Kisah Uwais al Qarni Menggendong Ibunya Naik Haji

Berikut adalah kisah Uwais al Qarni menggendong ibunya naik haji. Ia menggendong ibunya untuk menunaikan ibadah haji dari Yaman hingga Makkah. Alkisah Uwais mendapat ujian berupa penyakit kulit yang dideritanya. Namun dengan kesulitan fisik tersebut tak menyurutkan baktinya untuk merawat ibunya yang sudah lanjut usia dan mengalami lumpuh.

Uwais selalu bisa memenuhi keinginan sang ibu, hingga suatu ketika sang ibu berkata “Wahai Uwais anakku. Mungkin aku tak akan lama lagi bisa bersamamu. Tolong usahakanlah agar aku dapat menunaikan ibadah haji,” kata ibunya. 

Setelah mendengar permintaan ibunya, Uwais terdiam sembari berpikir bagaimana cara agar bisa memenuhi keinginan ibunya. sementara untuk membeli unta sebagai kendaraan tentu tidak mungkin karena tidak ada biaya. Akhirnya ia memutuskan, kelak di musim haji ia akan membawa ibunya menunaikan ibadah haji dengan cara menggendongnya. 

Di tengah waktu menunggu musim haji Uwais membeli anak lembu yang masih kecil untuk dirawatnya.  Akhirnya Uwais membuatkan kandang untuk anak lembu tersebut di atas bukit. Setiap hari di waktu pagi hari Uwais menggendong anak lembunya itu untuk digembala di kaki bukit, hingga menjelang petang ia kembali menggendong anak lembu itu untuk dikembalikan ke kandangnya yang ada di atas bukit. Rutinitas itu ia lakukan setiap hari hingga masyarakat disana menyangka bahwa Uwais telah gila. 

Tak terasa musim haji akan segera tiba, dan anak lembu itu sudah besar, bukan untuk dijual, ternyata pekerjaan Uwais menggendong anak lembu naik dan turun bukit itu adalah untuk melatih tenaganya agar kuat menggendong ibunya untuk pergi menunaikan ibadah haji dari Yaman ke Makkah yang itu membutuhkan tenaga yang kuat karena jauhnya jarak yang akan ditempuh. 

Akhirnya Uwais pergi bersama ibunya untuk menunaikan ibadah haji, sepanjang perjalanan panas matahari dan dinginnya udara malam tak bisa dihindari oleh Uwais, namun itu tak menyurutkan semangatnya untuk membahagiakan ibu yang disayanginya. Sesampainya di Makkah ia thawaf  tetap dengan menggendong ibunya, selepas tawaf ia lalu berdoa di depan kakbah agar Allah Swt mengampuni dosa dosa ibunya, 

Lalu ditanyalah Uwais bagaimana dengan dosamu? Dan Uwais menjawab “dengan dosa ibuku diampuni maka ibuku akan masuk surga maka cukuplah ridla ibuku yang membawaku ke surga,” katanya.  

Seketika itu penyakit kulit yang dideritanya sembuh, dan hanya menyisakan satu bercak putih sebagai tanda agar Umar bin Khattab bisa mengenalinya. Karena Rasulullah berpesan kepada Umar agar mencari orang shaleh yang bernama Uwais Al-Qarni yang di salah satu bagian tubuhnya ada bercak putih.

Baktinya kepada ibunya membuat Uwais memiliki derajat kemulian yang tinggi. Hal itu ditandai dari sabda Rasulullah Saw kepada sahabat bahwa jika para sahabat menjumpai Uwais agar meminta doa ampunan melalui Uwais. 

Dalam hadits riwayat Muslim, Sayidina Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in itu adalah orang yang bernama Uwais, ia memiliki orang tua, dan kepadanya terdapat kusta. Suruhlah dia untuk memohonkan ampun untuk kalian’.”

Demikian kisah Uwais al Qarni menggendong ibunya naik haji. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Dialog Umar Bin Khattab dan Uwais Al-Qarni Saat Ibadah Haji

Nabi Muhammad SAW bercerita tentang Uwais Al-Qarni, padahal beliau belum pernah bertemu dengannya. Nabi bersabda, “Sesungguhnya dia (Uwais Al-Qarni) berasal dari negeri Yaman, dari kampung Qarn, suku Murad. Ayahnya meninggal dunia dan dia hidup bersama ibunya. Dia anak yang berbakti kepada orang tua. Suatu hari dia terserang penyakit kusta. Dia berdoa memohon kepada Allah dan Allah menyembuhkannya. Penyakit itu berbekas. Di kulit kedua lengannya ada bekas sakitnya seperti tempelan uang dirham. Dia adalah pemimpin para pengikutku.”

Kemudian, Nabi Muhammad SAW berkata kepada Umar bin Khattab, “Jika engkau sempat bertemu dengannya dan minta didoakan ampunan, maka lakukanlah.”

Ketika Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah, dia bertanya-tanya kepada jamaah haji siapa yang mengenal Uwais Al-Qarni.

Umar          : “Adakah di antara kalian Uwais Al Qarni?”

Jamaah Haji: “Tidak.”

