Misi Nabi Hud yang Dikisahkan Alquran

Dalam Surah Al-A’raf Ayat 65 diterangkan:

 وَاِلٰى عَادٍ اَخَاهُمْ هُوْدًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اَفَلَا تَتَّقُوْنَ

Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?” (QS Al-A’raf: 65).

Menurut Tafsir Kementerian Agama, ayat ini menerangkan bahwa Allah mengutus Nabi Hud kepada kaum ‘Ad. Nabi Hud dari kalangan kaum ‘Ad sendiri. Allah memerintahkan Nabi Hud untuk menyeru kaumnya agar menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Nabi Hud juga menyeru kaumnya agar meninggalkan segala sesuatu yang dituhankan mereka, karena selain Allah tidak ada Tuhan dan tidak patut disembah. Sebab segala ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah. Oleh sebab itu, Nabi Hud menganjurkan kepada mereka agar bertakwa kepada Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang dimurkai-Nya untuk menghindarkan diri dari siksaan-Nya.

Pada waktu dan kesempatan yang lain, Nabi Hud memerintahkan kepada kaumnya agar mereka menggunakan akal pikirannya.

Allah berfirman, “Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud.” Dia (Nabi Hud) berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. (Selama ini) kamu hanyalah mengada-ada. Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (seruanku) ini. Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti?” (QS Hud: 50-51)

‘Ad adalah anak Iram bin Aus bin Sam bin Nuh. Demikian diterangkan oleh Muhammad bin Ishak. Menurut Ibnu Ishak bahwa al-Kalby mengatakan, kaum ‘Ad adalah penyembah berhala sebagaimana halnya kaum Nabi Nuh yang mematungkan orang-orang yang dipandang keramat setelah mati. Kemudian patung-patung itu dianggap sebagai Tuhan. Kaum ‘Ad pun membuat patung-patung, mereka namakan Tsamud dan yang lain lagi mereka namakan al-Hatar.

Mereka kaum ‘Ad tinggal di Yaman di daerah Ahqaf antara Oman dan Hadramaut. Mereka adalah kaum yang berbuat kerusakan di bumi ini karena mereka bangga dengan kekuatan fisik yang tidak dimiliki oleh kaum yang lain. Karena mereka memperlakukan penduduk bumi ini sekehendak mereka secara zalim.

Allah mengutus Nabi Hud dari kalangan mereka sebab sudah menjadi ketetapan Allah bahwa Rasul-rasul yang diutus itu diambil dari kaumnya sendiri yang lebih mengerti tentang kaumnya dan lebih dapat diterima seruannya karena mengetahui kepribadiannya. Akan tetapi ketika Nabi Hud menyampaikan risalahnya, yaitu menyeru kaumnya agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan perbuatan yang zalim, seruan Nabi Hud tersebut mereka dustakan. 

Mereka menentang Nabi Hud, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah, “Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, ‘Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?’ Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (QS Fushshilat: 15)

IHRAM

Cara Rasulullah SAW Lindungi Keluarga dari Fitnah Saat Haji

Nabi Muhammad SAW selalu melindungi keluarganya dari fitnah dan cobaan yang terjadi saat pelaksaan haji. Saat ibadah haji terutama saat tawaf dan sai, sentuhan fisik (berdesakan) antara pria dan wanita tidak bisa dihindari. 

“Pada saat laki-laki dan perempuan berkumpul, dalam satu tempat (tawaf dan sai) maka peluang terjadinya fitnah menjadi terbuka, terutama bagi kaum perempuan,” kata Abu Talhah Muhammad Yunus Abdussatar dalam buku ‘Haji jalan-jalan atau ibadah’ 

Atas alasan itulah kata Abu Thalhah, Nabi selalu khawatir terjadinya fitnah terhadap keluarganya pada saat berhaji. “Dia berkeinginan kuat untuk menjaga dan menghindarkan mereka dari fitnah,” katanya. Bagaimana cara nabi menghindarkan keluarganya dari fitnah. Berikut di antaranya. 

