Di negeri Yaman, tinggallah seorang pemuda penggembala bernama Uwais Al Qarni. Ia seorang pemuda yang tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Ia sangat berbakti kepada sang ibu. Ia mau mengurusi segala yang dibutuhkan ibunya sejak dari bangun tidur hingga tidur kembali. Sehabis Dzuhur hingga sore, Uwais Al Qarni menggembalakan kambing-kambingnya di tanah lapang.
Di saat menggembala, sering ia bertemu dengan kafilah-kafilah pedagang Yaman yang pulang dari Mekkah. Suatu hari, seorang pemimpin kafilah berkata padanya. “ Hai anak muda. Maukah engkau kuberitahu satu hal?” “Apakah yang akan Paman beritahukan,” Tanya Uwais Al Qarni.
Pemimpin kafilah kemudian memberitahu. “ Di Mekkah telahdatang seorang Rasul, namanya Muhammad. Ia cucu Abdul Muthalib yang alhir dari rahim Aminah, istri Abdullah. Muhammad adalah manusia yang selalu berkata benar, pengasih dan penyayang kepada sesamanya. Makanya ia dijuluki Al-Amin. Ia datang kepada orang-orang Mekkah membawa agama Islam, “katanya.
Mendengar cerita itu, Uwais muda terkagum-kagum. Baginya, Muhammad begitu agung dan mulia. Sejak itu, setiap kali kafilah-kafilah pedagang Yaman pulang dari Mekkah, Uwais selalu berusaha memperoleh kabar sebanyak mungkin tentang Muhammad. Maka, semakin hari, semakin kagumlah ia kepada Muhammad. Hatinya pun lalu beriman kalau ajaran yang dibawanya adalah benar. Sejak itulah hatinya tumbuh rasa cinta yang dalam kepada Rasulullah, meskipun ia belum pernah berjumpa dengan beliau.
Ibunya pun diberitahu juga tentang Muhammad, juga tentang ajaran-ajaran yang dibawanya. Mendengar cerita anaknya yang tidak pernah bohong, ibunya Uwais Al Qarni pun langsung percaya. “Andaikan aku bisa bertemu Muhammad, tentu aku akan sangat bahagia, “ujar ibunya. Suatu hari, Uwais Al Qarni berbicara kepada ibunya. “Wahai Ibu, bolehkah anakmu meminta satu hal?” “Apa yang akan kaupinta, anakku? Bicaralah. Selagi aku bisa memenuhinya, insya Allah engkau akan mendapatkannya.”
“Bu, semakin hari, aku semakin tersiksa oleh rasa rindu yang amat dalam kepada Muhammad. Sudah lama aku mendengar tentang beliau, tentang akhlaknya, tentang ajaran-ajarannya. Tetapi sampai hari ini aku belum pernah bertemu dengannya. Bu, bolehkah aku pergi ke Mekkah agar bisa bertemu dengan beliau walau sebentar saja.”
“Uwais Al Qarni anakku. Kaulah satu-satunya karunia Allah buat Ibumu. Karena Dia telah menjadikanmu sebagai anak berbakti. Kaulah yang senantiasa membantu segala yang kuperlukan. Namun, jika engkau sangat ingin menemuinya, tidak mengapa. Pergilah , sampaikan juga salam Ibu kepadanya.”
“Oh, terimakasih, Bu. Tentu, tentu salam Ibu akan saya sampaikan.” “Tetapi, satu pesan ibu,” kata sang ibu. “Apa yang akan Ibu sampaikan? Katakanlah, Bu, ujar Uwais Al Qarni. “Nanti, setelah engkau bertemu Muhammad, segeralah pulang. Jangan lama-lama di sana. Siapa nanti yang akan membantu Ibu selain engkau.” “Tentu, tentu, Bu. Insya Allah, saya akan segera pulang, “janji Uwais Al Qarni.
Maka berangkatlah Uwais Al Qarni, dengan membawa bekal secukupnya. Perjalanan dari Yaman ke Mekkah memakan waktu yang amat lama, karena jaraknya ratusan kilometer. Uwais menempuhnya dengan jalan kaki. Setelah melakukan perjalanan selama berhari-hari, akhirnya sampailah ia di Mekkah. Dengan pertolongan Allah, dalam perjalananya Uwais tidak menjumpai badai atau pun para penyamun padang pasir yang biasanya menghadang para pedagang.