Umar          : “Bagaimana bisa kalian meninggalkanya?”

Mereka (jamaah haji) menjawab tanpa mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni.

Jamaah Haji: “Kami meninggalkannya karena dia tidak punya harta, pakaiannya usang.”

Umar          : “Celakalah kalian! Sesungguhnya Nabi telah menceritakan tentang dia. Kemudian beliau bersabda kepada saya, “Jika engkau sempat bertemu dengannya dan minta didoakan ampunan, maka lakukanlah.”

Setiap musim haji tiba, Umar terus mencari dan menunggu Uwais Al Qarni. Sampai suatu hari, tanpa sengaja Umar bertemu dengan seorang haji dari Yaman. Umar ingin mencari kepastian apakah yang ditemuinya itu adalah Uwais Al-Qarni.

Umar  : “Siapa namamu?”

Uwais  : “Uwais.”

Umar  : “Berasal dari mana?”

Uwais : “Dari Qarn.”

Umar : “Dari kabilah apa?”

Uwais : “Kabilah Murad.”

Umar : “Bagaimana kabar ayahmu?”

Uwais : “Saya hidup bersama ibu, sedangkan ayah saya sudah lama meninggal.”

Umar : “Bagaimana keadaan bersama ibumu?”

Uwais : “Saya harap semoga saya menjadi anak yang berbakti.”

Umar : “Apakah engkau pernah sakit?”

Uwais : “Ya. Saya sakit kusta, lalu berdoa kepada Allah agar menyembuhkan penyakit saya, dan saya sembuh.”

Umar : “Apakah ada suatu bekas sakitmu dulu?”

Uwais : “Ya, ada bekasnnya di lengan saya seperti uang dirham.”

Uwais menunjukkan lengannya itu. Ketika Umar menyaksikan tanda itu, dia langsung memeluknya dan berkata.

Umar: “Engkaulah orangnya yang diceritakan Nabi dan kucari-cari selama ini. Berdoalah dan mintakanlah saya ampunan dari Allah.”

Uwais : “Wahai Amirul Mukminiin, apakah saya harus memohon supaya engkau diampuni?”

Umar : “Benar.”

Umar terus memintanya dan akhirnya dia didoakan. Kemudian, Umar menanyakan tujuan Uwais setelah melaksanakan ibadah haji.

Uwais : “Saya akan pergi ke Murad menemui penduduk Yaman, lalu ke Irak.”

Umar  : “Bagaimana kalau saya menuliskan surat tentang dirimu untuk gubernur Irak.”

Uwais : “Demi Allah, saya bersumpah. Jangan sampai engkau melakukan itu wahai Amirul Mukminin!”. Biarkan saya berjalan di tengah-tengah orang-orang seperti orang asing, sebagaimana orang lain.”

Siapa Uwais Al-Qarni?

Siapa Uwais Al-Qarni ini sehingga namanya disebut oleh Nabi dan Umar bin Khattab meminta doa darinya? Dikisahkan dari hadis Riwayat Muslim dari Ishak bin Ibrahim, seorang pemuda bernama UwaisAl-Qarni. tinggal di negeri Yaman. Ia seorang fakir dan yatim dan hidup bersama ibunya yang lumpuh dan buta.

Uwais Al-Qarni bekerja sebagai penggembala domba. Hasil usahanya hanya cukup untuk makan ibunya sehari-hari. Bila kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin. Uwais Al-Qarni dikenal seorang yang taat beribadah dan sangat patuh pada ibunya. ia sering kali berpuasa.

Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya sering bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Sedang ia sendiri belum pernahberjumpa dengan RasulullahSAW. Namun, kKetika mendengar gigi Nabi Muhammad patah karena dilempari batu oleh kaum thaif yang enggan diajak dalam dakwahnya, segera Uwais ikut mematahkan giginya dengan batu hingga patah.

Ia rindu ingin mendengar suara Nabi SAW, kerinduannya karena iman kepada Allah dan Muhammad sebagai rasulnya.

Ia tak dapat membendung lagi keinginannya itu. Pada suatu hari Uwais datang mendekati ibunya mengeluarkan isi hatinya dan mohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah.

Setelah ia menemukan rumah Rasulullah, hanya bertemu istri Aisyah r.a. Sementara, di waktu yang sama ia ingat pesan ibunya agar cepat pulang ke Yaman. Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya itu mengalahkan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah pun pulang dari medan pertempuran. Sesampainya di rumah beliau menanyakan kepada Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Aisyah ra menjelaskan bahwa memang benar ada yang mencarinya, tetapi karena tidak menunggu, ia segera kembali ke Yaman karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa orang itu penghuni langit. Nabi menceritakan kepada para sahabatnya, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”

Nabi pun menyarankan para sahabatnya ketika bertemu dengan Uwais Al-Qarni, “Apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan bumi.”

IHRAM

Uwais Al-Qarni, Pemuda Sederhana Yang Dicari-Cari Oleh Khalifah Umar Bin Khattab

“Mohon kalian semua duduk,” kata Umar kepada rombongan yang datang di sekitaran Ka’bah. Saat itu Umar sudah menjabat sebagai seorang khalifah. Artinya, itu adalah era di mana Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wassalaam dan Abu Bakar As-Shidiq sudah meninggal dunia.