Pertama, Nabi menolehkan tengkuk Fadl bin Abbas pada saat dia mulai memandangi seorang pemudi suku Khats’am karena khawatir setan menguasai dirinya. 

Kedua, Nabi memerintahkan para istrinya untuk menurunkan kain penutup kepala guna melindungi wajah mereka setiap kali ada laki bukan mahram yang lewat di hadapan mereka. “Bila laki-laki yang bukan mahram tersebut telah pergi dari tempat Nabi mereka membuka kembali kerudung kepala mereka.”(HR Abu Daud)

Ketiga, Nabi memberikan arahan kepada para istrinya agar tidak bercampur dengan laki-laki, walaupun mereka tetap bersama dalam bertawaf. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW kepada Ummu Salamah ketika dia mengeluhkan sakitnya. “Tawaflah di belakang laki-laki dengan menaiki kendaraan.” (HR Bukhari) 

Dalam riwayat yang lain Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya. “Apabila orang-orang sedang melaksanakan salat subuh, maka tawaflah di atas kedaranmu. Ummu Salamah lalu melaksanakan sabda Nabi tersebut dan Baru melakukan salat subuh setelah menyelesaikan tawafnya.” (HR Bukhari). 

Hal demikian juga ditunjukkan hadits riwayat Ibnu Juraij dia berkata, “Atha menceritakan sebuah hadits kepadaku, bahwa Ibnu Hisyam melarang kaum perempuan untuk bertawaf bersama laki-laki.” Atha berkata. “Bagaimana dia dapat melarang mereka padahal istri-istri nabi tawaf bersama orang-orang laki-laki.  

Juraij bertanya kepadanya. “Apakah setelah diwajibkan hijabah ataukah sebelumnya? Dia menjawab, “Jelas aku menemuinya setelah diwajibkannya hijab. 

Juraij melontarkan pertanyaan, “Bagaimana mereka tawaf bersama orang laki-laki.?” Dia menjawab, memang tidak sepenuhnya bercampur baur dengan laki-laki,”

Aisyah istri Nabi selalu bertawaf bersama-sama, namun menyendiri dan menjaga jarak dari orang-orang laki-laki. Suatu ketika seorang perempuan mengajaknya. “Wahai Ummul Mukminin kemari kita beristilam (mengucapkan tangan pada Hajar Aswad atau rukun yamani), Aisyah RA berkata, “Ah, tidak.” 

Maka rombongan wanita itu keluar di malam hari dan tawaf bersama kaum laki-laki, dengan cara jika mereka masuk ke Masjidil Haram, maka giliran kaum laki-laki keluar.  

Aku Ibnu Juraij bersama Ubaid bin Umair dulu pernah mendatangi Aisyah. Saat itu dia berada di atas bila titik Aku Bertanya kepadanya, lalu Apakah tutup hijabnya dia berada di dalam suatu kubah Turki yang ada tutupnya. Hanya itulah yang membatasi kami dengannya. Aku melihatnya memakai baju merah Mawar tik HR Bukhari dalam satu riwayat disebutkan, “Aku telah melihat yang memakai pakaian kekuning-kuningan, dan saat itu aku masih kecil.” 

Keempat, Nabi tidak memerintahkan mereka untuk berlari-lari kecil pada saat tawaf mengelilingi Kabah dan beralih pada daerah landai antara bukit safa dan Marwah. Hal ini sebagaimana dipahami dari kata kata Aisyah, “Wahai para wanita, Kalian tidak perlu berlari kecil ketika tawaf seperti laki-laki titik kamilah teladan kalian.” (HR Baihaqi).  

Kelima, Nabi mengarahkan para istrinya untuk berdiam di rumah setelah berhaji bersamanya. Nabi bersabda kepada mereka pada saat haji Wada, “Ini haji yang wajib bagi kalian. Setelah ini kalian tak mengapa berdiam di rumah-rumah dan kalian tidak wajib haji lagi.” (HR Abu Daud).  

