuatannya dan mempersedikit kemaksiatan yang mungkin terjadi.
Selain itu, orang yang berpuasa biasanya lebih banyak berbuat ketaatan, sedangkan ketaatan merupakan bagian dari ketakwaan.
Selain itu, orang yang kaya apabila merasakan susahnya rasa lapar niscaya hal itu akan membuatnya peduli dan memiliki empati dengan orang-orang miskin papa, dan ini pun termasuk bagian dari ketakwaan” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 86).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah berkata,
“Puasa Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah (penghambaan) kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan meninggalkan makan, minum, dan jima’ (hubungan suami-istri) sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Inilah hakikat puasa, yaitu seseorang beribadah kepada Allah dengan meninggalkan perkara-perkara ini, bukan meninggalkannya hanya sebagai sebuah kebiasaan atau karena ingin menjaga kesehatan badan. Akan tetapi dia beribadah dengannya kepada Allah. Dia menahan dari menikmati makanan, minuman, dan berhubungan, demikian pula seluruh pembatal lainnya, dari sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, dari sejak terlihatnya hilal Ramadhan hingga tampak hilal Syawwal” (lihat Syarh Riyadhus Shalihin [3/380] cet. Dar al-Bashirah).
Imam Abu Ishaq asy-Syairazi Rahimahullah berkata, “Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam dan salah satu kewajiban agama yang harus ditunaikan. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Islam dibangun di atas lima perkara; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, mendirikan salat, membayarkan zakat, haji, dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)” (lihat al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i [1/324]).
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiyallahu’anhu, beliau menuturkan: ada seorang arab badui yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rambut yang acak-acakan. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Kabarkan kepadaku salat apa yang diwajibkan kepadaku?” Beliau menjawab, “Salat lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambah salat sunnah.” Lalu dia berkata, “Kabarkan kepadaku puasa apa yang diwajibkan kepadaku?”. Beliau menjawab, “Puasa di bulan Ramadhan, kecuali kamu mau menambah puasa sunnah” (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Shaum [1891] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [11]).
Syaikh Abdullah al-Bassam Rahimahullah berkata, “Hadis-hadis yang menunjukkan kewajiban puasa cukup banyak. Kaum muslimin pun telah sepakat bahwa barangsiapa yang mengingkari kewajibannya maka dia kafir” (lihat Taudhih al-Ahkam [3/439]).
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata,
“Tatkala mengekang hawa nafsu dari hal-hal yang disenangi dan diinginkan termasuk perkara yang paling berat dan sulit, maka kewajibannya pun diakhirkan hingga pertengahan masa Islam yaitu setelah hijrah; yaitu pada saat hawa nafsu mereka telah terdidik dengan tauhid dan salat serta terbiasa dengan perintah-perintah Al-Quran. Maka sesudah itu baru beralih kepada diwajibkannya puasa secara bertahap.
Puasa baru diwajibkan pada tahun kedua setelah hijrah. Tatkala wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjalani sembilan kali puasa Ramadhan. Pada awalnya, puasa diwajibkan dengan disertai pilihan; antara berpuasa atau memberikan makan kepada satu orang miskin sebagai ganti satu hari tidak puasa. Kemudian berpindah dari keadaan boleh memilih ini kepada diwajibkannya puasa. Pada saat itulah ditetapkan bahwa memberikan makan berlaku untuk kakek-nenek yang sudah tua renta apabila mereka tidak kuat berpuasa. Mereka boleh tidak puasa, dan sebagai gantinya mereka harus memberikan makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya.
Demikian pula, Allah berikan keringanan bagi orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa dan meng-qodho’ (mengganti) di waktu yang lain. Ketentuan serupa juga berlaku bagi wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan kondisi tubuhnya. Namun, apabila mereka khawatir akan kondisi bayinya maka selain meng-qodho’ mereka juga harus memberikan makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Mereka itu berbuka bukan karena khawatir sakit, karena pada saat itu mereka dalam keadaan sehat-sehat saja. Maka sebagai penggantinya mereka harus memberikan makan kepada orang miskin sebagaimana hukum orang sehat yang memilih tidak puasa di masa awal Islam.
Sehingga ada tiga tahapan (turunnya syariat pent.) diwajibkannya puasa:
Pertama: diwajibkannya puasa dengan disertai pilihan lain (antara puasa atau memberikan makan, pent).
Kedua: diwajibkannya puasa saja; akan tetapi ketika itu orang yang berpuasa dan tertidur sebelum berbuka maka dia tidak boleh makan dan minum hingga datang malam berikutnya.
Ketiga: kemudian hukum sebelumnya dihapus dengan tahapan ketiga, yaitu sebagaimana yang sudah menjadi aturan baku dalam syariat dan berlaku hingga hari kiamat” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/331]).
Semoga bermanfaat.
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel: Muslim.or.id