Keadaan cukup ramai karena sudah memasuki bulan Dzulhijjah. Musim haji telah tiba. Orang-orang dari segala penjuru mendatangi kota Mekah untuk beribadah. Dan wajarnya ibadah haji pada era itu, yang dibawa pun sekalian barang dagangan. Ibadah sekalian berjualan. Itulah yang membuat keadaan di pusat kota Mekah saat Umar mengumpulkan para calon jamaah haji jadi terlihat semakin riuh.

“Silakan duduk, kecuali orang-orang yang berasal dari daerah Qaran,” lanjut Umar bin Khattab. Semua orang-orang yang di hadapan Umar duduk bersila. Sedangkan orang-orang dari Qaran tetap berdiri.

“Siapa di antara kalian yang bernama Uwais?” tanya Umar kepada orang-orang yang masih berdiri.

Semua orang yang berdiri bergeming. Saling pandang satu sama lain, seperti saling menyelidik dan bertanya-tanya. Umar pun paham, di antara orang-orang ini, tidak ada orang yang dimaksud.

“Adakah di antara kalian yang mengenal orang yang bernama Uwais al-Qarni?” tanya Umar lagi dengan suara keras mengingat di hadapannya ada cukup banyak orang.

Kasak-kusuk mulai terdengar, orang-orang ini mulai bingung. Ada apa sosok seterhormat khalifah Umar menanyakan Uwais? Orang-orang Qaran ini heran. Uwais hanya orang biasa, rakyat jelata, dan tidak punya kedudukan apapun. Bahkan bagi penduduk Qaran, Uwais hanyalah orang gila yang dikucilkan dari masyarakat. Itulah yang kemudian membuat salah satu pria yang berdiri sedikit maju ke depan untuk berbicara kepada Umar.

“Wahai, Umar. Apa yang Anda inginkan darinya? Uwais adalah orang yang tidak dikenal kecuali oleh orang-orang sekitarnya. Ia tinggal di gubuk reyot. Hidup sendiri dan tidak bergaul dengan manusia,” kata perwakilan orang Qaran ini.

Tanpa diduga oleh orang-orang Qaran dan calon jamaah haji yang duduk, Umar justru sumringah. Seperti menemukan seseorang yang selama ini ditunggu-tunggu. Dengan sedikit terburu-buru Umar mendatangi orang tersebut.

“Sampaikan salamku padanya. Pada Uwais. Mohon, mintakan kepadanya untuk segera menemuiku di Mekah,” kata Umar.

Tentu saja semua yang melihat ini bertanya-tanya. Siapa orang yang dimaksud Umar itu? Dan apa yang membuatnya jadi terlihat begitu istimewa sampai seorang Umar—salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad, khalifah penerus Abu Bakar As-Shidiq—seperti berupaya keras untuk menyelidiki dan mencari sosoknya. Rasa penasaran yang tidak hanya muncul dari orang-orang Qaran, tapi juga jamaah haji yang sedang duduk.

Rasa penasaran itu mengerucut pada satu pertanyaan: Siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni?

Uwais adalah pria tambun, berkulit coklat gelap, kepalanya botak, berjenggot tebal dan lebat. Sering mengenakan sorban dari kain wol, wajahnya cukup menjengkelkan sekaligus punya tatapan mata yang menakutkan.

Paling tidak, itulah kesan yang dilihat oleh Harim bin Hayyan al-‘Abdi, seorang muslim yang bertemu dengan Uwais setelah kabar seorang Khalifah Umar mencari sosok tidak dikenal itu sampai ke Kota Kufah di tepi Sungai Efrat.

Seperti yang diceritakan ulang oleh Abu Al-Qasim An-Naisaburi dalam kitab Uqola al-Majaaniin, kitab kebijaksanaan orang-orang yang dianggap gila atau memang gila betulan, setelah mendapat pesan dari Umar, orang Qaran ini pun pulang ke kampung halamannya setelah ibadah haji. Ia menyampaikan pesan istimewa ke Uwais dengan penuh tanda tanya. Barangkali dalam hatinya, ada urusan apa seorang Uwais, sosok yang dicampakkan di perkampungannya, malah mendapat “undangan kenegaraan” langsung dari khalifah umat Islam sedunia.

Mendapat undangan istimewa tersebut, tentu saja Uwais segera ke Mekah mendatangi Umar. Begitu keduanya bertemu, Umar langsung menyapa, “Apakah benar Anda adalah Uwais? Uwais Al-Qarni?” tanya Umar.

“Ya, benar, wahai Amirulmukminin,” jawab Uwais.

“Apakah Anda pernah memiliki penyakit kusta, lalu Anda berdoa dan penyakit Anda sembuh? Lalu Anda berdoa kembali agar dikembalikan lagi penyakit kusta tersebut, lalu dikabulkan lagi, tapi hanya setengah dari penyakit yang pertama?” tanya Umar.

Uwais terkejut luar biasa melihat Umar tahu hal tersebut. Mengingat Uwais hanyalah sebatang kara dan dianggap gila oleh orang-orang di sekitarnya.