IHRAM

3 Kunci Mengapa Komunikasi Rasulullah SAW Menyejukkan

Rasulullah SAW diberi kemampuan untuk berkomunikasi yang baik.

Mengapa Rasulullah SAW mampu menjadi seorang komunikator yang baik? Ada tiga rahasia kesuksesan komunikasi beliau.

Pertama, adanya kefasihan dan bicara (fashahah) yang bersumber dari kecerdasan beliau sebagai utusan Allah (fathanah).

Setiap Rasul, dalam menyampaikan ajarannya, harus menghadapi perdebatan dengan orang-orang yang menentangnya, harus menjawab pertanyaan para pengikutnya yang beraneka ragam, atau menghadapi pemikiran dan pelecehan para penyebar keragu-raguan. 

Karena itu, kecerdasan, kekuatan argumen, serta kefasihan berbicara setiap Rasul harus melebihi siapa pun dari kaum yang didatanginya. Kalau tidak memiliki kualitas seperti ini, semua yang disampaikannya walaupun benar akan mudah dipatahkan dan diingkari.

Rasulullah SAW diutus pada suatu kaum yang sangat mengagungkan kehebatan merangkai kata. Rasulullah SAW pun diutus tidak pada satu golongan manusia. Beliau diutus pada suatu kaum yang memiliki latar belakang ilmu, status sosial, dan spesialisasi yang berbeda-beda. 

Di antara mereka ada tokoh agama, ahli politik, ahli ekonomi, ahli hikmah, pedagang, peternak, orang kaya, fakir miskin, budak belian, dan lainnya. Semuanya harus diberi argumen agar bisa menerima Islam. 

Jika Rasulullah SAW bukan manusia paling cerdas, paling luas wawasannya, dan paling jelas juga paling fasih bicaranya, tidak mungkin beliau bisa melakukan semua itu.

Allah SWT menegaskan hal ini dalam QS An-Nisaa’ [4] ayat 165:

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

 ”(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Kedua, karena bayan atau ajaran yang Beliau sampaikan mengandung kebenaran mutlak. Secerdas apa pun orang dan sefasih apa pun ia berbicara, tidak akan bernilai dan tahan lama bila yang diungkapkannya tidak mengandung kebenaran.

Salah satu kesuksesan dakwah Rasulullah SAW adalah kesempurnaan ajaran yang dibawanya. Ajaran yang tidak benar (tidak sempurna), argumennya tidak akan jelas, lemah, dan selalu mentah.

Ajaran yang dibawa Rasul sangat sempurna dan “multimanfaat”. Ia bisa diterima semua kalangan, masuk akal, menenangkan, dan tidak dibuat-buat. Banyak cerdik pandai yang mencari-cari kelemahan ajaran Rasulullah SAW, dan sebanyak itu pula mereka gagal menemukannya.

Ketiga, semua kata-kata Rasulullah SAW keluar dari hati yang bersih (qalbun saliim); hati yang penuh kasih sayang, hati yang damai, dan bersih dari kotoran dosa. Tak heran bila kata-kata beliau memiliki “ruh” yang bisa melembutkan hati sekeras batu.

Kepintaran, kefasihan bicara, dan kebenaran ajaran, hanya akan menyentuh aspek akal. Hati hanya bisa disentuh dengan kata-kata yang keluar dari hati yang bersih pula.

“Bersihkan dengan segala apa yang kamu bisa, karena Allah telah mendirikan Islam ini di atas kebersihan, dan tidak akan masuk surga melainkan orang-orang yang bersih,” demikian Rasulullah SAW yang mulia berpesan kepada kita.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Betapa Bijaknya Rasulullah SAW Menutup Aib Sahabatnya

Sejatinya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki aib dan kekurangan.

Suatu kali, Rasulullah SAW bersama para sahabatnya menyantap daging unta. Rupanya, salah seorang sahabat lepas angin. Kendati demikian, tak ada di antara para sahabat yang berkomentar terhadap bau tak sedap itu. Masing-masing hanya memperlihatkan wajah tak senang karena ulah seorang sahabat yang tak diketahui itu.

