Kisah Sahabat Nabi yang tak Rupawan

Julaibib sering dipandang rendah orang-orang, tetapi Allah dan Rasul memuliakannya.

Secara fisik, tidak ada yang menarik dari sosok Julaibib. Sahabat Nabi Muhammad SAW ini memiliki postur tubuh yang kecil. Wajahnya jauh dari kriteria rupawan. Penampilannya pun lusuh.

Bahkan, Julaibib tak mengenal siapa ayah dan ibunya. Mungkin, kedua orang tuanya dahulu membuangnya. Maka, sejak kecil dirinya hidup luntang-lantung di Madinah, seperti seorang gelandangan.

Julaibib pun bukan nama sebenarnya. Itu hanya julukan untuknya yang berarti “orang yang berjubah sangat kecil.”

Bagaimanapun, sejarah mengenangnya dengan tinta emas. Sebab, Julaibib termasuk di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW. Lelaki ini bukan hanya bertakwa dan saleh, tetapi juga selalu berada di saf terdepan, baik dalam shalat berjamaah maupun medan jihad fii sabilillah.

Suatu kali, Rasulullah SAW menyapanya, “Tidakkah engkau ingin menikah, wahai Julaibib?” Julaibib terdiam menanggapi pertanyaan demikian. Ia seperti membatin, siapalah gerangan yang mau menikahkan putrinya dengan orang seperti dirinya?

Namun, Rasulullah SAW bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Nabi SAW menanyakan hal yang sama tiga kali.

Akhirnya, Rasulullah SAW bertekad akan menikahkan Julaibib. Beliau mengapit lengan sahabatnya itu dan membawanya ke rumah sebuah keluarga untuk melamar gadis si tuan rumah. Tak tanggung-tanggung pula, yang dituju adalah rumah seorang pemimpin kaum Anshar.

“Aku ingin menikahkan putri kalian,” pinta Rasulullah SAW kepada pemimpin Anshar tersebut.

Sang tuan rumah mengira, beliau-lah yang akan menjadi menantu mereka. Dengan wajah bahagia, mereka menyambut kedatangan Nabi SAW dengan suka cita.

Sedemikian nekatkah Rasulullah SAW ingin menjodohkan dirinya yang buruk rupa ini dengan putri seorang bangsawan? 

“Bukan untukku. Kupinang putri kalian untuk Julaibib,” timpal Rasulullah SAW.

Ayah si gadis langsung terpekik. Bahkan, Julaibib sendiri pun merasa minder yang teramat sangat. Sedemikian nekatkah Rasulullah SAW ingin menjodohkan dirinya yang buruk rupa ini dengan putri seorang bangsawan?

Kemudian, perihal lamaran itu disampaikan kepada si gadis. “Apakah ayah dan ibu hendak menolak permintaan Rasulullah SAW? Demi Allah, kirimkan aku padanya. Jika Rasulullah SAW yang meminta, maka pasti beliau tidak akan membawa kerugian pada diriku,” tegas si gadis yang salehah.

Ia kemudian membacakan Alquran surah al-Ahzab ayat ke-36. Artinya, “Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”

Akhirnya, menikahlah Julaibib yang miskin, buruk rupa, dan tak punya nasab tersebut dengan gadis salehah putri seorang bangsawan Madinah. Tentunya, melalui pernikahan ini Nabi SAW hendak menyampaikan pelajaran berharga.

Kesetaraan (kufu) antara pihak lelaki dan perempuan yang hendak menikah bukanlah soal materi, kedudukan, atau kepemilikan harta.

Di antaranya adalah bahwa definisi kesetaraan (kufu) antara pihak lelaki dan perempuan yang hendak menikah bukanlah soal materi, kedudukan, atau kepemilikan harta benda. Yang dimaksud ialah kufu ketakwaan dan kesalehan keduanya.

Kisah ini mengajarkan para sahabat ketika itu dan umat Islam seluruhnya bahwa dalam pandangan Allah SWT, semua manusia sama. Yang membedakan derajat mereka hanyalah ketakwaan kepada-Nya. Sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan fisik kalian. Allah hanya melihat hati dan amal perbuatan kalian.” (HR Muslim).

Janganlah seseorang merasa malu, minder, dan rendah diri lantaran keterbatasan fisik atau perkara ekonomi. Tak ada alasan pula untuk berputus asa dari rahmat Allah SWT lantaran ditakdirkan dalam kondisi serba keterbatasan.

“Janganlah kamu bersikap lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran: 39).

Kisah Julaibib juga memberikan pelajaran bagi orang-orang beriman agar mereka tidak membeda-bedakan persaudaraan dalam Islam karena faktor fisik atau ekonomi. Dalam memilih teman, sahabat, hingga jodoh, hendaklah mengedepankan aspek keimanan dan kesalehan dibanding hal-hal yang lain.

Julaibib menemui akhir hayat di medan jihad sebagai seorang syuhada. Rasulullah SAW mengafani jenazah sahabatnya itu dengan tangan beliau sendiri. Ia dishalatkan Nabi SAW secara pribadi. Beliau lalu mendoakan Julaibib, “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari dirinya.”

REPUBLIKA