Sampai di Mekkah, Uwais langsung mendatangi rumah Rasulullah. Namun sayang, Uwais tidak menjumpai siapapun kecuali putri beliau, Fatimah. “Maaf,” kata Fatimah. “Kalau boleh tahu, Anda ini siapa? Dari mana asalmu?” “Saya Uwais Al Qarni. Saya datang dari Yaman ingin bertemu dengan Muhammad Rasulullah, “kata Uwais.
Fatimah terkejut sekali. Betapa kuat pemuda ini, betapa cinta pemuda ini, kepada ayahnya. Dari Yaman ke Mekkah dengan jalan kaki, hanya untuk menemui Rasulullah. Ah, andaikan Rasulullah ada, pasti dia akan senang sekali. Namun sayang, beliau sedang pergi. Begitu kata Fatimah dalam hati.
Fatimah kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Uwais kaget, tampak sekali kekecewaan di wajahnya. “Bagaimana, sebaiknya engkau menunggu sebentar. Sepertinya tak lama lagi ayahanda akan pulang., “ bujuk Fatimah.
“O, tidak, tidak, “ jawab Uwais. “Saya telah berjanji kepada ibu saya untuk tidak berlama-lama di Mekkah. Saya harus segera pulang. Ibu saya sudah tua, badannya lemah. Nanti kalau saya tidak pulang, siapa yang akan membantunya?” “tapi kamu kan belum bertemu Rasulullah. Sedangkan perjalanan dari Yaman ke Mekkah jauh sekali. Sia-sia sekali jika kamu pulang begitu cepat, “kata Fatimah.
“Tidak. Saya memang sangat cinta Rasulullah. Tetapi saya lebih cinta kepada Ibu di rumah. Biarlah lain kali, kalau Allah menghendaki, saya akan bertemu dengan beliau. Saya pulang dulu saja”. Fatimah tetap tidak dapat mencegah Uwais Al Qarni pulang. Padahal tidak lama kemudian, Rasulullah datang diikuti Umar Bin Khathab dan Ali Bin Abi Thalib. Tidak disangka-sangka Rasulullah bertanya, “ Wahai Fatimah? Apakah tadi ada seorang pemuda dari Yaman yang ingin bertemu denganku?”
“Benar wahai ayahanda?”Jawab Fatimah. “ Dari mana ayah tahu?” “Baru saja Jibril memberitahuku, “kata Rasulullah. “Waspadalah dengan pemuda itu. Jika suatu ketika kalian bertemu dengannya, mintalah agar dia mendoakan kalian. Karena, doanya akan selalu dikabulkan oleh Allah.”
Fatimah terkejut. Begitu juga Umar dan Ali. “Siapakah dia sebenarnya, Rasulullah? Kenapa begitu istimewa?”Tanya Umar. “Dia Uwais Al Qarni. Kenapa dia begitu istimewa? Karena dia bukan manusia bumi, melainkan manusia langit, “ jawab Rasulullah singkat.
Sejak peristiwa itu, Umar dan Ali tidak bertemu dengan Uwais Al Qarni. Ia juga tidak tahu pasti, kenapa sampai dijuluki manusia langit. Karena, Rasulullah tidak memberitahu dengan jelas. Pada masa Khalifah Abu Bakar, Umar Bin Khatab dan Ali Bin Abi Thalib r.a. baru bertemu dengannya dalam arena perdagangan di Syam. Keduanya langsung minta dido’akan. Akhirnya, Umar dan Ali tahu mengapa Uwais diberi gelar sebagai penduduk langit. Sebuah julukan yang begitu mulia, julukan yang menyamai para malaikat Allah. Ia begitu cinta kepada Rasulullah dan sangat berbakti kepada ibunya.
Semoga kisah Uwais Al Qarni ini, dapat menjadi hikmah dan pembelajaran bagi kita, agar senantiasa mencintai Rasulullah SAW dan Orang tua kita, khususnya ibu kita…