Tak lama setelah itu, azan Maghrib pun berkumandang. Rasulullah SAW pun bersabda, “Siapa yang makan daging unta, hendaklah ia berwudhu.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Mendengar sabda Beliau SAW, para sahabat yang ikut makan daging unta pun semuanya berwudhu. Tentu saja, sahabat yang lepas angin tadi terselamatkan aibnya. Tak ada yang tahu siapakah sahabat tersebut.

Betapa bijaknya Rasulullah SAW dalam menutupi aib para sahabatnya. Seperti yang disabdakan Beliau SAW, “Siapa yang menutupi aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aib orang itu di dunia dan akhirat. Dan, siapa mengumbar aib saudaranya sesama Muslim maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya.” (HR Ibnu Majah).

Sejatinya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki aib dan kekurangan. Seorang terlihat hebat dan berkharisma hanya karena Allah SWT telah menutupi aibnya sehingga hanya kebaikan saja yang terlihat orang. Bagaimana jadinya jika Allah SWT membukakan aibnya? Tentu, tak ada lagi yang bersimpati kepadanya.

Abu Hurairah RA adalah seorang sahabat yang dikenal sebagai pakar hadis dan paling banyak meriwayatkan hadis Rasulullah SAW. Ke manapun ia pergi, ia selalu diikuti sahabat lain yang ingin belajar hadis kepada beliau. Abu Hurairah RA sadar, begitu banyak orang yang mengidolakannya sebagai pakar hadis hanya lantaran Allah SWT menutupi aibnya. Ia pun pernah berkata, “Kalaulah aib saya tidak ditutup Allah SWT maka tidak akan ada lagi yang mengikuti saya, walau hanya seorang.”

KHAZANAH REPUBLIKA


Kisah Paha Kambing Beracun untuk Rasulullah

DIKISAHKAN bahwa seorang wanita Yahudi bernama Zainab binti Al-Harts, istri Salam bin Misykam menghadiahi beliau seekor kambing bakar yang telah diberi racun.

Ketika tahu bahwa yang disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bagian paha, maka ia memperbanyak racun di bagian itu. Setelah Rasulullah menggigit dagingnya, tulang kambing itu memberitahu beliau bahwa ia telah diberi racun, maka beliau memuntahkan daging yang ada di mulutnya.

Rasulullah kemudian mengumpulkan orang-orang Yahudi, lalu berkata, “Apakah kalian akan menjawab jujur jika aku bertanya kepada kalian?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau berkata, “Apa yang menjadikan kalian melakukannya?”

Mereka menjawab, “Kami ingin mengetahui, jika kamu seorang pembohong maka kami dapat terbebas dari kebohonganmu. Dan jika kamu seorang nabi, tentunya racun itu tidak akan membahayakanmu.”

Lalu wanita yang memberi racunpun dipanggil. Ia berkata, “Aku ingin membunuhmu.” Rasulullah berkata, “Allah tidak mengizinkanmu memperdayaku.” Kaum muslimin berkata, “Tidakkah kami membunuhnya?” Rasul menjawab, “Tidak.” Beliau tidak memberi hukuman apapun kepadanya.

Akan tetapi ketika Bisyr bin Bara’ bin Ma’rur yang ikut makan daging itu meninggal dunia, maka wanita itu dibunuh.

 

MOZAIK

Perbedaan Kisah Adam-Hawa di Islam dan di Kristen

Kisah Adam dan Hawa terdapat pada tiga agama yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Adam dan Hawa diberikan tempat yang mulia yaitu surga Adn. Kemudian, mereka diperdaya oleh Iblis sehingga terusir dari tempat indah itu. Adam dan Hawa disuruh turun ke bumi untuk hidup, berketurunan hingga meninggal.