“Benar apa yang Anda sampaikan, Amirulmukminin,” kata Uwais masih terkejut, “Siapa yang mengabari Anda tentang semua itu? Demi Tuhan, tidak ada yang mengetahui peristiwa tersebut kecuali Tuhan.”

Umar lalu menjawab, “Yang memberitahuku adalah Rasulullah. Beliau memerintahkanku untuk memohon kepada Anda agar berkenan mendoakan saya.”

Karuan saja Uwais semakin heran dengan penjelasan Umar. Namun sebelum keluar kata-kata dari Uwais, Umar kembali melanjutkan kata-katanya.

“Karena beliau bersabda tentang seorang pria yang memberi syafaat kepada orang-orang yang jumlahnya lebih banyak dari Bani Rabi’ah dan Mudlar. Lalu beliau menyebut namamu,” jelas Umar.

Apa yang disampaikan Umar adalah hadis dari riwayat Hasan. Suatu kali Nabi Muhammad bersabda, “Ada orang-orang dalam jumlah lebih banyak dari Bani Rabi’ah dan Mudlar kelak yang akan masuk surga karena syafaat seorang pria dari umatku. Maukah kalian aku beritahu siapa nama pria itu?”

Para sahabat menjawab, “Tentu saja, Wahai Rasulullah.”

“Pria itu adalah Uwais Al-Qarni.”

Setelahnya lalu keluar perintah Nabi untuk Umar, “Wahai Umar, apabila engkau menemukannya, sampaikan salamku untuknya, berbincanglah dengannya sehingga dia mendoakanmu.” Sebuah riwayat yang juga terdapat dalam kitab Shahih al-Jami ash-Shaghir karya Jalaluddin as-Suyuthi.

Mendengar segala keistimewaan itu Uwais bukannya jadi besar kepala, pesannya pun sederhana kepada Umar, “Wahai Amurilmukminin, saya punya permohonan untuk Anda,” kata Uwais.

“Apa itu, Uwais?” tanya Umar.

“Tolong sembunyikan soal jati diri saya yang Anda dengar dari Rasulullah dan izinkanlah saya untuk segera beranjak dari tempat ini,” kata Uwais.

Umar pun mengabulkan permohonan tersebut. Dalam kesaksian Harim bin Hayyan, Uwais berkata kepadanya, “Aku tidak suka perkara ini,” setelah Harim meminta hadis dari riwayat Uwais.

“Aku tidak ingin menjadi mukhaddits (ahli hadis), kadi (hakim), dan mufti (pencetus fatwa). Aku tak suka diriku sibuk dengan manusia,” jawab Uwais yang ingin menjauh dari gelar-gelar duniawi sekalipun itu terlihat seperti gelar dari agama.

Di tempat persembunyiannya itulah Uwais menghabiskan sisa hidupnya. Sampai kemudian keberadaan Uwais yang tidak terdeteksi oleh orang banyak itu muncul kembali saat ditemukan dalam keadaan syahid saat Perang Shiffin bergejolak. (fath/tirto/arrahmah.com)

 

ARRAHMAH

Uwais al-Qarni Berhaji Sembari Menggendong Ibunda

Uwais Al-Qarni adalah pemuda Shaleh dari Yaman, sejak lahir Uwais memiliki penyakit belang di sekujur tubunya. Meskipun fisiknya tidak sempurna tapi ia tidak pernah mengeluh kepada Allah justru ia sangat taat kepada Allah dan sangat berbakti pada ibunya.

Sehari-harinya ia habiskan untuk beribadah dan mengembala sapi, hanya sedikit orang yang mengenal Uwais Karena ia hanya fokus untuk beribadah, menghafal Alquran dan merawat ibunya yang sudah renta dan sakit-sakitan, Siang hari ia berkerja keras, malam hari dia selalu asyik bermunajat kepada Allah. Baginya tidak dikenal didunia jauh lebih baik dari pada tidak dikenal Allah.

Uwais yang hidup dalam kemiskinan, kemiskinan itu tidak membuatnya malas dalam beribadah malah semakin membuatnya takut kepada Allah dan semakin mendorongnya untuk lebih tenggelam dalam ketaatan kepada Allah dan sibuk menjalankan Sunnah-sunnah Rasulullah yang sangat dicintainya.

Pada suatu ketika, ibu Uwais yang semakin tua dan sakit-sakitan meminta kepadanya agar membawanya menunaikan ibadah Haji. Uwais hanya dapat mengiyakan permintaan ibunya, tapi ia yang miskin berpikir bagaimana ia bisa membawa ibunya beribadah haji sementara ia sangat miskin, perjalanan dari Yaman ke Madinah membutuhkan banyak biaya dan harus menggunakan unta untuk membawa ibunya dan harga unta pun sangat mahal.

Uwais terus berdoa sungguh-sungguh kepada Allah agar dimudahkan jalannya untuk memenuhi keinginan ibunya menunaikan ibadah haji. Allah yang maha baik memberikan ilham kepada Uwais, Uwais membeli seekor anak sapi yang sudah tidak menyusu, kemudian ia membuat sebuah kandang sapi diatas bukit.

Setelah kandang sapi itu jadi maka setiap sore hari uwais menggendong anak sapi yang masih kecil itu dipunggungnya kemudian ia bawa naik ke atas bukit dan setiap pagi Uwais menggendong anak sapi itu ke kaki bukit untuk diberikannya makan. Uwais melakukan itu setiap hari dan orang-orang menganggap Uwais gila, karena bukan membiarkan sapi berjalan tapi ia malah menggendongnya.

Padahal perbuatan uwais itu bukan tanpa alasan, ia sangat cerdas. Ia jadi terbiasa menggendong anak sapi itu selama delapan bulan, dan selama delapan bulan itu pula berat anak sapi yang tadinya 20kg menjadi 100 kg, otot-otot ditubuh Uwais pun menjadi terbentuk dan dia semakin kuat.

Tibalah musim haji, barulah semua usaha dan kerja kerasnya menunjukan hasil yang luar biasa. Uwais membawa ibunya menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki sambil menggendongnya dari Yaman ke Makkah yang berjarak 600km ,Uwais yang sudah terbiasa menggendong sapi ke atas bukit setiap harinya. Ia dapat dengan mudah membawa ibunya.

Setelah mereka kembali keyaman, tidak lama ibunya meninggal dunia. Dia sangat bersyukur dapat menunaikan smeua permintaan ibunya, Allah memuliakan martabat Uwais disisi-Nya.

 

REPUBLIKA

Kisah Uwais Al Qarni dan Baktinya pada Orang Tua

Kisah Uwais bin ‘Amir Al Qarni ini patut diambil faedah dan pelajaran. Terutama ia punya amalan mulia bakti pada orang tua sehingga banyak orang yang meminta doa kebaikan melalui perantaranya. Apalagi yang menyuruh orang-orang meminta doa ampunan darinya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah disampaikan oleh beliau jauh-jauh hari.

Kisahnya adalah berawal dari pertemuaannya dengan ‘Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.

عَنْ أُسَيْرِ بْنِ جَابِرٍ قَالَ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِذَا أَتَى عَلَيْهِ أَمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ سَأَلَهُمْ أَفِيكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ حَتَّى أَتَى عَلَى أُوَيْسٍ فَقَالَ أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ نَعَمْ . قَالَ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ قَالَ نَعَمْ.

قَالَ فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأْتَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ لَكَ وَالِدَةٌ قَالَ نَعَمْ

Dari Usair bin Jabir, ia berkata, ‘Umar bin Al Khattab ketika didatangi oleh serombongan pasukan dari Yaman, ia bertanya, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais bin ‘Amir?” Sampai ‘Umar mendatangi ‘Uwais dan bertanya, “Benar engkau adalah Uwais bin ‘Amir?” Uwais menjawab, “Iya, benar.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari Murod, dari Qarn?” Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau dahulu memiliki penyakit kulit lantas sembuh kecuali sebesar satu dirham.”

Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?”

Uwais menjawab, “Iya.”

قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ». فَاسْتَغْفِرْ لِى. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ الْكُوفَةَ. قَالَ أَلاَ أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا قَالَ أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ

Umar berkata, “Aku sendiri pernah mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”

Umar pun berkata, “Mintalah pada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uwais mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah.

Umar pun bertanya pada Uwais, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah”.

Umar pun mengatakan pada Uwais, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di negeri Kufah supaya membantumu?”

Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).”

قَالَ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ حَجَّ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِهِمْ فَوَافَقَ عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ أُوَيْسٍ قَالَ تَرَكْتُهُ رَثَّ الْبَيْتِ قَلِيلَ الْمَتَاعِ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ».

Tahun berikutnya, ada seseorang dari kalangan terhormat dari mereka pergi berhaji dan ia bertemu ‘Umar. Umar pun bertanya tentang Uwais. Orang yang terhormat tersebut menjawab, “Aku tinggalkan Uwais dalam keadaan rumahnya miskin dan barang-barangnya sedikit.” Umar pun mengatakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.

فَأَتَى أُوَيْسًا فَقَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ أَنْتَ أَحْدَثُ عَهْدًا بِسَفَرٍ صَالِحٍ فَاسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ لَقِيتَ عُمَرَ قَالَ نَعَمْ. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ

Orang yang terhormat itu pun mendatangi Uwais, ia pun meminta pada Uwais, “Mintalah ampunan pada Allah untukku.”

Uwais menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari safar yang baik (yaitu haji), mintalah ampunan pada Allah untukku.”

Orang itu mengatakan pada Uwais, “Bukankah engkau telah bertemu ‘Umar.”

Uwais menjawab, “Iya benar.” Uwais pun memintakan ampunan pada Allah untuknya.

فَفَطِنَ لَهُ النَّاسُ فَانْطَلَقَ عَلَى وَجْهِهِ

“Orang lain pun tahu akan keistimewaan Uwais. Lantaran itu, ia mengasingkan diri menjauh dari manusia.” (HR. Muslim no. 2542)

Faedah dari kisah Uwais Al Qarni di atas:

1- Kisah Uwais menunjukkan mu’jizat yang benar-benar nampak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia adalah Uwais bin ‘Amir. Dia berasal dari Qabilah Murad, lalu dari Qarn. Qarn sendiri adalah bagian dari Murad.