Di dalam ajaran Kristen, dalam Kitab Kejadian (Perjanjian Lama) Pasal III dijelaskan bahwa iblis yang memperdaya Adam dan Hawa menumpang di dalam mulut ular dan dikatakan bahwa ular adalah binatang yang cerdik dan penipu. Dikatakan pula bahwasanya yang tertipu lebih dahulu ialah si istri karena perempuan adalah jenis manusia yang lemah dan lekas terpedaya.

“Maka, dilihat oleh perempuan itu bahwa buah pohon itu baik akan dimakan dan sedap kepada pemandangan mata yaitu sebatang pokok asyik akan mendatangkan budi, maka diambilnya daripada buah, lalu dimakannya serta diberikannya pula pada lakinya, maka ia pun makanlah.” (Kejadian 3:6)

“Dan jawab Adam seketika Tuhan bertanya mengapa dia bertelanjang apakah telah dimakannya buah itu?

Maka sahut Adam, ‘Adapun perempuan yang telah Tuhan karuniakan kepadaku itu, ia itu memberikan daku buah itu lalu dimakan.”(Kejadian 3:12)

Di dalam Perjanjian Baru ditegaskan pula bahwa Adam tidak bersalah, yang salah ialah perempuan itu sebab dia yang terlebih dahulu terpedaya.

Hal tersebut yang dijadikan dasar dalam ajaran Kristen yang dinamai dasar pertama bahwasanya manusia dilahirkan dalam dosa sehingga mereka diusir ke dalam dunia ini. Yang menjadi pangkal timbulnya dosa ialah karena perempuan tersebut yang lebih dahulu terpedaya oleh setan iblis dan perempuan tersebut turut pula memakan buah terlarang.

Perhatikan susunan ayat dalam Kitab Kejadian tersebut tampaklah lemahnya laki-laki yang mudah saja diperdaya oleh perempuan dan perempuan dapat diperdaya oleh lilitan ular iblis. Saat Tuhan bertanya, Adam dengan segera menyatakan diri bahwa dia tidak bersalah, yang salah ialah istrinya sebab dia yang merayu. Lantaran itu, terhimpunlah segala kutukan kepada perempuan.

Lalu, bagaimana kata Alquran tentang kejadian ini? Apakah Alquran menimpakan kesalahan pada perempuan? Apakah Alquran mengatakan bahwa laki-laki berlepas diri?

1. Di dalam surat al-Baqarah ayat 36 jelas benar dinyatakan bahwa keduanya sama-sama digelincirkan oleh setan sehingga keduanya sama-sama dikeluarkan dari surga.

2. Di dalam surat al-A’raaf ayat 20 dijelaskan bahwa yang diperdaya dan diberi waswas oleh setan sehingga memakan buah yang terlarang itu ialah keduanya, artinya sama-sama bertanggung jawab dan sama-sama bersalah.

Di dalam surat Thaahaa lebih dijelaskan lagi bahwa orang pertama di antara keduanya, yang bertanggung jawab atas kesalahannya ialah Adam, tegasnya adalah laki-laki.

Pada ayat 15 surat Thaahaa disebutkan, “Dan sungguh, telah kami pesankan kepada Adam dahulu, tetapi dia lupa dan Kami tidak dapati kemauan kuat padanya.”

Dalam ayat tersebut jelas terlihat tanggung jawab seorang laki-laki dan kepada orang yang bertanggung jawab tersebut dijatuhkan perintah dan diambil janji bahwa tidak akan dimakannya buah yang terlarang. Namun dia lupa akan tersebut. Lalai.

Lalu, datang lagi ayat 120 yang demikian bunyinya, “Kemudian setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya dengan berkata, ‘Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?’”

Dilanjutkan oleh ayat 21, “Lalu keduanya memakannya, lalu tampaklah oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun yang ada di surga dan telah durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah dia.”

Lanjut di ayat 122, “Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.”