2- Kita dapat ambil pelajaran –kata Imam Nawawi- bahwa Uwais adalah orang yang menyembunyikan keadaan dirinya. Rahasia yang ia miliki cukup dirinya dan Allah yang mengetahuinya. Tidak ada sesuatu yang nampak pada orang-orang tentang dia. Itulah yang biasa ditunjukkan orang-orang bijak dan wali Allah yang mulia.

Maksud di atas ditunjukkan dalam riwayat lain,

أَنَّ أَهْلَ الْكُوفَةِ وَفَدُوا إِلَى عُمَرَ وَفِيهِمْ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ يَسْخَرُ بِأُوَيْسٍ

“Penduduk Kufah ada yang menemui ‘Umar. Ketika itu ada seseorang yang meremehkan atau merendahkan Uwais.”

Dari sini berarti kemuliaan Uwais banyak tidak diketahui oleh orang lain sehingga mereka sering merendahkannya.

3- Keistimewaan atau manaqib dari Uwais nampak dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Umar untuk meminta do’a dari Uwais, supaya ia berdo’a pada Allah untuk memberikan ampunan padanya.

4- Dianjurkan untuk meminta do’a dan do’a ampunan lewat perantaraan orang shalih.

5- Boleh orang yang lebih mulia kedudukannya meminta doa pada orang yang kedudukannya lebih rendah darinya. Di sini, Umar adalah seorang sahabat tentu lebih mulia, diperintahkan untuk meminta do’a pada Uwais –seorang tabi’in- yang kedudukannya lebih rendah.

6- Uwais adalah tabi’in yang paling utama berdasarkan nash dalam riwayat lainnya, dari ‘Umar bin Al Khattab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ

Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang pria yang bernama . Uwais. Ia memiliki seorang ibu dan dulunya berpenyakit kulit (tubuhnya ada putih-putih). Perintahkanlah padanya untuk meminta ampun untuk kalian.” (HR. Muslim no. 2542). Ini secara tegas menunjukkan bahwa Uwais adalah tabi’in yang terbaik.

Ada juga yang menyatakan seperti Imam Ahmad dan ulama lainnya bahwa yang terbaik dari kalangan tabi’in adalah Sa’id bin Al Musayyib. Yang dimaksud adalah baik dalam hal keunggulannya dalam ilmu syari’at seperti keunggulannya dalam tafsir, hadits, fikih, dan bukan maksudnya terbaik di sisi Allah seperti pada Uwais. Penyebutan ini pun termasuk mukjizat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

7- Menjadi orang yang tidak terkenal atau tidak ternama itu lebih utama. Lihatlah Uwais, ia sampai mengatakan pada ‘Umar,

أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ

“Aku menjadi orang-orang lemah, itu lebih aku sukai.” Maksud perkataan ini adalah Uwais lebih senang menjadi orang-orang lemah, menjadi fakir miskian, keadaan yang tidak tenar itu lebih ia sukai. Jadi Uwais lebih suka hidup biasa-biasa saja (tidak tenar) dan ia berusaha untuk menyembunyikan keadaan dirinya. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

8- Hadits ini juga menunjukkan keutamaan birrul walidain, yaitu berbakti pada orang tua terutama ibu. Berbakti pada orang tua termasuk bentuk qurobat (ibadah) yang utama.

9- Keadaan Uwais yang lebih senang tidak tenar menunjukkan akan keutamaan hidup terasing dari orang-orang.

10- Pelajaran sifat tawadhu’ yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab.

11- Doa orang selepas bepergian dari safar yang baik seperti haji adalah doa yang mustajab. Sekaligus menunjukkan keutamaan safar yang shalih (safar ibadah).

12- Penilaian manusia biasa dari kehidupan dunia yang nampak. Sehingga mudah merendahkan orang lain. Sedangkan penilaian Allah adalah dari keadaan iman dan takwa dalam hati.

Semoga bermanfaat.

 

sumber: Rumaysho

Kisah Uwais Al Qarni Sang Manusia Langit

Di negeri Yaman, tinggallah seorang pemuda penggembala bernama Uwais Al Qarni. Ia seorang pemuda yang tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Ia sangat berbakti kepada sang ibu. Ia mau mengurusi segala yang dibutuhkan ibunya sejak dari bangun tidur hingga tidur kembali. Sehabis Dzuhur hingga sore, Uwais Al Qarni menggembalakan kambing-kambingnya di tanah lapang.

Di saat menggembala, sering ia bertemu dengan kafilah-kafilah pedagang Yaman yang pulang dari Mekkah. Suatu hari, seorang pemimpin kafilah berkata padanya. “ Hai anak muda. Maukah engkau kuberitahu satu hal?” “Apakah yang akan Paman beritahukan,” Tanya Uwais Al Qarni.