Dari kedua susunan ayat tersebut yaitu terdapat pada Kitab Kejadian (Perjanjian Lama) pegangan orang Yahudi dan Kristen, serta di dalam Surat Thaahaa, dapat kita bandingkan dua gambaran watak pribadi dari seorang yang tengah dikisahkan. Pribadi yang bernama Adam, yang tersebut dalam Kitab Kejadian ialah sosok yang lemah, lekas jatuh dirayu istri. Akan tetapi, ketika ditanya tentang mengapa apa sebab dia salah, dilemparkan tanggung jawab kepada istrinya, yang dituduh memperdayainya. Tampaklah di situ bahwa ketika istri merayu, ia tidak berusaha membela sama sekali.

Dalam Alquran memperlihatkan pribadi dari seorang laki-laki berakal yang telah menerima janji atau mengikat janji dengan Allah SWT, yang karena tipu daya hawa nafsu dan keinginan yang dirayu oleh setan dia lupa akan janjinya. Ia menjadi lemah, tak kuat bertahan ketika menghadapi tipu muslihat.

Dijelaskan pada ayat 120 bahwa yang memperdaya adalah setan sendiri, langsung dari setan bukan dari rayuan istri. Di ayat tersebut tegas disebutkan seruan setan, “Ya Adam!”

Setelah suami terpesona, istri pun menurut, keduanya sama-sama melakukan kesalahan. Pada ayat 121 dijelaskan bahwa keduanya sama-sama memakan buah tersebut dan keduanya sama-sama terbuka kemaluannya, sama-sama tanggal pakaian surganya dan sama-sama terpaksa mencari daun kayu alam surga untuk menutupi auratnya.

Jalan keluar pun ditunjukkan Allah SWT sebab di samping menghukum siapa yang bersalah, Allah pun kasih sayang kepada hambaNya. Allah pun menunjukkan jalan keluar dari kemurungan perasaan merasa bersalah. Hal itu diabadikan dalam al-Baqarah ayat 37, “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya lalu Dia pun menerima taubatnya. Sungguh Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.

Ayat 122 surat Thaahaa dijelaskan bahwa setelah Adam terlanjur bersalah lalu taubat, Allah menerima taubatnya. Lalu diturunkan insan atau basyar yang menerima tugas berat yakni menjadi wakil Allah dan Khalifatullah di muka bumi.

Dari perbandingan ayat-ayat dalam Bible dan Alquran dapat dipahami bahwa bagaimana penghargaan Kristen perempuan dan bagaimana pula dalam kacamata Islam. Wallahu A’lam.

 

BERSAMA DAKWAH

Pelajaran Ranting Kecil dari Rasulullah

Ada peribahasa, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit yang artinya sesuatu yang sedikit dan kecil, apabila dikumpulkan terus-menerus, lama-lama akan menjadi banyak dan besar pula. Peribahasa ini mungkin pas untuk menggambarkan kisah berikut ini.

Ketika Nabi Muhammad saw. melakukan perjalanan bersama para sahabat, mereka tiba di sebuah padang pasar nan gersang. Kebetulan, matahari juga tengah bersinar dengan teriknya. Rombongan tersebut kemudian memutuskan untuk beristirahat.

“Ayo, kumpulkan ranting-ranting kecil untuk memasak,” kata Rasulullah saw.

Salah seorang sahabat ada yang bingung dan berkata. “Ya, Rasulullah. Di tempat yang gersang seperti ini, tidak ada ranting sepotong pun,” sautnya.

“Carilah! Kalian akan mendapatkannya. Bawalah, walau kalian hanya menemukannya sebesar lidi,” jawab Nabi saw.

Mereka kemudian mencari ranting-ranting tersebut. Rupanya, memang benar ada pula ranting-ranting kecil yang bisa diambil. Setelah beberapa kali dicari dan dikumpulkan, maka jadilah, sebuah gundukan yang tinggi.

“Lihat gundukan itu!” kata Nabi saw.

“Awalnya hanya sebesar lidi. Namun, setelah dikumpulkan dan ditumpuk, bisa menjadi gundukan yang setinggi itu. Demikian halnya, dengan dosa-dosa kecil yang dilakukan manusia. Karena itu, jangan menyepelekan dosa kecil,” sabdanya. (Ajie Najmuddin)

 

 

sumber: NU