Pemimpin kafilah kemudian memberitahu. “ Di Mekkah telahdatang seorang Rasul, namanya Muhammad. Ia cucu Abdul Muthalib yang alhir dari rahim Aminah, istri Abdullah. Muhammad adalah manusia yang selalu berkata benar, pengasih dan penyayang kepada sesamanya. Makanya ia dijuluki Al-Amin. Ia datang kepada orang-orang Mekkah membawa agama Islam, “katanya.

Mendengar cerita itu, Uwais muda terkagum-kagum. Baginya, Muhammad begitu agung dan mulia. Sejak itu, setiap kali kafilah-kafilah pedagang Yaman pulang dari Mekkah, Uwais selalu berusaha memperoleh kabar sebanyak mungkin tentang Muhammad. Maka, semakin hari, semakin kagumlah ia kepada Muhammad. Hatinya pun lalu beriman kalau ajaran yang dibawanya adalah benar. Sejak itulah hatinya tumbuh rasa cinta yang dalam kepada Rasulullah, meskipun ia belum pernah berjumpa dengan beliau.

Ibunya pun diberitahu juga tentang Muhammad, juga tentang ajaran-ajaran yang dibawanya. Mendengar cerita anaknya yang tidak pernah bohong, ibunya Uwais Al Qarni pun langsung percaya. “Andaikan aku bisa bertemu Muhammad, tentu aku akan sangat bahagia, “ujar ibunya. Suatu hari, Uwais Al Qarni berbicara kepada ibunya. “Wahai Ibu, bolehkah anakmu meminta satu hal?” “Apa yang akan kaupinta, anakku? Bicaralah. Selagi aku bisa memenuhinya, insya Allah engkau akan mendapatkannya.”

“Bu, semakin hari, aku semakin tersiksa oleh rasa rindu yang amat dalam kepada Muhammad. Sudah lama aku mendengar tentang beliau, tentang akhlaknya, tentang ajaran-ajarannya.  Tetapi sampai hari ini aku belum pernah bertemu dengannya. Bu, bolehkah aku pergi ke Mekkah agar bisa bertemu dengan beliau walau sebentar saja.”

“Uwais Al Qarni anakku. Kaulah satu-satunya karunia Allah buat Ibumu. Karena Dia telah menjadikanmu sebagai anak berbakti. Kaulah yang senantiasa membantu segala yang kuperlukan. Namun, jika engkau sangat ingin menemuinya, tidak mengapa. Pergilah , sampaikan juga salam Ibu kepadanya.”

“Oh, terimakasih, Bu. Tentu, tentu salam Ibu akan saya sampaikan.” “Tetapi, satu pesan ibu,” kata sang ibu. “Apa yang akan Ibu sampaikan? Katakanlah, Bu, ujar Uwais Al Qarni. “Nanti, setelah engkau bertemu Muhammad, segeralah pulang. Jangan lama-lama di sana. Siapa nanti yang akan membantu Ibu selain engkau.” “Tentu, tentu, Bu. Insya Allah, saya akan segera pulang, “janji Uwais Al Qarni.

Maka berangkatlah Uwais Al Qarni, dengan membawa bekal secukupnya. Perjalanan dari Yaman ke Mekkah memakan waktu yang amat lama, karena jaraknya ratusan kilometer. Uwais menempuhnya dengan jalan kaki. Setelah melakukan perjalanan selama berhari-hari, akhirnya sampailah ia di Mekkah. Dengan pertolongan Allah, dalam perjalananya Uwais tidak menjumpai badai atau pun para penyamun padang pasir yang biasanya menghadang para pedagang.

Sampai di Mekkah, Uwais langsung mendatangi rumah Rasulullah. Namun sayang, Uwais tidak menjumpai siapapun kecuali putri beliau, Fatimah. “Maaf,” kata Fatimah. “Kalau boleh tahu, Anda ini siapa? Dari mana asalmu?” “Saya Uwais Al Qarni. Saya datang dari Yaman ingin bertemu dengan Muhammad Rasulullah, “kata Uwais.

Fatimah terkejut sekali. Betapa kuat pemuda ini, betapa cinta pemuda ini, kepada ayahnya. Dari Yaman ke Mekkah dengan jalan kaki, hanya untuk menemui Rasulullah. Ah, andaikan Rasulullah ada, pasti dia akan senang sekali. Namun sayang, beliau sedang pergi. Begitu kata Fatimah dalam hati.

Fatimah kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Uwais kaget, tampak sekali kekecewaan di wajahnya. “Bagaimana, sebaiknya engkau menunggu sebentar. Sepertinya tak lama lagi ayahanda akan pulang., “ bujuk Fatimah.

“O, tidak, tidak, “ jawab Uwais. “Saya telah berjanji kepada ibu saya untuk tidak berlama-lama di Mekkah. Saya harus segera pulang. Ibu saya sudah tua, badannya lemah. Nanti kalau saya tidak pulang, siapa yang akan membantunya?” “tapi kamu kan belum bertemu Rasulullah. Sedangkan perjalanan dari Yaman ke Mekkah jauh sekali. Sia-sia sekali jika kamu pulang begitu cepat, “kata Fatimah.

“Tidak. Saya memang sangat cinta Rasulullah. Tetapi saya lebih cinta kepada Ibu di rumah. Biarlah lain kali, kalau Allah menghendaki, saya akan bertemu dengan beliau. Saya pulang dulu saja”. Fatimah tetap tidak dapat mencegah Uwais Al Qarni pulang. Padahal tidak lama kemudian, Rasulullah datang diikuti Umar Bin Khathab dan Ali Bin Abi Thalib. Tidak disangka-sangka Rasulullah bertanya, “ Wahai Fatimah? Apakah tadi ada seorang pemuda dari Yaman yang ingin bertemu denganku?”

“Benar wahai ayahanda?”Jawab Fatimah. “ Dari mana ayah tahu?” “Baru saja Jibril memberitahuku, “kata Rasulullah. “Waspadalah dengan pemuda itu. Jika suatu ketika kalian bertemu dengannya, mintalah agar dia mendoakan kalian. Karena, doanya akan selalu dikabulkan oleh Allah.”

Fatimah terkejut. Begitu juga Umar dan Ali. “Siapakah dia sebenarnya, Rasulullah? Kenapa begitu istimewa?”Tanya Umar. “Dia Uwais Al Qarni. Kenapa dia begitu istimewa? Karena dia bukan manusia bumi, melainkan manusia langit, “ jawab Rasulullah singkat.

Sejak peristiwa itu, Umar dan Ali tidak bertemu dengan Uwais Al Qarni. Ia juga tidak tahu pasti, kenapa sampai dijuluki manusia langit. Karena, Rasulullah tidak memberitahu dengan jelas. Pada masa Khalifah Abu Bakar, Umar Bin Khatab dan Ali Bin Abi Thalib r.a. baru bertemu dengannya dalam arena perdagangan di Syam. Keduanya langsung minta dido’akan. Akhirnya, Umar dan Ali tahu mengapa Uwais diberi gelar sebagai penduduk langit. Sebuah julukan yang begitu mulia, julukan yang menyamai para malaikat Allah. Ia begitu cinta kepada Rasulullah dan sangat berbakti kepada ibunya.

Semoga kisah Uwais Al Qarni ini, dapat menjadi hikmah dan pembelajaran bagi kita, agar senantiasa mencintai Rasulullah SAW dan Orang tua kita, khususnya ibu kita…

Sumber: Pondok Islami

Uwais al-Qarni, Sang Penghuni Langit

Dikisahkan dari hadis Riwayat Muslim dari Ishak bin Ibrahim, seorang pemuda bernama UwaisAl-Qarni. tinggal di negeri Yaman. Ia seorang fakir dan yatim dan hidup bersama ibunya yang lumpuh dan buta.

Uwais Al-Qarni bekerja sebagai penggembala domba. Hasil usahanya hanya cukup untuk makan ibunya sehari-hari. Bila kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin. Uwais Al-Qarni dikenal seorang yang taat beribadah dan sangat patuh pada ibunya. ia sering kali berpuasa.

Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya sering bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah SAW. Namun, ketika mendengar gigi Nabi Muhammad patah karena dilempari batu oleh kaum thaif yang enggan diajak dalam dakwahnya, segera Uwais ikut mematahkan giginya dengan batu hingga patah.

Ia rindu ingin mendengar suara Nabi SAW, kerinduannya karena iman kepada Allah dan Muhammad sebagai rasulnya.

Ia tak dapat membendung lagi keinginannya itu. Pada suatu hari Uwais datang mendekati ibunya mengeluarkan isi hatinya dan mohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah.

Setelah ia menemukan rumah Rasulullah, hanya bertemu istri Aisyah r.a. Sementara, di waktu yang sama ia ingat pesan ibunya agar cepat pulang ke Yaman. Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya itu mengalahkan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah pun pulang dari medan pertempuran. Sesampainya di rumah beliau menanyakan kepada Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Aisyah ra menjelaskan bahwa memang benar ada yang mencarinya, tetapi karena tidak menunggu, ia segera kembali ke Yaman karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa orang itu penghuni langit. Nabi menceritakan kepada para sahabatnya, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”

Nabi pun menyarankan para sahabatnya ketika bertemu dengan Uwais Al-Qarni, “Apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan bumi.”

Suatu ketika Khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni si penghuni langit. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang Uwais Al-Qarni.

Sesampai di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam namun rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam Khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekat kepada kedua sahabat Rasulullah ini.

Uwais mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan telapak tangan Uwais. Tampaklah tanda putih di tengah telapak tangan Uwais Al-Qarni.

Khalifah berkata,”Kami datang ke sini untuk memohon doa dan istighfar darimu.” Uwais Al-Qarni akhirnya berdoa dan membacakan istighfar kepada Khalifah Umar dan Ali. Setelah itu,Khalifah Umar ra menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya.

Namun Uwais menampik dengan berkata,”Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”

Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni meninggal dunia. Banyak orang berebut untuk memandikan. Saat mau dikafani, ada orang-orang yang menunggu mengafaninya. Saat hendak dikuburkan, sudah banyak orang yang siap menggali kuburannya. Banyak orang ingin mengusung kerandanya pula.

 

sumber: Republika Online